Kekejaman aparat Semasa Konflik Aceh

in #indonesia7 years ago (edited)

GMPP
Gerakkan Masyarakat Pemuda Pasee

IMG20171002171503.jpg

Rakyat ACEH semua harus faham akan sejarah perjuangan semasa konflik.

Inkonsistensi kebijakan dalam hal apa pun selalu bersifat destruktif. Yang paling berbahaya, jika hal itu terjadi dalam politik pertahanan. Itulah pangkal prahara berkepanjangan di Seuramoe Mekah.

Ketika kecamuk kian mengamuk, para pejabat militer di Jakarta mulai berseringai. “Di negara mana pun di dunia ini, cuma ada satu jawaban untuk gerakan Aceh merdeka: tumpas habis! kata penjajah jakarta” Gagah betul kedengarannya.

Tetapi kehadiran Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu tidaklah seumur jagung. Itu sudah dideklarasikan sejak 4 Desember 1976. Dan operasi penumpasan terhadap gerakan ini pun tidaklah dimulai kemarin sore. Setidaknya telah dilancarkan sejak Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989. Nyatanya, kian hari Gerakan Atjeh Merdeka justru kian mengaum, menunjukkan kehebatannya.

Padahal, jika operasi itu dijalankan secara sungguh-sungguh dan profesional, tidaklah terlalu sulit menaklukan gerombolan berkekuatan sekitar 10.000 personel dengan cuma bermodalkan sekitar 2000 pucuk senjata kata penjajah di jakarta . Namun yang terjadi, justru warga sipil yang tak berdosa yang kebanyakan menjadi korban, karena kekejaman mereka (mungkin juga kebiadaban) para mereka maupun ulah propagandanya, Yang lebih aneh bin ajaibnya lagi, menurut catatan Human Rights Watch, pasokan utama persenjataan GAM justru berasal dari mereka-mereka.

Aparat keamanan juga tutup mata terhadap kenyataan beralihnya persenjataan bekas paramiliter Timur-Timur ke tangan Gerakan Atjeh Merdeka.

Ketika operasi militer tak kunjung mematikan, malah membuat lawannya kian kebal (seperti petinju tahan pukulan), angin reformasi berhembus membawa pesan perdamaian. Ada petinggi militer yang tulus mengupayakan perdamaian pada saat kepemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun kebanyakan, menerimanya setengah hati dengan penuh gundah, mencemasi dampak ikutan yang bisa merugikan.

Jalan damai secara formal ditandai oleh permintaan maaf Panglima TNI, Jenderal Wiranto (7 Agustus 1998), atas segala kesalahan TNI terhadap warga Aceh di masa lalu. Namun, sumber-sumber kegagalan proses damai pun segera muncul setelah itu.

Sekiranya permintaan maaf itu dikuatkan oleh pengadilan terhadap perwira dan prajurit militer yang melakukan pelanggaran HAM berat semasa penggelaran DOM, sudah barang tentu akan memenangkan simpati dan ‘kehendak baik’ warga setempat bahkan dari kalangan Gerakan Atjeh Merdeka sekalipun. Nyatanya, rekomendasi dari sidang Istimewa MPR pada Desember 1999 yang membuka jalan ke arah itu tak ditindaklanjuti secara sungguh-sungguh.

Sementara Undang-Undang untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi masih mengendon di meja DPR hingga kini. Alhasil, persekusi terhadap para pelanggar HAM berat tak kunjung dijalankan, sementara mobilisi politik di Aceh kian meningkat. Malah sebaliknya, arus balik penggelaran pasukan TNI menyerupai karakteristik kekerasan semasa DOM muncul kembali. Operasi militer di bawah sandi Wibawa 99, Sadar Rencong I, II, dan III, serta Cinta Meunasah I and II memutar kembali jarum jam ke belakang.

Jalan damai seperti tak dikehendaki oleh tentara di lapangan. Menyusul permintaan maaf Wiranto, status DOM dicabut melalui Perpu No. 2/1998, dan pasukan non-organik diputuskan untuk ditarik mundur yang ditandai oleh upacara peresmian pada akhir Agustus 1998. Sekonyong-konyong setelah upacara itu, terjadi kerusuhan yang hebat di Lhokseumawe dan aceh utara.

Banyak orang percaya, terutama rakyat Aceh, bahwa kerusuhan itu dipicu oleh ketidaksukaan pasukan non-organik yang mau ditarik mundur. Dengan meninggalkan wilayah basah ini, mereka akan kehilangan sumber-sumber pemasukan dari bisnis gelap kayu gelondongan dan ganja. Itu baru kepentingan tentara di tingkat bawah. Di tingkat atas, perwira tentara pun seperti punya kerisauannya tersendiri, akan hilangnya “tambang upeti” dari berbagai perusahaan dan pertambangan yang beroperasi di sini.

Dengan kenyataan seperti itu, upaya kantor Menko Polkam untuk melanjutkan proses perdamaian seperti menegakkan benang basah. Ketika di atas permukaan Kesepakatan Penghentian Permusuhan ditandatangani di Jenewa pada 9 Desember 2002, Page 1 Page 2 Page 3 Page 4 Page 5 Page 6 3) Summary of the main points of the agreement di bawah tanah persoalan disiplin prajurit dan kepentingan ekonomi tentara, selain skeptisisme Gerakan Aceh Merdeka sendiri yang meragukan niat damai, telah menunggu di tikungan untuk nenikam proses damai dari belakang.

Selebihnya, baku tembak meletus kembali, dengan kedua belah pihak saling menuding. Ketidak profesionalan prajurit TNI dalam memahi watak gerilya memakan kembali warga sipil Aceh yang tak berdosa. Sebaliknya, serangan balik TNI membawa korban lain terutama orang-orang sipil yang diusir secara paksa.

Di bawah bayang-bayang kegagalan seperti itu, kesalahan ditudingkan ke pihak ketiga, the Henri Dunant Center (HDC). Explanatory note for Article 3b Sementara pejabat militer mulai tiba pada kata putus, bahwa perang merupakan satu-satunya jawaban. Perubahan kebijakan dari damai ke perang memang begitu mudah diganti di atas kertas. Namun bagi rakyat Aceh sendiri, yang mestinya menjadi acuan dan orientasi dari kebijakan ini, perjalanan menuju perang merupakan sejarah penderitaan yang panjang.

Mulanya adalah kekejaman pemerintahan pusat. Dalam persetujuan antara pihak Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Republik Indonesia (RI) yang bersepakat membentuk Negara Indonesia wilayah Sumatra dibagi ke dalam 10 propinsi. Dengan pembagian seperti itu, Negara Aceh bersama Sumatera dan Tapanuli menjadi bagian dari propinsi Sumatera Utara. Kebijakan ini menyinggung marwah rakyat Aceh. Selain sejarah keagungannya di masa lalu, di bawah Belanda sekalipun Aceh tidak pernah sepenuhnya dikuasai.

Dalam revolusi kemerdekaan, Negara Aceh memberikan sumbangan yang besar kepada bangsaan Indonesia seperti sumbangan terhadap pembelian pesawat kepresidenan. Mereka menuntut Negara tersendiri. Terlebih setelah kebijakan pusat dirasa lebih menguntungkan wilayah Tapanuli dan Sumatera Timur, sementara kebijakan dalam perdagangan di Aceh dirasa menyuburkan pedagang-pedagang Tionghoa seraya melumpuhkan pedagang lokal.

Janji kabinet Masjumi (Natsir dan Sukiman) untuk memperjuangkan aspirasi ini terhalang oleh jatuh-bangunnya kabinet parlementer. Dari September 1950 hingga berakhirnya demokrasi parlementer pada Maret 1957, Indonesia mengalami 6 kali pergantian kabinet, dengan tak satupun berkuasa lebih dari dua tahun. Mendapati aspirasi mereka tak kunjung dikabulkan, Aceh tiba pada kesimpulan bahwa Jakarta abai terhadap kepentingan mereka.

Maka pemberontakan pun meletus pada September 1953 dengan bendera DI/TII di bawah pimpinan ulama kharismatis Daud Beureueh. Untuk meredam yang tak kunjung padam ini, pada 1957 pemerintahan pusat berjanji menganugerahkan status daerah istimewa bagi Aceh, yang baru ditetapkan secara formal pada 1959. sporadis masih juga berlangsung hingga berhasil ditumpas sepenuhnya pada 1962.

Dalam prakteknya, status daerah istimewa ini tidak memberikan keistimewaan yang berarti. Pemerintah Pusat mengabaikan dua keluhan utama Aceh: kontrol orang-orang asing dari Jawa atas sumber-sumber kekayaan alam setempat, serta kehadiran militer yang represif. Ketika industri-industri petro-kimia dibuka pada tahun 1970-an, orang Aceh hanya menonton kekayaan alamnya saja yang berlimpah itu dikuras oleh tangan-tangan asing dan pemerintah pusat.

Penistaan seperti itu, yang bersenyawa dengan kepentingan sekelompok elit lokal untuk memperkuat otoritasnya, menghadirkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 1976. TNI segera merespon ancaman potensial ini dengan melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap tokoh tokohnya. Pemimpin utamanya Hasan di Tiro melarikan diri ke Swedia, sekaligus menciptakan pusat “pemerintahan” GAM di sana.

Kontak bersenjata terus berlangsung dengan mengundang penambahan pasukan militer. Betapapun, kekuatan GAM hingga 1988 tidaklah signifikan. Basis dukungannya terbatas di Pidie. Tahun 1989, lebih dari 100 orang tentara gerilya GAM yang telah mengikuti latihan militer di Libya pulang kampung.

Berbekal pendidikan militer alakadarnya serta senjata seadanya mereka mulai melancarkan serangan terhadap pos-pos tentara dan polisi serta berhasil merebut lusinan senjata otomatis dan amunisi. Pada tahun yang sama, TNI segera melancarkan Operasi Jaring Merah yang berbuntut pada keputusan Presiden Suharto untuk menjadikan Aceh sebagai DOM. Perlawanan mulai sengit, barangkali yang terberat sejak tahun 1960-an.

Sejak itu, masalah Aceh lebih dipandang sebagai persoalan militer ketimbang persoalan pembangunan yang harus diatasi. Di tengah-tengah kekayaan Aceh yang berlimpah,penduduknya dijerat belenggu kemiskinan, dengan ancaman kekerasan bersenjata membayangi setiap saat. Kekayaan Aceh bisa dilihat dari sumberdaya alamnya.

Di Aceh Barat setidaknya ada pertambangan emas serta perkebunan kelapa sawit dan kopi; di Aceh Besar ada Industri pabrik semen serta perkebunan lada; di Aceh Selatan ada Industri pengolahan kayu gelondongan serta perkebunan sawit, cengkeh, lada dan tembakau; di Aceh Tengah ada pertambakan ikan serta perkebunan kopi dan peternakan; di Aceh Tenggara ada perkebunan kelapa sawit, pertambakan dan peternakan; di Aceh

Timur ada perkebunan kelapa sawit, lada dan kayu manis; di Aceh Utara ada industri pupuk, petro-kimia, dan kertas pulp; di Pidie ada pertambangan emas, dan masih banyak lagi kekayaan alam di tempat lainnya .

Tetapi tingkat kemiskinan di wilayah ini sungguh mengejutkan. Menurut data BPS (1998), penduduk miskin absolut di Aceh mencapi 1.353.975 atau 33,24% dari total penduduk (4.073.331). Jika angka ini ditambahkan dengan angka kemiskinan relatif, maka lebih dari 60% penduduk Aceh tergolong miskin. Ironi yang paling memilikun bisa dilihat di Aceh Utara . Sejak ditemukan lading gas dan minyak di Lhokseumawe, ibu kota Aceh Utara, sekitar tahun 1970-an, wilayah ini segera disulap menjadi kawasan industri petro-kimia modern .

Di sini beroperasi investor asing seperti PT Exxon Mobil Oil Indonesia (EMOI) yang mengolah gas alam cair melalui kilang PT Arun Natural Gas Liquifaction (NGL) Co. Juga terdapat pabrik Pupuk Iskandar Muda (PT PIM), serta pabrik Pupuk Asean (PT AAF). Logisnya, penduduk setempat akan terkena efek perembesan kemakmuran.

Namun yang terjadi, 30% desa di Aceh Utara tergolong desa tertinggal. Tidak kurang dari 59.192 keluarga di wilayah ini tergolong prasejahtera, mencapi rekor tertinggi di antara kabupaten dan kota di Provinsi DI Aceh. Di balik kemewahan perumahan eksklusif karyawan industri-industri petro-kimia, penduduk di sekitar Arun sendiri baru saja memperoleh penerangan listrik .

Di tengah-tengah ketimpangan sosial seperti demikian, rakyat Aceh juga masih harus menjadi korban permusuhan antara TNI dan GAM. Dalam operasinya, kedua belah pihak sering menempuh cara-cara yang tidak bertanggungjawab, yang bisa mengorbankan warga sipil yang tak berdosa. Sekedar contoh, dalam operasi mereka sering menggunakan pakaian sipil, dan biang kerok yang dicarinya biasanya disebut “orang tak dikenal”. Dengan cara seperti itu, baik pihak tentara maupun GAM bisa mengelak dari tanggungjawab bila sesuatu tak diinginkan terjadi.

Jika banyak warga sipil terbunuh, kedua belah pihak bisa “cuci tangan”, dengan mengatakan bahwa hal itu akibat ulah oknum tertentu. Karena penyamaran dengan menggunakan pakaian sipil sering digunakan, lama-lama warga sipil sering dicurigai sebagai bagian dari kelompok tertentu . Maka piramida korban manusia pun bertumpukkan. Sejak DOM diberlakukan hingga era reformasi tiba, tidak kurang dari 4000 nyawa telah melayang. Puluhan ribu lainnya di penjarakan atau disiksa di kamp-kamp militer atau menjadi korban perkosaan .

Sungguhpun begitu, keberadaan GAM tidak pernah mencapai popularitasnya seperti di era reformasi ini. Meroketnya popularis GAM merupakan wind fall dari ketidakmampuan pemerintahan pasca-Suharto untuk merespon meningkatnya aspirasi kebebasan rakyat Aceh menyusul terbukanya koridor demokrasi. Permintaan maaf dari petinggi militer dan Presiden Indonesia memang telah dilakukan. Lewat Perpu No. 2/1998, DOM pun segera dicabut, yang ditandai oleh penarikan sejumlah personil tentara non-organik .

Presiden Habibie juga berusaha memenangkan hari rakyat Aceh dengan mengeluarkan UU No. 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh, yang memberi jalan bagi pemberlakuan syariat Islam. Namun segi-segi simbolik ini, tidak diikuti oleh komitmen yang tulus dari Jakarta, untuk mengadili para pelanggar HAM berat selama penggelaran DOM, sebagai titik penting menuju rekonsiliasi. Juga tak didukung oleh kedisiplinan aparatur TNI di lapangan untuk mensukseskan proses perdamaian .

Ingatan traumatis rakyat Aceh yang bersenyawa dengan lemahnya komitmen pemerintahan pusat dalam penegakkan HAM dan perdamaian menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan baru. Psikologi sosial semacam itu segera memalingkan simpati warga Aceh kepada GAM, meskipun tak harus bersejalan dengan asas perjuangannya. Saat bersamaan, melonggarnya sistem keamanan pasca-reformasi, membuka pintu bagi arus balik para aktivis GAM dari pengungsiannya di luar negeri .

Seiring dengan menguatnya ide-ide kebebasan dan simpati rakyat Aceh, GAM kian berani melakukan tindakan ofensif. Penghujung 1998, GAM bertanggungjawab atas penyerangan terhadap sejumlah personil TNI yang baru kembali dari liburan. Mereka juga kian sistematis memungut pajak ilegal terhadap kendaraan di sepanjang jalan raya Aceh-Medan .

Diberi angin oleh menguatnya wacana referendum yang digagas oleh Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), yang muncul setelah referendum untuk Timor Timur, GAM juga mulai unjuk gigi dengan merayakan hari jadinya secara besar-besaran. Ancaman sana-sini kian dikembangkan bagi kalangan yang dianggap tidak mendukung ide kemerdekaan .

Penduduk asal Jawa menjadi korban kekerasan dan pengusiran secara paksa. Yang lebih terasa lancang bagi pihak TNI adalah pembunuhan GAM terhadan Mak Pri, istri komandan Koramil 016 Samalanga, pada Mei 2001, setelah dicurigai sebagai mata-mata oleh warga setempat.

GAM juga melakukan pemerasan terhadap warga non-Aceh yang kaya, juga tak segan melakukan pembunuhan terhadap cuak (merekayang dicurigai sebagai informan TNI), dan anggota keluarga personil tentara dan polisi, perusakan terhadap properti negara, serta rumah-rumah karyawan pemerintah .

Respon TNI tentu saja lebih brutal lagi. Melalui Inpres No. 4 yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid, operasi baru digelar dengan sandi ‘Operasi Pemulihan Keamanan dan Penegakan Hukum’ dibawah supervisi komandan Brimob Yusuf Manggabarani yang tiba di Aceh pada awal Mei 2001, bekerjasama dengan komandan kepolisian dan militer Daerah Istimewa Aceh. Pengerahan pasukan secara besar-besaran kembali menerjang Aceh sejak Juli 2001 .

Dari pihak kepolisian operasi ini menyertakan personil kepolisian setempat (mulai tingkat Polsek, Polres, hingga Polda), disertai Brimob yang dalam jumlah besar didatangkan dari luar melalui ‘bantuan kendali operasi’ (BKO). Dari pihak militer, unit-unit yang dilibatkan mencakup satuan organik dari tingkat Koramil, Kodim, Korem dan Kodam, serta didukung oleh unit-unit terlatih semacam Kopassus yang diperbantukan dari Jawa Barat .

Sejak pertengahan tahun 2001, kantong-kantong utama pendukung GAM menjadi sasaran utama. Berbilang-bilang rakyat Aceh yang dicurigai sebagai anggota atau simpatisannya dibunuh. Insiden terpenting antara lain pembunuhan terhadap Tengku Kamal (ulama terpandang dari Aceh Selatan) serta Suprin Sulaiman (pengacara HAM) pada 29 Maret 2001.

Melalui penyisiran terhadap anggota GAM, operasi ini secara sistematis menyiksa dan menahan warga desa dan tak jarang melakukan pembunuhan terhadap warga sipil. Pihak-pihak yang dianggap “mengganggu” operasi militer tak luput menjadi sasaran .

Pada 6 Desember 2001, tiga personil kepolisian diduga kuat melakukan pembunuhan terhadap tiga aktivis RATA (Rehabilitation Action for Torture Victims in Aceh) yang tengah membantu korban kekerasan militer di Aceh. Menurut catatan Human Rights Watch, antara I Mei hingga 5 Juni 2001 saja tidak kurang dari 144 orang telah terbunuh, dan sebanyak 102 orang dari mereka justru orang sipil biasa. Bisa dibayangkan, betapa besarnya jumlah korban sipil setelah operasi besar-besaran digelar lagi sejak bulan Juli .

Semakin TNI membabi-buta, tanpa bekal profesionalisme untuk mengenali mana gerombolan bersenjata dan mana sipil biasa, semakin banyak berjatuhan korban-korban sipil yang tak berdosa. Semakin tak pandang bulu, semakin dalam penderitaan warga setempat, semakin kuatlah identifikasi mereka kepada GAM .

Pada titik ini segera tercium gelagat yang tak beres dalam operasi militer kita. Kelemahan utama operasi TNI selama ini, baik di Timor Timur, Papua, maupun Aceh, adalah ketidakmampuan mereka untuk memenangkan hati rakyat .

Selain karena ketidakmampuan mendisiplinkan aparat di tingkat bawah, kepentingan TNI dalam operasi militer juga sering kali melampuai kepentingan pertahanan. Kepentingan pertahanan acapkali bertali-temali dengan kepentingan ekonomi-politik. Hal inilah yang membuat operasi-operasi TNI mengalami kesulitan bahkan untuk menaklukan perlawanan berskala kecil sekali pun .

Kenyataan bahwa operasi militer di Aceh kian dibenci dan kian memperoleh penolakan yang luas dari warga setempat telah melambungkan moral dan kepercayaan diri pasukan GAM. Dalam konfidensi GAM seperti itu, disertai keengganan TNI di lapangan untuk keluar dari Aceh, Kesepakatan Penghentian Permusuhan yang digagas kantor Menko Polkam tak memperoleh pijakan yang kuat.

Selang bebera saat setelah perjanjian ditandatangani ada usaha dari masing-masing pihak untuk menggangu proses perdamaian. Ketidakjelasan butir-butir perjanjian mengenai masa depan Aceh, membuka peluang bagi kedua belah pihak untuk kembali meletuskan tembakan.

Hulu dari segala hulu persoalan GAM adalah inkonsistensi kebijakan. Apakah kebijakan yang diambil terhadapnya mau menempuh jalan bersenjata atau perdamaian pada akhirnya akan terbentur pada dukungan, keajegan, profesionalisme, dan kedisiplinan TNI di lapangan. Masih ada hal lain yang perlu dipikirkan. Kalaupun GAM bisa dilumpuhkan lewat operasi militer, tidaklah berarti bahwa masalah Aceh telah tuntas .

Masalah Aceh adalah masalah multidimensional yang memerlukan pendekatan yang komprehensif. Pemberlakuan syariat Islam mungkin memadai sebagai solusi pada tahun 1950-an, tetapi tidak cukup untuk saat ini. Solusi simbolik ini harus disertai pendekatan yang lebih substantif.

Pertama, bagaimana melakukan penyembuhan terhadap ‘memoria passionis’ (ingatan penderitaan). Kehendak untuk melupakan tragedi dan dendam masa lalu seringkali rentan ketika mendapati warisan-warisan masa lalu yang belum diselesaikan. Untuk itu, kepercayaan sosial harus ditumbuhkan lewat komitmen pelbagai pihak untuk menegakkan HAM dan hukum .

Kedua, bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menciutkan kesenjangan sosial. Perbaikan infra-struktur dan kucuran dana pembangunan adalah satu hal. Tetapi yang lebih penting lagi adalah perbaikan manajemen pemerintahan dan pembangunan di tingkat lokal. Tanpa penyempurnaan hal ini, berapa pun dana yang dikucurkan tidak akan pernah sampai kepada sasaran. Hal ini harus diikuti oleh pendekatan ketiga, yakni perbaikan sumberdaya insani masyarakat setempat.(Kompasiana).

IMG20171127181038.jpg

Sort:  

Congratulations @muhammadilyas! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :

Award for the number of upvotes
Award for the number of upvotes received

Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here

If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

By upvoting this notification, you can help all Steemit users. Learn how here!

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63618.84
ETH 2623.39
USDT 1.00
SBD 2.78