Serambi Indonesia atau Serambi Makkah ?

in #story6 years ago

Source

Sumber ; amara mukhtar

Selamat pagi menjelang siang sahabat Stemian,
Berikut ini adalah tulisan yaaku ambil ulasan dari Sahabatku. Pengetahuan tentang sejarah Aceh khususnya itu penting, terutama bagi kita yang berdarah dan berdomisili di Aceh. Karena keadaan sosiogeogragy dan kultur budaya berhubungan erat dengan sejarah.

Selamat membaca semoga menjadi sebuah pelajaran dan di ambil hikmah dari kisah sejarah Bangsa Aceh di Asia Tenggara.

”Al Asyi”, adalah sebutan 'marga' Aceh dikalangan orang Arab. Gelar Al Asyi (Orang Aceh dalam bahasa Arab) ini adalah merupakan sebuah pengakuan identitas terhormat bagi setiap orang Aceh di Negeri Arab Saudi, sehingga gelar "Al-Asyi" ini kemudian disebut sebagai salah satu marga yang di akui di Tanah Arab."

Sebutan Negeri Aceh adalah tidak asing bagi sebagian orang Arab walaupun sekarang Negeri Aceh hanyalah salah satu Propinsi dalam wilayah Indonesia. Karena itu, kedudukan orang Aceh di Arab Saudi sangat luar biasa. Ada hubungan yang cukup kuat secara emosional antara tanah Arab ini dengan Serambinya, yaitu Aceh.

Napak tilas dan peran Al Asyi di Tanah Arab itu memberikan keuntungan secara politik maupun ekonomi bagi Indonesia.

Banyak sekali orang Arab keturunan Aceh mendapat posisi jabatan penting dalam Pemerintah Kerajaan Arab. Orang Arab keturunan Al_Asyi mendapatkan posisi Jabatan yang strategis di Kerajaan Saudi Arabia seperti ;

  1. Syech Abdul Ghani Al-Asyi mantan Ketua Bulan Sabit Merah Timur Tengah,
  2. Dr. Jalal Al-Asyi mantan Wakil Menteri Kesehatan Arab Saudi,
  3. Dr. Ahmad Asyi mantan wakil Menteri Haji dan Wakaf dan banyak sekali harta wakaf negeri Aceh sekarang masih wujud disana.

Kebiasaan sumbang-menyumbang dalam Masyarakat Aceh di Tanah Hijaz (Makkah, Saudi Arabia) pada abad ke-17 Masehi dan Kontribusi lainnya Masyarakat Aceh atas tanah Hijaz, yang sekarang bernama Saudi Arabia, dimana orang Aceh tidak hanya mewakafkan tanah, melainkan juga emas yang didatangkan khusus dari Bumi Serambi ke Negeri Makkah Al-Mukarramah ini.

Diriwayatkan bahwa pada tahun 1672 M, Syarif Barakat penguasa Makkah pada akhir abad ke 17 mengirim Duta Besarnya ke Negeri Timur. Tujuannya untuk mencari sumbangan dana bagi pembiayaan pemeliharaan Masjidil Haram. Hal itu dilakukan karena kondisi ekonomi di Negeri Hijaz (Arab Saudi) pada saat itu masih dalam keadaan miskin. Kedatangan mereka ke Aceh dilakukan setelah Raja Monggol, Aurangzeb (1658-1707) tidak mampu memenuhi keinginan Syarif Barakat itu. Dia saat itu belum sanggup memberi sumbangan seperti biasanya ke Masjidil Haram. Atas saran dan nasehat para pembesar di Hijaz, rombongan ini kemudian berangkat ke Aceh dan tiba di Aceh pada tahun 1092 H (1681M). Setelah empat tahun rombongan Makkah ini terkatung-katung di Delhi India.

Duta Besar Makkah ini setelah sampai Negeri Aceh disambut dan dilayani dengan baik dan hormat oleh Sri Ratu Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688 M). Di luar dugaan, kedatangan Utusan Syarif Makkah ini membangkitkan semangat Kelompok Paham Wujudiyah di Aceh yang anti terhadap Pemerintahan Perempuan untuk menggulingkan Sultanah Zakiatuddin. Namun, karena sosok Sultanah Zakiatuddin yang ‘alim, berilmu dan mampu berbahasa Arab dengan fasih bisa meredam gejolak kelompok tersebut. Bahkan menurut sejarah, Sultanah Zakiatuddin ketika berbicara dengan para tamu Utusan dari Makkah di Hijaz ini dengan menggunakan tabir dari sutra Dewangga (Jamil: 1968).

Utusan Arab sangat gembira diterima oleh Sri Ratu Zakiatuddin, karena mereka tidak mendapat pelayanan serupa ketika di New Delhi, India. Bahkan selama 4 tahun mereka berada di India tidak dapat bertemu dengan Aurangzeb.

Bahkan ketika Duta Hijaz ini pulang ke Makkah, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah memberi mereka tanda mata untuk rombongan dan Syarif Makkah serta sumbangan untuk Masjidil Haram dan Masjidil Nabawi di Madinah terdiri dari: 3 kinthar emas murni, 3 rathal kamfer, kayu cendana dan civet (jeuebeuet musang), 3 gulyun (alat penghisap tembakau) dari emas, 2 buah lampu kaki (panyot-dong) dari emas, 5 buah lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, lampu kaki dan kandil dari emas untuk Masjid Nabawi.

Pada tahun 1094 (1683 M) mereka kembali ke Makkah dan sampai di Mekkah pada bulan Sya’ban 1094 H (September 1683 M). Dua orang bersaudara dari rombongan Duta Besar Makkah ini yakni Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim tetap tinggal dan menetap di Aceh atas permintaan para Pembesar Negeri Aceh yang termasuk dalam golongan Anti Raja Perempuan (Jamil: 1968). Mereka dibujuk untuk tetap tinggal di Aceh sebagai orang terhormat dan memberi pelajaran agama. Salah satu dari mereka itu akhirnya menikah dengan Keumalat Syah, adik Zakiatuddin Syah.

Lima tahun kemudian setelah Duta Besar Makkah kembali ke Hijaz dengan meninggalkan Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim di Aceh, Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah wafat tepat pada hari Ahad 8 Zulhijjah 1098H (3 Oktober 1688 M). Pemerintahan Aceh digantikan oleh adiknya yaitu Seri Ratu Keumalatsyah yang bergelar juga Putroe Punti. Dia diangkat menjadi Ratu Pemerintahan Kerajaan Aceh atas saran Syeikh Abdurrauf Al Fansury yang bertindak pada saat itu sebagai Waliyul-Mulki (Wali para Raja).

Baru setelah meninggalnya Syeikh Abdurrauf pada malam senin 23 Syawal 1106 H (1695M), konflik mengenai kedudukan pemerintahan Aceh dibawah pemerintahan Ratu yang telah berlangsung selama 54 tahun sejak Safiatuddin Syah(1641-1675M), terguncang kembali. Hal ini dipicu oleh fatwa dari Qadhi Makkah tiba. Menurut sejarah, “fatwa import” ini tiba dengan berkat “jasa baik” dari Golongan Oposisi Ratu. Lalu Pemerintah Aceh, diserahkan kepada penguasa yang berdarah Arab, yaitu salah satu dari dua utusan Syarif dari Mekkah, yakni suami Ratu Keumalatsyah, Syarif Hasyim menjadi Raja pada hari Rabu 20 Rabi`ul Akhir 1109 H (1699M).

Menurut catatan sejarah, Ratu Keumalat-Syah dimakzulkan akibat dari 'Fatwa Qadhi Makkah' tersebut. Kemudian Kerajaan Aceh memiliki seorang Pemimpin yang bergelar Sultan Jamalul Alam Syarif Hasyim Jamalullail (1110-1113 H/1699-1702M). dengan berkuasanya Syarif Hasyim awal dari dinasti Arab menguasai Aceh sampai dengan tahun 1728 M. Inilah bukti sejarah bahwa kekuasaan para Ratu di Aceh yang telah berlangsung 59 tahun hilang setelah adanya Fatwa dari Qadhi Makkah. Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh perempuan selama 59 tahun bisa jadi bukti sejarah bagaimana sebenarnya tingkat emansipasi perempuan Aceh saat itu (Azyumardi Azra, 1999).

Sehubungan dengan adanya sumbangan emas yang diberikan oleh Ratu kepada rombongan dari Makkah, ternyata menjadi perbincangan hangat di Makkah. Disebutkan bahwa peristiwa ini telah tercatat dalam sejarah Makkah dimana disebutkan bahwa emas dan kiriman Sultanah Aceh tiba di Makkah di bulan Syakban tahun 1094 H/1683 M dan pada saat itu Syarif Barakat telah meninggal. Pemerintahan Makkah digantikan oleh anaknya Syarif Sa’id Barakat (1682-1684 M).

Snouck Hurgronje, seorang Orientalis keturunan Yahudi yang menjadi warga Belanda menuturkan “Pengiriman Seorang Duta Makkah ke Aceh Pada Tahun 1683” sempat kagum terhadap kehebatan Aceh masa lalu dan dicatat dalam bukunya, dimana sewaktu Snouck Hurgronje tiba di Makkah pada tahun 1883 dalam rangka memperdalam Ilmu tentang Islam. Karena Kedermawaan Bangsa dan Kerajaan Aceh masa itu, masyarakat Makkah menyebut Aceh Sebagai "Serambi Makkah" di sana.

Ternyata sumbangan Kerajaan Aceh 200 tahun yang lalu masih selalu hangat diperbincangkan disana. Menurutnya berdasarkan catatan sejarah Makkah yang dipelajarinya barang barang hadiah itu sempat disimpan lama di rumah Syarif Muhammad Al Harits sebelum dibagikan kepada para Syarif yang berhak atas tiga perempat dari hadiah dan sedekah diberikan kepada kaum fakir miskin sedangkan sisanya diserahkan kepada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Begitu juga tradisi wakaf orang Aceh di tanah Arab sebagai contoh tradisi wakaf umum, ialah wakaf Habib Bugak Al Asyi yang datang ke hadapan Hakim Mahkamah Syar'iyyah Makkah pada tanggal 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Di hadapan Sang Hakim Habib Bugak Al Asyi menyatakan keinginannya untuk mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat; rumah tersebut dijadikan tempat tinggal Jama'ah Haji Asal Aceh yang datang ke Makkah untuk menunaikan haji dan juga untuk tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Makkah.

Jika sekiranya karena sesuatu sebab sehingga tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Makkah untuk menunaikan haji maka rumah waqaf itu digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (Santri/Mahasiswa) dari Aceh, kemudian jika Santri/Mahasiswa Aceh tidak lagi belajar di Makkah maka rumah waqaf ini di gunakan oleh orang-orang Asia Tenggara yang belajar di Makkah. Seandainya jika dikarenakan oleh suatu sebab sehingga Mahasiswa dari Asia Tenggara pun tidak ada lagi ada yang belajar di Makkah maka rumah waqaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Makkah yang belajar di Masjid Haram. Seandanya mereka ini pun tidak ada juga maka waqaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjid Haram.

Menurut sejarah, sebenarnya bukan hanya waqaf dari Habib Bugak yang ada di Makkah, dimana sekarang hasilnya sudah dapat dinikmati oleh para Jama'ah Haji dari Aceh tiap tahunnya lebih kurang 2000 Rial per jamaah. Peninggalan Aceh di Makkah bukan hanya sumbangan emas pada masa Pemerintahan Ratu Zakkiatuddin saja, tetapi ada juga harta-harta waqaf yang masih ada sampai sekarang ini, seperti :

  1. Waqaf Syeikh Habib Bugak Al Asyi',
  2. Waqaf Syeikh Muhammad Saleh Al_Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat No. 324) di Qassasyiah,
  3. Waqaf Sulaiman bin Abdullah Al-Asyi di Suqullail (Pasar Seng),
  4. Waqaf Muhammad Abid Al-Asyi,
  5. Waqaf Abdul Aziz bin Marzuki Al Asyi,
  6. Waqaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di Mina.
  7. Wakaf Warga Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina,
  8. Wakaf Muhammad Saleh Al-Asyi di Jumrah ula.
  9. Rumah Waqaf di kawasan Baladi di Jeddah,
    10.Rumah Waqaf di Taif,
  10. Rumah Waqaf di kawasan Hayyi al-Hijrah Makkah.
  11. Rumah Waqaf di kawasan Hayyi Al-Raudhah, Makkah,
  12. Rumah Wawaf di kawasan Al Aziziyah, Makkah.
  13. Waqaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah yang belum diketahui pewaqafnya.
  14. Rumah wawaf Syeikh Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Al Asyi (Tgk Chik di Awe Geutah, Peusangan) di Syamiah Makkah,
  15. Syeikh Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Al-Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga) di Syamiah,
  16. Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Al-Asyi di Syamiah
  17. Khadijah binti Muhammad bin Abdullah Al-Asyi di Syamiah.

Inilah bukti bagaimana generous antara ibadah dan amal shaleh orang Aceh di Makkah.Mereka lebih suka mewakafkan harta mereka, ketimbang dinikmati oleh keluarga mereka sendiri. Namun, melihat perkembangan dari Pengelola Badan Waqaf di Makkah, hasil harta dari Waqaf Habib Bugak Al- Asyi sudah bisa dinikmati hasilnya oleh Jama'ah Haji dari Aceh sekarang.

Performa dan spirit seperti ini untuk masa sekarang memang agak sukar dijumpai pada orang Aceh saat ini, karena tradisi waqaf tanah tidak lagi dominan sekali. Oleh sebab itu, saya menganggap bahwa tradisi leluhur Bangsa Aceh yang banyak mewaqafkan tanah di Arab Saudi perlu dijadikan sebagai contoh tauladan yang amat tinggi maknanya. Hal ini juga dipicu oleh kejujuran Pengelolalaan Badan Waqaf di negeri itu, dimana semua harta waqaf masih tercatat rapi di Mahkamah Syariah Saudi Arabia.

Sebagai bukti bagaimana kejujuran pengelolaan waqaf di Arab Saudi, Pada tahun 2008 Mesjidil haram diperluas lagi ke kawasan Syamiah dan Pasar Seng. Akibatnya ada 5 kapling tanah waqaf orang Aceh terkena penggusuran. Tanah wakaf tersebut adalah kepunyaan ;

  1. Sulaiman bin Abdullah Asyi,
  2. Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan),
  3. Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga),
  4. Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi dan
  5. Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi.

Di Makkah juga PENULIS sempat bertemu dengan Saidah Taliah Mahmud Abdul Ghani Al-Asyi serta Sayyid Husain seorang pengacara terkenal di Makkah untuk mengurus pergantian tanah wakaf yang bersetifikat no 300 yang terletak di daerah Syamiah yang terkena pergusuran guna perluasan halaman utara Masjidil Haram Makkah Al Mukarramah yang terdaftar petak persil penggusuran no 608. Yang diwaqafkan oleh Syeikh Abdurrahim Bawaris Al-Asyi (Tgk Chik di Awe Geutah, Peusangan) dan adiknya Syeikh Abdussalam Bawaris Al-Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga).

Memang pada asalnya 75 % tanah di sekitar Masjidil Haram adalah tanah waqaf, apakah itu wakaf khusus atau wakaf umum. Dan sebagiannya ada milik orang orang Aceh dulu yang merupakan bagian dari Kejayaan Negeri Aceh yang pernah masuk dalam 5 besar negeri Islam di dunia bersama Turki, Morroko, Iran, Mughal India dan Aceh Darussalam di Asia tenggara.

Menurut peraturan Pemerintah Saudi Arabia para keluarga dan nadhir dapat menuntuk ganti rugi dengan membawa bukti kepemilikan (tentu memerlukan proses yang lama untuk menelusuri siapa nadhir tanah wakaf tersebut, penunjukan pengacara dll) dan bisa menghadap ke Pengadilan Agama Makkah untuk menuntut ganti rugi dan penggantian dikawasan lain di Mskkah sehingga tanah waqaf tersebut tidak hilang. Kalau seandainya tidak ada keluarga pewaqaf lagi khusus untuk wakaf keluarga maka sesuai dengan ikrar wakaf akan beralih milik Masjidil Haram atau Baital Mal. Inilah pelajaran atau hikmah tradisi waqaf di Makkah yang semoga bisa menjadi contoh yang baik bagi Pengelolaan waqaf di Aceh.

Itulah sedikit catatan yang terekam, tentang waqaf orang Aceh di Tanah Arab, walaupun generasi sekarang hanya mengenal bahwa Aceh adalah Serambi Makkah. Namun sebenarnya ada rentetan sejarah yang menyebabkan Aceh memang pernah memberikan kontribusi penting terhadap pembinaan sejarah Islam di Timur Tengah. Karena itu, selain Aceh memproduksi Ulama, ternyata dari segi materi, rakyat Aceh juga memberikan sumbangan dan waqaf yang masih bisa ditelusuri hingga hari ini.

Karena itu, saya menduga kuat bahwa tradisi Islam memang telah dipraktikkan oleh orang Aceh saat itu, dimana “tangan di atas, lebih baik daripada tangan di bawah”. Akibatnya, kehormatan orang Aceh sangat disegani, baik oleh kawan maupun lawan. Dalam hal ini, harus diakui bahwa Snouck telah “berjasa” merekam beberapa akibat dari episode sejarah kehormatan orang Aceh. Inilah pelajaran penting bagi peneliti sejarah Aceh

Inilah sekelumit hasil muhibbah saya ke Arab Saudi dan saya benar-benar terkesima dengan pengakuan identitas "Al-Asyi" dan pola pengelolaan waqaf di Arab Saudi. Selain ini, di dalam perjalanan ini, saya sempat berpikir apakah nama baik orang Aceh di Arab Saudi bisa sederajat dengan nama baik Aceh di Indonesia dan di seluruh dunia. Yang menarik adalah hampir semua negara yang saya kunjungi, nama Aceh selalu dihormati dan dipandang sebagai bagian dari peradaban dunia.

Padahal semua bangsa di dunia menghargai aceh terkecuali indonesia yang zalim di muka bumi.audi Arabia seperti ;

  1. Syeikh Abdul Ghani Al Asyi (Alm) mantan Ketua Bulan Sabit Merah Timur Tengah,
  2. Dr. Jalal Al Asyi (Alm) mantan Wakil Menteri Kesehatan Arab Saudi,
  3. Dr. Ahmad Asyi mantan Wakil Menteri Haji dan Wakaf dan banyak sekali harta wakaf negeri Aceh sekarang masih wujud disana.

Mengungkapkan tradisi sumbang menyumbang masyarakat Aceh di Tanah Hijaz (Makkah, Saudi Arabia) pada abad ke-17 Masehi. Ini menarik kita ketahui bagaimana kontribusi Aceh atas tanah Hijaz, yang sekarang bernama Saudi Arabia. dimana orang Aceh tidak hanya mewakafkan tanah, melainkan juga emas yang didatangkan khusus dari Bumi Serambi ke negeri Mekkah Al-Mukarramah ini.

Diriwayatkan bahwa pada tahun 1672 M, Syarif Barakat penguasa Mekkah pada akhir abad ke 17 mengirim duta besarnya ke timur. Mencari sumbangan untuk pemeliharaan Masjidil Haram. Karena kondisi Arab pada saat itu masih dalam keadaan miskin. Kedatangan mereka ke Aceh setelah Raja Moghol, Aurangzeb (1658-1707) tidak mampu memenuhi keinginan Syarif Barakat itu. Dia saat itu belum sanggup memberi sumbangan seperti biasanya ke Mesjidil Haram. Setelah empat tahun rombongan Mekkah ini terkatung katung di Delhi India. Atas nasehat pembesar di sana, rombongan ini berangkat ke Aceh dan tiba di Aceh pada tahun 1092 H (1681M).

Sampai di Aceh, duta besar Mekkah ini disambut dan dilayani dengan baik dan hormat oleh Sri Ratu Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688 M). Di luar dugaan, kedatangan utusan Syarif Mekkah ini menyulut semangat kelompok wujudiyah yang anti pemerintahan perempuan. Namun, karena sosok Sultanah Zakiatuddin yang ‘alim dan mampu berbahasa Arab dengan lancar. Bahkan menurut sejarah, dia berbicara dengan para tamu ini dengan menggunakan tabir dari sutra Dewangga (Jamil: 1968).

Utusan Arab sangat gembira diterima oleh Sri Ratu Zakiatuddin, karena mareka tidak mendapat pelayanan serupa ketika di New Delhi, India. Bahkan empat tahun mareka di India, tidak dapat bertemu Aurangzeb.

Ketika mereka pulang ke Mekkah, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, memberi mreka Cindera Mata untuk rombongan dan Syarif Mekkah juga sumbangan untuk Mesjidil Haram dan dan Mesjidil Nabawi di Madinah terdiri dari: tiga kinthar mas murni, tiga rathal kamfer, kayu cendana dan civet (jeuebeuet musang), tiga gulyun (alat penghisap tembakau) dari emas, dua lampu kaki (panyot-dong) dari emas, lima lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, lampu kaki dan kandil dari emas untuk Masjid Nabawi.

Pada tahun 1094 (1683 M) mareka kembali ke Mekkah dan sampai di Mekkah pada bulan Sya’ban 1094 H (September 1683 M). Dua orang bersaudara dari rombongan duta besar Mekkah ini yakni Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim, tetap menetap di Aceh atas permintaan para pembesar negeri Aceh yang dalam anti raja perempuan (Jamil: 1968). Mereka dibujuk untuk tetap tinggal di Aceh sebagai orang terhormat dan memberi pelajaran agama dan salah satu dari mereka, kawin dengan Kamalat Syah, adik Zakiatuddin Syah.

Lima tahun kemudian setelah duta besar Mekkah kembali ke Hijaz dengan meninggalkan Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim di Aceh, Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah wafat tepat pada hari Ahad 8 Zulhijjah 1098H (3 Oktober 1688 M). Pemerintahan Aceh digantikan oleh adiknya yaitu Seri Ratu Kamalatsyah yang bergelar juga Putroe Punti. Dia diangkat menjadi Ratu pemerintahan kerajaan Aceh atas saran Syeikh Abdurrauf Al Fansury yang bertindak pada saat itu sebagai Waliyul-Mulki (Wali para Raja).

Baru setelah meninggalnya Syeikh Abdurrauf pada malam senin 23 Syawal 1106 H (1695M), konflik mengenai kedudukan pemerintahan Aceh dibawah pemerintahan ratu yang telah berlangsung 54 tahun sejak Safiatuddin Syah(1641-1675M), terguncang kembali. Hal ini dipicu oleh fatwa dari Qadhi Mekkah tiba. Menurut sejarah, “fatwa import” ini tiba dengan “jasa baik” dari golongan oposisi ratu. Lalu pemerintah Aceh, diserahkan kepada penguasa yang berdarah Arab, yaitu salah satu dua utusan Syarif dari Mekkah, yakni suami Ratu Kemalatsyah, Syarif Hasyim menjadi raja pada hari Rabu 20 Rabi`ul Akhir 1109 H (1699M).

Menurut sejarah, Ratu tersebut dimakzulkan akibat dari “fatwa import” tersebut. Lalu kerajaan Aceh memiliki seorang pemimpin yang bergelar Sultan Jamalul Alam Syarif Hasyim Jamalullail (1110-1113 H/1699-1702M). dengan berkuasanya Syarif Hasyim awal dari dinasti Arab menguasai Aceh sampai dengan tahun 1728 M. Inilah bukti sejarah bahwa kekuasaan para Ratu di Aceh yang telah berlangsung 59 tahun hilang setelah adanya campur tangan pihak Mekkah, paska para ratu ini menyumbang emas ke sana. Aceh yang dipimpin oleh perempuan selama 59 tahun bisa jadi bukti bagaimana sebenarnya tingkatemansipasi perempuan Aceh saat itu (Azyumardi Azra, 1999).

Terkait dengan sumbangan emas yang diberikan oleh Ratu kepada rombongan dari Mekkah, ternyata menjadi perbincangan dan perdebatan di Mekkah. Disebutkan bahwa sejarah ini tercatat dalam sejarah Mekkah dimana disebutkan bahwa emas dan kiriman Sultanah Aceh tiba di Mekkah di bulan Syakban 1094 H/1683 M dan pada saat itu Syarif Barakat telah meninggal. Pemerintahan Mekkah digantikan oleh anaknya Syarif Sa’id Barakat (1682-1684 M).

Snouck Hurgronje, menuturkan “Pengiriman Seorang Duta Makkah ke Aceh Pada Tahun 1683” sempat kagum terhadap kehebatan Aceh masa lalu dan dicatat dalam bukunya, dimana sewaktu dia tiba di Makkah pada tahun 1883. Karena Kedermawaan Bangsa dan Kerajaan Aceh masa itu, Masyarakat Makkah menyebut Aceh Sebagai "Serambi Mekkah" di sana.

Ternyata sumbangan Kerajaan Aceh 200 tahun yang lalu masih selalu hangat dibicarakan disana. Menurutnya berdasarkan catatan sejarah Mekkah yang dipelajarinya barang barang hadiah itu sempat disimpan lama di rumah Syarif Muhammad Al Harits sebelum dibagikan kepada para Syarif yang berhak atas tiga perempat dari hadiah dan sedekah diberikan kepada kaum fakir miskin sedangkan sisanya diserahkan kepada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Begitu juga tradisi wakaf orang Aceh di tanah Arab sebagai contoh tradisi wakaf umum, ialah wakaf habib Bugak Asyi yang datang ke hadapan Hakim Mahkmah Syariyah Mekkah pada tanggal 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Di depan hakim dia menyatakan keinginannya untuk mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat; rumah tersebut dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh yang datang ke Mekkah untuk menunaikan haji dan juga untuk tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Mekkah.

Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) jika santri aceh tidak lagi sekolah di mekah maka rumah wakaf ini di gunakan oleh orang-orang asia tenggara yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang belajar di Masjid Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjid Haram.

Menurut sejarah, sebenarnya bukan hanya wakaf habib Bugak yang ada di Mekkah, yang sekarang hasilnya sudah dapat dinikmati oleh para jamaaah haji dari Aceh tiap tahunnya lebih kurang 2000 rial per jamaah. Peninggalan Aceh di Mekkah bukan hanya sumbangan emas pada masa pemerintahan ratu ini juga harta harta wakaf yang masih wujud sampai saat ini seperti :

  1. Waqaf Syeikh Habib Bugak Al Asyi'
  2. Waqaf Syeikh Muhammad Saleh Al-Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat No. 324) di Qassasyiah,
  3. Waqaf Sulaiman bin Abdullah Al-Asyi di Suqullail (Pasar Seng),
  4. Wakaf Muhammad Abid Al-Asyi,
  5. Wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Al-Asyi,
  6. Wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Al+Asyi di Mina,
  7. Waqaf Warga Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina,
  8. Waqaf Muhammad Saleh Al-Asyi di Jumrah ula di Mina,
  9. Rumah Waqaf di kawasan Baladi di Jeddah,
  10. Rumah Waqaf di Taif,
  11. Rumah Wawaf di kawasan Hayyi al-Hijrah Makkah.
    12.Rumah Waqaf di kawasan Hayyi Al-Raudhah, Makkah,
  12. Rumah Waqaf di kawasan Al Aziziyah, Makkah.
  13. Wawaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah, yang belum diketahui pewawafnya.
  14. Rumah wakaf Syech Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) di Syamiah Makkah,
  15. Rumah waqaf Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga) di Syamiah,
  16. Rumah Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di Syamiah.

Inilah bukti bagaimana generous antara ibadah dan amal shaleh orang Aceh di Makkah. Mereka lebih suka mewaqafkan harta mereka daripada dinikmati oleh keluarga mereka sendiri. Namun, melihat pengalaman Waqaf Habib Bugak, agaknya rakyat Aceh sudah bisa menikmati hasilnya sekarang.

Fenomena dan spirit ini memang masih sulit kita jumpai pada orang Aceh saat ini, karena tradisi waqaf tanah tidak lagi dominan sekali. Karena itu, saya menganggap bahwa tradisi leluhur orang Aceh yang banyak mewaqafkan tanahnya di Arab Saudi perlu dijadikan sebagai contoh tauladan yang amat tinggi maknanya. Hal ini juga dipicu oleh kejujuran pengelolalaan waqaf di negeri ini, dimana semua harta waqaf masih tercatat rapi di Mahkamah Syariah Saudi Arabia.

Sebagai bukti bagaimana kejujuran pengelolaan wakaf di Arab Saudi, Pada tahun 2008 Mesjidil haram diperluas lagi kekawasan Syamiah dan Pasar Seng. Akibatnya ada 5 persil tanah waqaf orang Aceh terkena penggusuran. Tanah wakaf tersebut adalah kepunyaan Sulaiman bin Abdullah Asyi, Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan), Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga), Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi.

Di Mekkah juga penulis sempat bertemu dengan Saidah Taliah Mahmud Abdul Ghani Asyi serta Sayyid Husain seorang pengacara terkenal di Mekkah untuk mengurus pergantian tanah wakaf yang bersetifikat no 300 yang terletak di daerah Syamiah yang terkena pergusuran guna perluasan halaman utara Masjidil Haram Makkah Al Mukarramah yang terdaftar petak persil penggusuran no 608. Yang diwaqafkan oleh Syeich Abdurrahim Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) dan adiknya Syech Abdussalam Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga).

Memang pada asalnya 75 persen tanah di sekitar Mesjidil Haram adalah tanah waqaf apakah itu waqaf khusus atau wakaf umum. Dan sebagiannya ada milik orang orang Aceh dulu dan ini bagian dari kejayaan Aceh yang pernah masuk dalam 5 besar negeri Islam di dunia bersama Turki, Morroko, Iran, Mughal India dan Aceh Darussalam di Asia tenggara.

Menurut peraturan Pemerintah Saudi Arabia para keluarga dan nadhir dapat menuntuk ganti rugi dengan membawa bukti kepemilikan (tentu memerlukan proses yang lama untuk menelusuri siapa nadhir tanah wakaf tersebut, penunjukan pengacara dll) dan bisa menghadap pengadilan agama Makkah menutut ganti rugi dan penggantian dikawasan lain di Makkah sehingga tanah waqaf tersebut tidak hilang. Kalau seandainya tidak ada keluarga pewaqaf lagi, khusus untuk waqaf keluarga maka sesuai dengan iqrar waqaf akan beralih milik Masjidil Haram atau Baital Mal. Inilah pelajaran atau hikmah tradisi waqaf di Makkah yang semoga bisa menjadi contoh yang baik bagi pengelolaan waqaf di Aceh.

Itulah secuil catatan yang sempat tercatat, tentang waqaf orang Aceh di Tanah Arab, walaupun generasi sekarang hanya mengenal bahwa Aceh adalah Serambi Makkah. Namun sebenarnya ada rentetan sejarah yang menyebabkan Aceh memang pernah memberikan kontribusi penting terhadap pembinaan sejarah Islam di Timur Tengah. Karena itu, selain Aceh memproduksi Ulama, ternyata dari segi materi, rakyat Aceh juga memberikan sumbangan dan waqaf yang masih bisa ditelusuri hingga hari ini.

Karena itu, saya menduga kuat bahwa tradisi Islam memang telah dipraktikkan oleh orang Aceh saat itu, dimana “tangan di atas, lebih baik daripada tangan di bawah”. Akibatnya, kehormatan orang Aceh sangat disegani, baik oleh kawan maupun lawan. Dalam hal ini, harus diakui bahwa Snouck telah “berjasa” merekam beberapa akibat dari episode sejarah kehormatan orang Aceh. Inilah pelajaran penting bagi peneliti sejarah Aceh

Inilah sekelumit hasil muhibbah saya ke Arab Saudi dan saya benar-benar terkesima dengan pengakuan identitas "Asyi" dan pola pengelolaan wakaf di Arab Saudi. Selain ini, di dalam perjalanan ini, saya sempat berpikir apakah nama baik orang Aceh di Arab Saudi bisa sederajat dengan nama baik Aceh di Indonesia dan di seluruh dunia. Yang menarik adalah hampir semua negara yang saya kunjungi, nama Aceh selalu dihormati dan dipandang sebagai bagian dari peradaban dunia.

Padahal semua bangsa di dunia menghargai aceh terkecuali indonesia yang zalim di muka bumi.

Coin Marketplace

STEEM 0.35
TRX 0.12
JST 0.040
BTC 70351.33
ETH 3563.43
USDT 1.00
SBD 4.72