Kopi Menunggu Nasib

in #coffee6 years ago

Senin sore, sebut saja salah satu sore di bulan Agustus. Bulan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sore ini terasa berbeda dengan sore-sore seminggu sebelum 17 Agustus 1945. Iya, empat hari lagi, kita bangsa Indonesia memperingati hari Kemerdekaan yang saat ini masih belum merdeka 100 persen.

image

Sore ini, aku duduk sendirian di salah satu meja kafe. Tempat ini adalah ruang kebahagiaan bagi perokok. Kami bisa menikmati segelas kopi. Tentu saja sembari menikmati hisapan rokok. Bagi sebahagian orang, termasuk diriku, ngopi dan ngerokok adalah kegiatan yang sejalan dan bersamaan.

Sore ini, meskipun aku mengatakan suasana terasa tenang. Kenyataannya tidak. Sedari tengah malam, ada kehebohan dan kemeriahaan yang tidak terbaca oleh penghuni Jakarta. Ada kabar berita yang mengganggu mata penunggu informasi. Begitu pula diriku yang saat ini menatap kopi dan dua buku diatas meja.

Beberapa hari terakhir, ada obrolan yang cukup serius. Tentang kata ikhtiar dan takdir. Tentang ingatan dan mengingat. Detik-detik berganti tanpa terasa. Tetap saja mata-mata itu tak mau terpejam. Lingkaran hitam pun indah di bawah matanya.

Hari ini harus ada kabar. Begitu isi pesan langsung yang ku baca. Teman, senior atau siapapun tidak sabar. Bahkan ngotot untuk tahu sesuatu lebih cepat. Padahal, informasi tercepat hanya digunakan untuk mengabari. Lalu, kenapa harus mengetahui lebih dahulu dari orang lain.

Kalau tujuannya hanya untuk memajang suatu pengumuman di berbagai media sosial? Atau kenapa kita hanya menyebut beberapa nama dan melupakan nama yang lain?

Untuk mencari jawaban atas pertanyaan ini. Aku mennyeruput sesendok kopi. Merasakan pahit kopi memasuki ruang mulut, menyentuh lidah, mengalir ke dalam tubuh.

Pahit? Ya, begitulah kehidupan ini. Kita merasakan pahit saat orang lain merasa manis. Mungkin ada yang begitu bahagia. Sehingga lepas kendali. Tapi, ada juga yang sedih karena kabar adalah ketidakrestuan langit atas perjuangannya.

Akankah lebih baik, kita menyiapkan sesuatu yang mengusung kata bersama. Apakah bersama saat sebelum. Bersama saat proses. Juga bersama untuk selanjutnya. Sehingga, apapun kabar yang kita terima. Semua kabar adalah baik mengingat usaha dan hasil. Bertawakkallah.

Mataku kembali pada dua buku. Kredensial karya Trias Kuncahyono dan Membaca Indonesia karya Desk Politik Hukum Harian Kompas. Bersama kedua buku yang baru saja ku beli dengan menyisihkan sedikit uang kehidupan. Aku masih melihat beberapa orang berjuang sampai akhir ikhtiar.

Dalam senja yang malam mulai merayu penghuni bumi. Dari gerak berpeluh menuju waktu menyapa mimpi. Kami masih membaca harapan dan doa para sahabat. Kopi ini masih terasa pahit untuk belajar menerima kabar apapun.

image

Americano, kopi dengan nama luar. Bukan milik nusantara. Tapi, apakah cara berdemokrasi kita harus sama persis dengan Amerika? Tidak. Karena kita Indonesia. Orang Indonesia sabar dalam kehidupan. Sudah biasa menerima kabar apapun.

Sort:  

Selamat minum kopi...

Sepahit-pahitnya kopi tetap ada bagian nikmatnya. Begitu pula kehidupan, sesusah-susahnya hidup pasti ada satu bagian yang menyenangkannya,,hehehehehe..semoga kita termasuk orang-orang yang mampu melewati pahitnya kehidupan, agar setelah itu akan dapat menikmati kemanisannya, mendapati hikmah yg indah dibalik itu.

Congratulations @andrianhabibi! You have completed the following achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :

Award for the number of upvotes received

Click on the badge to view your Board of Honor.
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

Do you like SteemitBoard's project? Then Vote for its witness and get one more award!

Coin Marketplace

STEEM 0.25
TRX 0.11
JST 0.034
BTC 63549.78
ETH 3107.39
USDT 1.00
SBD 3.88