Aku Pun Tumbang!

in #fiction5 years ago

1zubvhtzwt.png
sumber

Kami sampai di Pasar Simpang Keulayu. Nasir sedari tadi menunggu kedatangan para pencuri udang yang tak lain adalah aku dan Rahman. Dia juga mengenakan pakaian serupa, bawah atas serba baru. Sementara pakaianku terlalu sederhana sehingga dengan mudah bisa ditebak bahwa aku adalah pesuruh mereka. Kurang ajar! Tidakkah mereka tahu aku Cucu Pelaut yang pemberani itu.

Mobil pikap berkarat senantiasa menunggu penumpang yang ingin pergi ke Pasar Gergok. Penumpang sudah hampir memenuhi lantai mobil pikap itu. Kami langsung melompat, dan sejurus kemudian mobil pikap itu meninggalkan asap hitam berkelebat di belakang.

“Kita belanja pakaian hari ini” kata Rahman di sela-sela keriuhan penumpang.

Nasir mengangguk penuh takzim. Asap dari mulutnya keluar begitu bersahaja. Para penumpang yang lain sibuk dengan celoteh basi. Mulai dengan harga tiram yang terkesan diturunkan oleh pembeli sampai tingkah suami yang begitu mirisaukan. Aku yang berumur muda tak begitu mempedulikan dengan celoteh busuk mereka. Yang ada hanya sebongkah kesenangan dan kecemasan menyeruak dalam relung dada ini.

Mobil pikap itu melaju lasak. Kami sering terjungkat-jungkat dibuatnya manakala ban depan mobil masuk ke dalam lobang jalan. Ada yang tertawa meremehkan usia mobil yang berkarat itu, yang sedikit berpengetahuan tentang mobil memilih berzikir semoga perjalanan aman-aman saja. Sedangkan aku masih sibuk memikirkan teguran kakek, omelan nenek dan ancaman paman. Apa yang akan terjadi bila mereka tahu aku ke Pasar Gergok bersama kawan-kawan yang lihai mencuri ini.

Setengah jam kemudian mobil karatan itu berhenti. Pikiranku masih belum tenang meski keramaian di pasar itu sedang menawarkan bermacam keindahan. Kami bertiga turun, Rahman begitu senang, Nasir pun demikan dan aku sendiri terpaksa ikut senang.

Pasar Gergok terletak di jalan Banda-Medan. Biasanya orang-orang pesisir dan penggunungan pergi seminggu sekali buat belanja barang-barang kebutuhan sehari dan pakaian jadi. Rahman mengajakku buat membeli pakaian baru, maklumlah kelihaian mencuri udang menempatkan lelaki muda ini duduk di peringkat 2 pemuda terkaya di Kelayu setelah anak Haji Daud, Ramlan. Meski demikian, uangnya hanya buat pamer saja selebihnya aku harus menanggung segala biaya bila tidak kupenuhi maka siap-siap aku dibilang kikir. Aku menuruti keinginannya. Beberapa baju casual kuborong, celana jin standar dibungkus. Setelah hal ihwal belanja selesai. Kami pun pulang dengan mobil yang sama.

“Berhenti!!!” teriak Nasir.

Teriakannya membuat si supir pikap itu mengerem mendadak. Beberapa meter jarak, mobil itu pun berhenti mengeluarkan bunyi rem mengilukan.

“Kita belum sampai, Sir,” cetusku.
“Tenang saja, kita berjalan kaki saja” balas si Penangkap Udang itu.

Kami pun turun. Berjalan kaki di kampung yang begitu asing. Sepatu Att yang mereka kenakan menyiratkan kegagahan dan kebanggaan akan harta benda yang baru dimilikinya. Dari Simpang Pantee masih terlihat banyak orang yang sedang sibuk bertransaksi. Kedai kopi dipenuhi oleh pembisnis ternak peliharaan sampai pembisnis kulit ular. Berbeda dengan kedai kopi Bang Ja yang hanya terdapat dua macam mata pencaharian saja, yaitu pelaut, dan petani tambak. Sudah biasa di kedai kopi ajang berteriak buat orang yang pita suaranya diciptakan Tuhan untuk berteriak dan membentak. Aku ragu kalau Tuhan menciptakannya untuk itu!

Kami menyusuri jalan bebatuan hingga Simpang Pantee raib dari punggung kami. Jalan itu seakan menyimpan sejuta misteri. Setelah rumah penduduk juga ikut raib. Kami pun disambut oleh hutan-hutan kecil yang melingkar di pinggir jalan. Rindang bukan main, di dalamnya terdapat jangrik yang sedang berebutan melepaskan hawa nafsunya. Sesekali suara anjing memecahkan kesunyiaan. Aku bertambah bingung kemana sebenarnya kami pergi.

“Kita akan ke Kampung Mati,” ucap Rahman tenang.
“Kampung Mati!!?” aku bertanya keheranan.

Mereka mengangguk, tangan mereka menepuk bahuku. Seakan tahu benar bahwa aku sedang diliputi ketakutan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

“Untuk apa?” tanyaku lagi.
“Nanti kau akan tahu.” Aku makin bingung.

Kesunyian daerah itu membuat mulutku terbungkam. Jantung naik turun, belum pernah sekalipun aku mendengar tentang Kampung Mati. Dari namanya saja bisa kupastikan kampung ini tidak ada penghuninya melainkan anjing-anjing liar yang kerap menganggu orang-orang Simpang Pantee. Dan juga, babi-babi besar yang tak kalah rusuhnya menganggu tanaman orang-orang kampung sebelah. Sekalipun rasa takut menerorku, aku terpaksa mantap!

Jalanan makin sunyi. Ketakutanku naik tajam sementara raut muka mereka masih terlihat normal saja. Dari jauh mataku tertangkap seorang sosok yang lagi menghabiskan waktu siangnya. Asap rokok serupa asap yang keluar dari cerobong tungku menari riang di udara. Di saat kami mendekat, dia tersenyum. Wajahnya dipenuhi bulu-bulu halus. Asap yang keluar dari rongga hidungya juga membentuk lingkaran artistik. Rambutnya begitu rapi disisir serupa seorang pengusaha yang sedang menunggu rekan bisnisnya. Aku terdiam di kala memperhatikan sosok manusia gagah dan berwibawa itu. Beragam pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Benarkah manusia ini penguasa Kampung Mati? Atau dia seorang penjaga kebun? Ah! Tak mungkin wajahnya yang mirip india itu penjaga kebun, dan juga bukan penguasa Kampung Mati!

“Apa kabar, Kawan?” lelaki berkulit putih itu menyapa kami. Matanya tersorot tajam ke penampilan Rahman.
“Baik, heh…” Jawab Rahman ramah

Aku dan Nasir disuruh tunggu di luar rangkang bambu. Sementara Rahman dan Lelaki Asing itu masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian mereka keluar. Nasir sumringah. Sementara aku masih bingung diliputi rasa penasaran.

Senja mulai menguning, seberkas cahaya mengintip lewat celah daun-daun tumbuhan kecil, aku yang sedari tadi belum mengerti tujuan kemari. Lelaki itu menyuruh kami naik ke rangkang bambu berbentuk kubus itu. Bunyi krek terdengar di saat kakiku menginjak lantai menandakan rangkang itu mau rubuh. Di tempat yang terbilang seram itu, kami berlagak seperti sekumpulan mafia sedang merencanakan sesuatu. Nasir masih tersenyum sambil mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Rahman merebut, tapi akhirnya ia menyerah. Giliran Lelaki Kurus itu membuka kantong kresek sambil melirik ke arah Rahman yang sedang mengusap bibirnya dengan lidah. Terlihatlah olehku serupa rumput hijau itu terpampang di hadapanku. Teksturnya begitu lembut sehingga tak sedikit orang merindukan barang macam ni.

“Bang Aiyub, ini barang bagus rupanya,” cetus Nasir.

Lelaki itu mengangguk sembari menyulut rokok, “ Barang itu baru sampai dari Awee Getah,”

“Benarkah?” sambut Rahman.

Kedua kawanku itu berebut seperti kucing lapar berebut ikan di pasar. Dengan lugu, aku melihat barang itu lamat-lamat. Setelah kutahu, giliran pikiranku kacau, bingung apa yang akan kulakukan. Dalam ruang resah, sesekali bayang Paman menghimpit pikiranku, lalu disusul wajah kakek dan nenek. Namun, ini adalah kesempatan buat membuktikan bahwa aku layak berteman dengan lelaki-lelaki itu.

“Riq, biar aku yang linting buatmu,” pinta Rahman

Aku antara mengangguk dan menggeleng. Bila itu kuhisap maka tak lama lagi aku akan menjadi candaan mereka bila tidak maka siap-siap aku dibilang banci tak berguna. Dengan berat aku mengambilnya. Di tanganku rokok itu begitu berbeda, tidak seperti mereka yang sudah terbiasa dengan daun semprotan kencing bidadari itu.

“Sudah, jangan takut, kau tidak apa-apa,” kata Nasir menyemangati.

Perlahan aku taruk dibibir dan menyulutinya. Hisapan pertama membuatku terbatuk-batuk, berhenti sejenak dan menghisap lagi hingga nyaris seluruh asap itu bergumul dalam otakku, menohok, menggelitik urat-urat saraf, yang pada akhirnya asap-asap itu mengikat erat gerak nalar, menyisihkan secuil kesadaran, menuntutku melahap seluruh kelebat asap yang pada akhirnya otakku lumpuh. Bruk....aku pun tumbang!

U5dtbQKKmfKuqu7QB1uxntFotPFr9Dq_1680x8400.jpg

Sort:  

Thanks for using eSteem!
Your post has been voted as a part of eSteem encouragement program. Keep up the good work! Install Android, iOS Mobile app or Windows, Mac, Linux Surfer app, if you haven't already!
Learn more: https://esteem.app
Join our discord: https://discord.gg/8eHupPq

Coin Marketplace

STEEM 0.25
TRX 0.11
JST 0.033
BTC 63014.19
ETH 3071.72
USDT 1.00
SBD 3.83