“Pat Kah Awai Wate GAM Meuprang?”
KETIKA sudah tersudut dalam perdebatan, atau ketika tidak mampu membantah opini-opini kritis terhadap Pemerintah Aceh dengan argumentasi logis, biasanya orang-orang Partai Aceh, Komite Peralihan Aceh, serta simpatisan fanatik kedua organisasi tersebut mengeluarkan ujaran sarkastis, misalnya berbunyi: “Jai that haba kah. Awai wate karu pat kah? Pat kah wate GAM meuprang? Sang-sang kah yang keunong tapak teuntra wate konflik. Jino wate ka dame raya that su kah!” (“Banyak omong kau. Dulu waktu konflik di mana kau? Di mana kau dulu waktu GAM berperang? Seolah-olah kau yang ditendang tentara waktu konflik. Sekarang waktu sudah damai banyak omong kau!”).
Ternyata komentar sinis seperti itu mampu membuat para kritikus merasa tersudut, kehilangan kepercayaan diri untuk mempertahankan argumentasi, bahkan menganggap dirinya telah disekakmat. Padahal itu malah memberikan celah bagi kita untuk melancarkan sekakmat sesungguhnya. Untuk tujuan menjelaskan bagaimana menyerang balik itulah artikel ini saya tulis. Saya membayangkan betapa bahayanya jika orang-orang kritis di Aceh yang tidak ikut perang menganggap dirinya memang tak berhak menyuarakan kecaman terhadap penyelewengan kekuasaan.
Sesudah konflik, banyak harapan publik justru tidak terwujud. Mula-mula, tokoh-tokoh mantan GAM yang berhasil mendapat kekuasaan diyakini mampu menyelesaikan bermacam-macam kesulitan hidup. Di dalam pikiran khalayak tersimpan satu imajinasi: kesejahteraan sudah di depan mata! Ketika itu dikhayalkan, mata akan terbuka lebar dan optimisme membentuk raut muka bahagia. Di kemudian hari, harapan itu menjadi benci.
Kritik-kritik pun bermunculan. Para pendukung rezim membuat pembelaan bahwa penyejahteraan perlu proses. Sebenarnya, bukan proses yang dikritik, tetapi cara kekuasaan dijalankan. Dengan demikian, sebanyak apa pun waktu yang dihabiskan, selama apa pun prosesnya, tetap hasilnya akan mengarah pada kegagalan. Malangnya, orang-orang yang mengeluh atau marah.