Dari Aceh Hingga Solo untuk Indonesia

in #celf-magazine6 years ago (edited)


HOTEL bintang lima satu satu-satunya di Aceh itu bergemuruh. Ratusan wartawan dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul dalam pesta demokrasi suksesi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat dalam wadah yang bernama Kongres XXII.

Sebagai salah satu dari empat pilar demokrasi di Indonesia, para 600-an wartawan yang tergabung dalam wadah besar PWI tersebut bersepakat dalam sebuah Kongres Persatuan Wartawan Indonesia, pada 28-29 Juli 2008.

Kala itu, ada sejumlah nama calon yang sempat berkembang dalam bursa pemilihan Ketua PWI 2008-2013. Antara lain Wina Armada (Sekjen PWI 2003-2008), Dhimam Abror Djuraid (kala itu menjabat Ketua PWI Cabang Jawa Timur), Parni Hadi (masih menjabat Dirut RRI), Kamsul Hasan (Ketua PWI Jaya saat itu), Sasongko Tedjo (Ketua PWI Cabang Jawa Tengah saat itu) dan Margino (Wakil Ketua PWI Pusat priode sebelumnya) serta alm Muhyan (ketua PWI Sumatera Utara saat itu).

Namun, dari hasil penjaringan bakal calon ada jelang pemilihan, muncul sejumlah nama baru dari sejumlah bursa yang sempat muncul. Mereka yakni tujuh nama dengan urutan masing-masing Margiono (Salah satu Ketua Bidang PWI Pusat priode sebelumnya) dengan perolehan 19 suara, Wina Armada (13), Parni Hadi (12), Muhyan (11), Dhiman Abror (9), Kamsul (6), Alwi Hamu (1).

Dari hasil penjaringan tersebut, dinamika demokrasi masih terus berjalan, dimana dua calon dengan pasti menyatakan mengundurkan diri yakni Kamsul Hasan dan Alwi Hamu. Maka, ditetapkannya lima calon yang berhak dipilih selanjutnya.

Tetapi, apakah proses demokrasi sudah berakhir? Tentu tidak. Pasalnya, dinamika demokrasi terus yang berkembang saat itu, Muhyan yang begitu menonjol dalam Kongres tersebut, sempat membuat suasana bergemuruh. Ada yang menyesalkan, namun ada juga yang merasa salute dan bangga.

Kepiawaan anak Medan ini berbicara dalam menyampaikan misi – visinya, sempat mencuri perhatian. Namun, diakhir misi dan misi tersebut, Muhyan menyatakan mengundurkan diri dari calon. “Saya serahkan saja kepada yang muda-muda untuk mengurusi PWI masa depan,” ujarnya memberi alasan pengunduran diri.

Dan prosespun berjalan, dalam pemilihan tersebut, Margiono terpilih dengan perolehan suara meyakinkan yakni 58 suara. Sedangkan yang lainnya Parni Hadi (13 suara), Wina Armada Sukardi (13 suara) dan Dhimam Abror Djuraid (11 suara).

Maka sejak saat itulah PWI Pusat dipimpin oleh Margiono hingga saat ini, jelang Kongres XXIV di Solo, yang merupakan rumah kelahiran PWI dan Pers Indonesia secara umum. Sebagai seorang pemikir dan sangat peduli dengan pendidikan wartawan, maka tak mengherankan bila dalam dua priode kepemimpinannya lebih menekankan pada pendidikan wartawan.

Dinilai mumpuni dan sukses membawa PWI ke arah yang lebih baik, dalam Kongres PWI di Banjarmasin, Kalimantan Selatan 2013, Margiono kembali terpilih secara aklamasi. Dan kini, sesuai aturan AD/ART yang membatasi masa kepemimpinan Ketua PWI itu hanya boleh dua priode yakni 10 tahun, Margiono meneruskan tongkat estafet pada generasi selanjutnya.

Siapa dia? Biar Kongres yang akan menjawabnya nanti. Sebab, siapapun yang memimpin PWI di masa mendatang, harus bisa lebih baik lagi, jika mau dikatakan berhasil atau sukses membawa Bahtera besar yang bernama PWI ini.


# PWI Aceh

Dalam masa kepengurusan PWI Aceh yang dikomandoi Tarmilin Usman ang kini menjalani tahun ke dua, juga sangat menekankan bidang pendidikan sebagai program unggulan. Dengan mempercayai seorang anak muda berdarah Gayo, Iranda Novandi yang priode pertama masa kepemimpinan Tarmilin (2010-2015) dipercaya sebagai Direktur Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) PWI Aceh berhasil menggelar pendidikan dan pelatihan bagi kalangan wartawan yang sering kita sebut dengan panggilan “miring” seperti “wartawan tanpa suratkabar (wts), wartawan bodrek, dan sebutan lainnya.

Ratusan wartawan Aceh yang dulunya, tak mengenal organisasi, kini mereka telah bernaung di bawah PWI dan bisa diarahkan untuk melakukan pekerjaan dan kegiatan jurnalistik secara benar. Bukan saja bagi wartawan tersebut, para pelajar juga menjadi sasaran pembinaan, agar mereka memahami apa itu jurnalistik dan apa saja yang dikerjakan.

Satu yang luar biasa, pada awal kepemimpinan Tarmilin ini, kepercayaan yang diberikan kepada Iranda Novandi mampu menggelar Uji Kompetensi Wartawan pertama di Aceh yang di ikuti 35 perserta. UKW ini terus berjalan setiap tahunnya. Dimana, hingga saat ini sudah berlangsung 9 kali. UKW ini tidak semata berpusat di ibukota Provinsi Banda Aceh, namun juga dilakukan disejumlah daerah, seperti Aceh Tamiang dan Aceh Utara.

Dalam meningkatkan kualitas wartawan juga, PWI Aceh telah menggelar Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI), meskipun sejauh ini masih dua angkatan. Dan lagi-lagi, Iranda Novandi memegang kendali dalam SJI ini dengan dipercaya sebagai Kepala Sekolah SJI PWI Aceh hingga saat ini.

Kemampuan PWI Aceh dalam menterjemahkan program PWI Pusat lewat misi-visi pendidikan, mendapat apresiasi dari PWI Pusat. Dimana, PWI Puat memberikan penghargaan bagi PWI Aceh.

Dinilai berhasil mendorong peningkatan kompetensi wartawan lewat pelatihan dan pendidikan secara intensif, sepanjang 2014-2015. Pengurus ‎Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Aceh bersama tujuh PWI provinsi lainnya menerima penghargaan terbaik nasional tahun 2016 dari induk organisasi, PWI Pusat. Ini adalah penghargaan bidang pendidikan dan peningkatan kompetensi yang pertama diterima PWI Aceh.‎

‎Penghargaan berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Pusat PWI Nomor: 219-PGH/PP-PWI/II/2016, tanggal 7 Februari 2016 tentang “Penghargaan PWI 2016”. ‎Penyerahan penghargaan oleh Ketua Umum PWI Pusat Margiono dan diterima Ketua PWI Aceh, Tarmilin Usman berlangsung di sela-sela pelaksanaan Konferensi Kerja Nasional (Konkernas) PWI dalam rangkaian Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2016, ‎di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Minggu, 7 Februari 2016.

Selain PWI Aceh, penghargaan ini diberikan PWI Pusat kepada PWI Lampung, PWI Jawa Timur (Jatim), PWI Kalimantan Selatan (Kalsel), PWI Banten, PWI Kalimantan Tengah (Kalteng), PWI Sulawesi Selatan (Sulsel) dan PWI Nusa Tenggaran Barat (NTB).

Ketua Umum PWI Pusat Margiono saat itu menjelaskan, pemberian penghargaan itu didasarkan hasil penilaian dan evaluasi atas kinerja pengurus PWI di setiap provinsi di seluruh Indonesia selama tahun 2014 dan 2015.

Penilaian antara lain atas prestasi dan peran aktifnya dalam meningkatkan kompetensi wartawan melalui berbagai program PWI pusat maupun daerah, baik secara kuantitas maupun kualitas pada periode 2014-2015 sehingga pantas menjadi teladan bagi pengurus PWI yang lain.

“Peningkatan kompetensi itu secara organisatoris menjadi teladan untuk kuantitas dan kualitas wartawan di daerah selama 2014-2015,” kata Margiono, di sela-sela pembukaan Konkernas PWI 2016 di Mataram.

Mungkin ada rasa “Istimewa” untuk Aceh?, apa karena Margiono terpilih menjadi Ketua WI di awali dari Aceh? Tentu tidak. Itu semua, hanya karena sikap dan didikasi yang diperlihatkan Aceh dalam menterjemahkan visi-misi pendidikan yang menjadi program prioritas PWI Pusat lewat kepemimpinan Margiono.


# Dari Aceh Hingga Solo

Saat ini, sosok yang sangat peduli pendidikan wartawan akan turun tari tampuk pimpinan secara terhormat. Setelah naik di daerah penuh sejarah dan modal bagi republik ini, kini ia akan menjejakan kaki langkah terakhirnya di daerah bersejarah pula, yakni Solo sering juga disebut Surakarta.

Langkah tersebut akan mengakhiri pengabdian panjang selama 10 tahun, dari Aceh hingga ke Solo, semuanya dilakukan untuk Indonesia. Memang pada hakekatnya, semua pengabdian itu untuk negeri ini, Indonesia Raya.

Jika ditelisik sekilas ke belakang, ada satu yang menarik. Margiono yang menggantikan Tarman Azzam, terpilih di Aceh dan berkahir di Solo (Jawa Tengah). Sedangkan, Tarman pertama kali terpilih pada Oktober 1998 dalam Kongres XX PWI di Semarang, Jawa Tengah. Dan mengakhiri masa jabatannya di Banda Aceh, Provinsi Aceh pada Juli 2008.

Lalu, apakah Ketua Umum PWI Pusat yang nantinya terpilih di Solo, Jawa Tengah pada September 2018 ini, juga nantinya akan mengakhiri masa jabatannya di Aceh juga? Biar waktu yang akan menjawabnya.

Penulis: Iranda Novandi dan Adnan NS
Adnan NS: Penasehat PWI Pusat 2013-2018, Mantan Ketua PWI Aceh
Iranda Novandi: Wakil Ketua bid Pendidikan (2015-2020), Kepala Sekolah SJI PWI Aceh

Catatan:
Tulisan ini merupakan bagian dari isi buku “Mewujudkan Profesionalisme Wartawan” dan telah diluncurkan bersamaan dengan Kongres PWI di Solo pada 28-29 September 2018.


Posted from my blog with SteemPress : https://catataniranda.000webhostapp.com/2018/10/dari-aceh-hingga-solo-untuk-indonesia

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.11
JST 0.033
BTC 64243.42
ETH 3152.93
USDT 1.00
SBD 4.28