Giok Aceh Kian Meredup
BANDA ACEH - Lapak-lapak di kawasan Lampeunerut, Aceh Besar, itu terlihat sepi. Beberapa lapak bahkan tutup dan tidak lagi menjajakan barang dagangannya. Pemandangan ini sangat berbeda dengan beberapa tahun silam. Saat itu berjejer lapak-lapak yang menjual batu dan perhiasan giok Aceh di sepanjang pinggir jalan.
Pada 2014, giok Aceh sempat heboh setelah beberapa penambang menemukan giok berkualitas tinggi di pedalaman Nagan Raya dan Aceh Tengah. Batu mulia tersebut diolah menjadi perhiasan cincin, gelang dan kalung. Tak hanya warga lokal, giok Aceh juga banyak menjadi incaran para pecinta batu giok dari berbagai daerah di Nusantara dan beberapa negara tetangga, seperti Malaysia. Giok Aceh juga saat itu banyak diminati pejabat di Aceh dan nasional.
Seorang pedagang giok di Lampeunerut yang akrab disapa Om Nu ketika ditemui pada Kamis, 9 November 2017, mengatakan dirinya bertahan karena sudah kadung cinta dengan batu mulia tersebut. Menurutnya, pedagang-pedagang yang tidak lagi berjualan, hanya pedagang musiman, bukan para pencinta giok.
“Sebelum giok, saya sudah suka batu akik. Batu ini berbeda dengan giok. Akik itu jenisnya dari batu sungai dan memiliki motif atau corak. Saat giok booming, saya beralih ke giok dan tetap bertahan sampai sekarang, karena memang suka,” ujar Om Nu.
Om Nu mengakui kini peminat giok, khususnya cincin, tidak lagi banyak seperti sebelumnya. Harga jual giok juga sangat berbanding jauh dibandingkan beberapa tahun sebelumnya.
“Namun peminatnya tetap ada, khususnya para pecinta batu giok. Hanya saja tidak seramai dulu. Dulu harga giok tidak terjangkau masyarakat umum karena barang mahal, sekarang sudah murah. Orang-orang luar juga masih banyak yang datang ke Aceh mencari giok karena kualitas giok Aceh bagus dibandingkan daerah lain,” ujarnya.
Giok Aceh memiliki berbagai macam jenis, di antaranya solar, indocrase (lumut), nephrite, dan black jade. "Kualitasnya juga berbeda-beda. Ada yang biasa dan yang super, tergantung dari keindahan warna dan kekerasannya,” jelas Om Nu.
Harga satu cincin giok solar sebelumnya dapat dijual 15 juta rupiah. Namun, kini hanya berkisar tiga sampai lima juta rupiah, tergantung dari besaran mata giok pada cincin dan kualitasnya (super atau biasa). Sedangkan indocrase yang sebelumnya berkisar 5 sampai 10 juta rupiah, kini hanya Rp1 juta.
Nephrite sebelumnya dibanderol satu hingga dua juta rupiah, kini hanya berkisar 300 sampai 500 ribu rupiah. Untuk black jade, kata Om Nu, yang sebelumnya dapat dijual di atas 100 ribu rupiah, kini hanya 50 ribu rupiah.
"Untuk giok super ada juga ini saya simpan, harganya satu kilogram Rp150 juta kalau sekarang. Kalau dulu bisa dijual sampai Rp300 juta. Satu kilogram giok super ini bisa untuk dijadikan 20 cincin,” ujarnya.
Pendapatan Om Nu dahulu pernah mencapai ratusan juta rupiah per harinya. Namun kini, dia hanya bisa meraih pendapatan satu hingga dua juta rupiah.
Berkurangnya peminat giok juga berdampak kepada minimnya para penambang yang mencari giok ke pedalaman hutan Aceh. Banyak penambang giok beralih menjadi penambang emas.
“Tapi barang (giok) tetap ada. Masih ada juga yang datang kepada kami menjual batunya. Malah kualitasnya lebih bagus, karena para penambangnya bukan orang yang ikut-ikutan, tetapi memang yang paham kualitas giok."
Om Nu optimis giok Aceh akan kembali terkenal dan diminati masyarakat, baik lokal maupun nasional. “Sekarang sudah mulai bergairah lagi, apalagi ada acara di Sabang, banyak orang-orang luar cari giok Aceh kemari,” ujarnya.
Ia berharap Pemerintah Aceh kembali mempromosikan giok serta menjadikannya sebagai salah satu cenderamata utama untuk para tamu luar.
"Yang paling penting ada pameran-pameran giok yang dibuat pemerintah untuk ajang promosi. Kalau kami buat sendiri, tidak ada biaya."
Selain Lampeuneurut, sentra pedagang batu giok bisa dilihat di kawasan Ulee Lheue, Banda Aceh. Di sini, KBA.ONE mewawancarai Husaini. Pedagang giok yang akrab disapa Wak Son ini pada Kamis malam mengatakan kurangnya peminat menyebabkan banyak lapak yang gulung tikar.
Dulunya, kata Wak Son, lapak-lapak giok di Ulee Lheue dipenuhi puluhan pedagang. Kini, mereka banyak yang telah beralih profesi. "Sekarang tinggal empat toko yang masih jualan. Malam ini cuma saya sendiri buka, mungkin karena malam Jumat. Yang lain banyak yang sudah bangkrut. Ada yang kelilit utang, karena tidak sanggup membayar batu yang dititip,” ujar Wak Son.
Faktor penyebab pamor giok Aceh meredup, kata Wak Son, karena banyak penambang tidak lagi mempercayakan barangnya kepada agen dan pedagang untuk memasarkan serta menentukan harga pasar.
"Misalnya kami ambil batu mereka seribu (rupiah), kami jualnya sampai lima ribu (rupiah). Akhirnya mereka tidak percaya, lalu menjual langsung ke luar Aceh, walaupun lakunya dua ribu (rupiah). Akhirnya para pedagang juga tidak mau menampung lagi batu-batu dari penambang,” ujarnya.
Selain itu, pedagang giok juga kewalahan karena harga pasaran tak sama. “Padahal ada dibentuk asosiasi pedagang giok, supaya sama harga pasarnya, tetapi tidak terkontrol. Harga jual berbeda-beda,” ujar warga Merduati, Banda Aceh, ini.
Dulu, kata Wak Son, satu kilogram batu giok super dapat dijual ke pembeli hingga Rp80 juta. Kini, hanya berkisar Rp8 juta. Untuk satu cincin giok ukuran sedang yang sebelumnya dapat dijual jutaan, sekarang berkisar di bawah satu juta tupiah. Sedangkan cincin giok bermata kecil yang sebelumnya dijual dua hingga tiga juta rupiah, kini hanya berkisar 100 sampai 150 ribu rupiah.
“Pembeli berkurang, harga murah. Pendapatan saya dulu per harinya bisa mencapai 10 sampai 15 juta (rupiah), kalau sekarang paling hanya 150 ribu (rupiah), itu pun kalau ada."
Sama seperti Om Nu, Wak Son mengaku tetap bertahan menjadi penjual karena mencintai batu mulia tersebut. Padahal, sebelum menjual giok, Wak Son bekerja sebagai perental mobil dan tidak paham seluk-beluk batu cincin.
Meskipun pendapatannya minim, Wak Son mengaku bertahan karena ia tidak memiliki utang.
“Peminat masih ada, tetapi khusus pecinta batu saja. Cuma orang lokal saja yang sudah kurang, orang luar masih banyak yang cari, karena giok Aceh beda, lebih bagus, bahkan ada sertifikatnya," ungkapnya.
Sertifikat didapat setelah batu diuji di laboratorium. Kualitas giok Aceh lebih keras dibandingkan giok daerah lain.
"Orang yang nggak kebagian saat masa booming, karena harganya mahal, jadi carinya sekarang."
Wak Son juga berharap Pemerintah Aceh memperhatikan para pedagang giok, khususnya membantu promosi ke daerah luar, bahkan mancanegara.
“Jika pedagang giok banyak yang bangkrut, giok Aceh akan hilang dan tidak akan ada lagi."
SUMBER: KBA.ONE