Kajian Ushulu Fiqh part IIsteemCreated with Sketch.

in #indonesia7 years ago

A. Pendahuluan
Sebagai sebuah agama, Islam mempunyai berbagai macam aturan, hukum sekaligus dogma-dogma teologis. Hukum-hukum tersebut ditetapkan tuhan demi tercipta suatu kehidupan yang berorientasi pada kebahagiaan umat, baik di dunia maupun akhirat.
Karakteristik hukum Islam yang bersendikan nash dan didukung dengan akal merupakan cirri khas yang membedakannya dengan sistem hukum lainnya. Ijtihad memegang peranan signifikan dalam pembaruan dan pengembangan hukum Islam. Hal ini merupakan pantulan dari sebuah adagium dari seorang Syahrastani yang kemudian berkembang menjadi statement populer di kalangan para pakar hukum Islam yaitu “Teks-teks nash itu terbatas, sementara problematika hukum yang memerlukan solusi tidak terbatas”.
Mediator utama dalam memecahkan problem-problem keagamaan adalah dengan berijtihad. Sebagai sebuah mediator, ia juga memerlukan perangkat-perangkat supaya mampu menghasilkan solusi-solusi cerdas dan tepat bagi problem-problem tersebut.
Salah satu perangkat untuk melakukan aktifitas ijtihad adalah dengan memahami metodologi ushul fiqih, sebab denganya seseorang akan mampu menyelami dan memahami dalil-dalil syar’i yang pada akhirnya akan menemukan hukum-hukum Islam dari pesan-pesan tuhan secara langsung maupun tidak langsung.
Di antara sekian banyak wilayah cakupan fan ushul fiqh yang amat penting untuk diketahui adalah konsep tentang hukum, hakim, mahkum fih dan mahkum alaih. Sebab sebelum seseorang terjun untuk menjawab persoalan sebuah hukum, ia diharuskan untuk mengetahui terlebih dahulu apa itu hukum, kemudian siapa pembuatnya dan siapa obyeknya.
Berpijak dari hal di atas, maka dalam makalah sederhana ini akan dieksplorasi secara komprehensif tentang istilah-istilah tersebut yang meliputi hakim, hukum, mahkum fih dan mahkum alaih.

B. Pembahasan

  1. Menurut Wahbah Al-Zuhaili
    a. Hukum
    Hukum menurut bahasa ialah “tegah”. Sedangkan hukum menurut istilah agama (syara’) adalah: tuntutan dari Allah yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan bagi tiap-tiap orang mukallaf. baik berupa tuntutan (perintah dan larangan), pilihan, atau wadh’i (menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain, syarat, dan mani’ atau penghalang bagi sesuatu hukum)”.

b. Al-Hakim
Al-Hakim dalam tinjauan syariat adalah Allah ‘Azza wa Jall menurut yang telah disepakati oleh para ulama, baik hukum dipahami dengan perantaraan wahyu atau dengan sebab proses ijtihat. Karena itu para ulama menyebutkan definisi hukum dengan “titah Allah swt yang berkoneksi dengan perbuatan orang mukallaf”. Dalilnya firman Allah swt, “ Katakanlah: “Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al-Qur’an) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik” (Al-An’am [6]: 57).
Ulama telah sepakat tentang definisi hukum syar’i sebagaiman tersebut di atas, namun sejauh itu mereka masih memperselisihkan mengenai apa yang dapat mengantar kepada hukum, akal atau sayar’, apakah akal dapat menemukan hukum sebelum kebangkitan Nabi atau tidak?. Di sinilah posisi akal memiliki fungsi untuk menetapkan kebaikan dan keburukan. Ada tiga mazhab besar yang memberi komentar dalam hal ini:
Pertama mazhab Asya’irah (pengikut Abi Hasan al-Asy’ary: 324 H) menybutkan bahwa kebaikan dan keburukan diketahui melalui penetapan syara’, akal tidak mampu menetapkan suatu hukum Allah yang terkoneksi dengan perbuatan mukallaf tanpa adanya perantaraan al-Qur’an dan Rasul, karena akal mempunyai persepsi yang berbeda dalam menilai perbuatan, sebagian akal menilai sebagian perbuatan yang dikerjakan mukallaf itu baik, sementara sebagian akal yang lin menilai itu buruk.
Karena itu, setiap perbuatan yang diperintahkan syara’ seperti iman, shalat dan haji adalah baik, dan setiap perbuatan yang dilarangkan syara’ seperti kufur dan perbuatan haram lainnya adalah buruk. Tidak ada pernyataan bahwa sesuatu yang dipandang akal baik maka baik di sisi Allah dan dianjurkan serta mendapat pahala bagi yang melakukannya, dan sesuatu yang dipandang akal buruk maka buruk di sisi Allah dan harus ditinggalkan serta mendapat siksaan bagi yang melakukannya.
Berdasarkan pernyataan di atas, seorang manusia tidak dibebankan mengerjakan dan meninggalkan sesuatu kecuali apabila telah sampai kepadanya dakwah Rasul dan syariat Allah, tidak pula memperoleh pahala dan dosa, orang-orang yang hidup di tempat yang sepi dan jauh daripada dakwah Rasul ia dikatakan terlepas daripada hukum dan tidak disebutkan mukallaf, namun ia disebut ahli fatarah, ahli fatarah (orang-orang yang hidup di masa kesunyian antara dua orang rasul) terlepas dari bebanan hukum, tidak memperoleh pahala dan dosa. Al-Qur’an menjelaskan tentang kebebasan ahli fatarah sebagaimana yang termuat dalam surat al-Israayat 15, “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al-Isra: 15)
Kedua mazhab mu’tazilah (pengikut Washil bin ‘Atha`: 131H dan ‘Amr bin ‘Ubaid: 144H) mengatakan akallah yang menetapkan baik dan buruk. Ada kemungkinan bagi akal mengetahui hukum Allah yang terkoneksi dengan perbuatan mukallaf dengan semata-mata nalar akal tanpa melalui perantaraan Rasul dan al-Qur’an, hal ini terdukung oleh sifat-sifat yang melekat pada perbuatan baik manfaat dan mudharat. Apa saja yang dipandang baik menurut akal maka mengerjakannya dapat pahala, dan apa saja yang dipandang buruk menurut akal maka mengerjakannya dapat siksa.
Berdasar mazhab tersebut, tiap-tiap orang yang belum sampai kepadanya dakwah rasul dan syariat Allah adalah mukallaf dengan sesuatu yang dinalar oleh akal mereka sendiri, diperbuat apa yang dipandang baik oleh akal mereka, dan dijauhi dan ditinggalkan apa yang dipandang buruk oleh akal mereka, karena setiap orang yang berakal dapat menalar bahwa sifat benar, tepati janji, amanah, dan syukur nikmat adalah kebaikan, akal juga dapat menalar bahwa sifat dusta, tipuan, khianat, dan kufur nikmat adalah keburukan.
Ketiga mazhab Maturidiyah (pengikut Abi Mansur al-Maturidy: 333H) termasuk di dalamnya sebagain imam dari mazhab Hanafi berpendapat bahwasanya, baik dan buruk diukur dengan akal tidak tergantung pada ketetapan syara’, dapat dinalar oleh akal, pendapat ini berpacu pada pernyataan bahwa pada perbuatan mukallaf terkandung khawash dan bekasan. Karena itu apa saja yang dipandang baik oleh akal sehat maka menjadi baik, dan sebaliknya apa saja yang dipandang buruk oleh akal sehat maka menjadi buruk. Namun tidak lazim setiap hukum Allah yang terkoneksi dengan perbuatan mukallaf harus bergantung pada akal untuk mendapat kejelasan baik atau buruk, karena akal tidak selamanya benar, sesewaktu juga bisa salah.
Mazhab yang ketiga ini mazhab moderat dan logika dan sederhana, karena itu akar (ushul) akhlak dan perbuatan mulia dinalar oleh akal bahwa itu baik sebab di dalamnya terkandung manfaat, akar perbuatan hina dinalar oleh akal bahwa itu buruk sebab di dalamnya terkandung kemudharatan.
Berdasar mazhab tersebut tidak ada pembebanan kepada hamba untuk melakukan sesuatu dan meninggakannya sebelum datang syariat, dan tidak ada pula pahala sebelum datangnya syariat, walaupun mazhab ini bersepakat dengan mazhab Mu’tazilah tentang akal mampu menalar baik dan buruk yang dapat menarik pahala pada sebagian perbuatan.
Kesimpulan, inti khilaf di antara tiga mazhab di atas adalah mengenai orang-orang yang belum sampai kepadanya dakwah rasul dan syariat. Adapun orang-orang yang sudah sampai kepadanya dakwah rasul maka ukuran baik dan buruk suatu perbuatan diukur berdasrkan syariat tidak dengan menggunakan akal, karena itu sesuatu yang diperintahkan syara’ maka menjadi baik, dan sesuatu yang dialarangkan syara’ maka menjadi buruk.
c. Mahkum Fih (Objek Hukum)
Pengertian mahkum fih
Mahkum fih adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal. Sebagai contoh firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 43, “Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku” (Al-Baqarah: 43).
Pada syat ini terdapat pengwajiban (ijab) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf yakni tuntutan untuk mengerjakan shalat, maka ia menjadi wajib.
Syarat Mahkum Fih
Supaya sesuatu perbuatan sah ditaklifkan, maka harus memenuhi tiga syarat:

  1. Perbuatan itu haruslah diketahui oleh mukalaf dengan pengetahuan yang sempurna, sehingga mukalaf tersebut mampu untuk melaksanakannya sebagaimana dituntut. Berdasarkan hal ini, maka nash-nash al-Qur’an yang mujmal (yang masih global atau belum dijelaskan maksudnya), tidak sah mentaklifkannya kepada mukallaf, kecuali setelah adanya bayan (penjelasan) dari nash tersebut. Contoh:
      … 
    Artinya: “Dan dirikanlah shalat”
    Ayat tersebut merupakan ayat yang mujmal (masih global) karena masih perlu penjelasan lagi. Dan penjelasan dari ayat tersebut yaitu penjelasan hadits nabi mengenai rukun-rukun, syarat-syarat, dan cara pelaksanaannya. Rasulullah menjelaskan kemujmalan ayat ini dan berkata:
    صلوا كما رأيتموني أصلى
    Artinya: Lakukanlah shalat sebagaimana kamu melihatku melaksanakan shalat”
  2. Diketahui secara jelas bahwa hukum itu datang dari orang yang memiliki wewenang untuk memerintah atau orang yang wajib diikuti hukum-hukumnya oleh mukalaf.
  3. Perbuatan yang diperintahkan itu mungkin atau dapat dilakukan atau ditinggalkan oleh mukalaf sesuai dengan kadar kemampuannya. Syarat-syarat ini bercabang menjadi dua hal:
    a) Bahwasannya secara syara’ pentaklifan terhadap sesuatu yang mustahil itu tidak sah, seperti juga mustahil menurut akal. Contohnya, diwajibkan dan diharamkannya suatu perkara dalam satu waktu, ataupun mustahil karena sesuatu yang lainnya. Contohnya, seperti manusia terbang di udara tanpa adanya alat bantu apapun seperti pesawat dan lain sebagainya.
    b) Bahwasannya tidak sah menurut syara’, mentaklif mukalaf supaya orang lain melaksanakan suatu perbuatan ataupun meninggalkannya. Karena melakukan perbuatan orang lain dan meninggalkannya itu tidak mungkin baginya. Contohnya, seseorang puasa untuk orang lain, ataupun seseorang melaksanakan shalat untuk orang lain.
    c) Tidak sah pembebanan dengan masalah-masalah yang bersangkutan dengan sifat-sifat yang tidak daya dan usaha manusia dalam mengadakannya. Seperti sikap marah, benci, takut, gembira, kasih saying, cinta, gairah makan dan minum. Perbuatan-perbuatan seperti ini, menurut ulama ushul fiqh, bukan atas ikhtiar dan kehendak manusia. Oleh sebab itu, tidak ada taklif bagi perbuatan seperti itu.
    Dari syarat ketiga di atas, yaitu perbuatan taklif itu tidak ada kemungkinan dikerjakan atau ditinggalkan mukallaf, muncul persoalan lain yang dikemukakan para ulama ushul fiqh yaitu masalah masyaqqah (kesulitan) dalam taklif. Apakah boleh ditetapkan taklif terhadap amalan yang mengandung masyaqqah? Dalam hal ini para ulama ushul fiqh membagi masyaqqah terhadap dua bentuk, yaitu masyaqqah mu’taddah (kesulitan biasa dan dapat diduga) dan masyaqqah ghair mu’taddah (kesulitan di luar kebiasaan dan sulit diduga). Yaitu:
  4. Masyaqqah mu’taddah (المشقّة المعتادة) adalah kesulitan yang bisa diatasi oleh manusia tanpa membawa kemudlaratan baginya. Masyaqqah sepaerti ini tidak dihilangkan oleh syara’ dari manusia dan hal ini bisa terjadi, karena seluruh perbuatan (amalan) dalam kehidupan ini tidak terlepas dari kesulitan tersebut. Misalnya, mengerjakan shalat itu bisa melelahkan badan. Kesulitan seperti ini, menurut para ahli ushul fiqh, berfungsi sebagai ujian terhadap kepatuhan dan ketaatan seorang hamba dalam menjalankan taklif syara’. Dengan demikian, masyaqqah separti ini tidak bisa menghalangi seseorang untuk melaksanakan taklif syara’.
  5. Masyaqqah ghair mu’taddah (المشقّة غير المعتادة), adalah suatu kesulitan yang biasanya tidak mampu diatasi oleh manusia, karena bisa mengancam jiwa, mengacaukan sistem kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun masyarakat, serta pada umumnya kesulitan seperti ini dapat menghalangi perbuatan yang bermanfaat. Kesulitan seperti ini pun, menurut ulama ushul fiqh, secara logika, dapat diterima sekalipun dalam kenyataannya tidak pernah terjadi, karena Allah sendiri tidak bertujuan menurunkan taklif-Nya untuk memberikan kesulitan bagi manusia. Misalnya, Allah tidak pernah memerintahkan hamba-Nya untuk berpuasa siang dan malam.
    Macam-macam Mahkum Fih
    Ulama hanafiyah membagi perbuatan mukallaf yang terikat dengan hukum Allah kepada empat pembagian:
  6. Hak semata-mata bagi Allah.
  7. Hak semata-mata bagi hamba.
  8. Hak yang bercampur (hak Allah dan hak hamba), hak Allah lebih dominan.
  9. Hak yang bercampur (hak Allah dan hak hamba), hak hamba lebih dominan.
    Hak Allah adalah sesuatu yang berkaitan dengan manfaat universal bagi sekalian alam tanpa ada pengkhususan, hak tersebut disandarkan kepada Allah karena besar bahayanya dan melangkapi manfaatnya, artinya hak yang menyangkut bagi orang banyak, dan hukum Allah disyariatkan untuk maslahah yang amah tidak untuk maslahah seseorang saja.
    Hak hamba adalah sesuatu yang berkaitan dengan maslahah khashshah seperti mengambil harta orang lain, berikut penjelasan masing-masing:
    a. Semata-mata hak Allah, yaitu segala yang menyangkut kemaslahatan umum tanpa terkecuali. Hak yang sifatnya semata-mata hak Allah ini, menurut ulama ushul fiqh, ada delapan macam, yaitu:
  10. Ibadah mahdhah (Murni), seperti iman dan rukun Islam.
  11. Ibadah yang mengandung makna bantuan atau santunan, seperti zakat fitrah, karenanya disyaratkan niat dalam zakat fitrah, dan kewajiban zakat itu berlaku untuk semua orang.
  12. Bantuan atau santunan yang mengandung makna ibadah, seperti zakat hasil yang dikeluarkan dari bumi.
  13. Biaya atau santunan yang mengandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak bumi) yang dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
  14. Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana.
  15. Hukuman yang tidak sempurna, seperti seorang yang tidak diberi hak waris atau wasiat, karena ia membunuh pemilik harta tersebut.
  16. Hukuman yang mengandung makna ibadah, seperti kafarat sumpah, kafarat dhihar.
  17. Hak-hak yang harus dibayar, seperti kewajiban mengeluarkan seperlima harta terpendam dan harta rampasan perang.

b. Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.
c. Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah di dalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina).
d. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishash.

d. Mahkum Alaih (Subjek Hukum)
Pengertian Mahkum Alaih
Yang dimaksud dengan mahkum alaihi ialah mukalaf yang layak mendapatkan khitab dari Allah dimana perbuatannya berhubungan dengan hukum syariat.
Syarat Mahkum Alaih
Seseorang dikatakan mukallaf jika telah memenuhi syarat-syarat berikut ini:

  1. Mukallaf dapat memahami dalil taklif baik itu berupa nas-nas al-Qur’an atau sunah, baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif, maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya. Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukalaf.
  2. Mukalaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli disini ialah layak atau wajar untuk menerima perintah.

Ulama Ushul Fiqh membagi ahli (kelayakan) menjadi dua:
a) Ahliyatul Wujub (Ahli Wajib)
Yaitu kelayakan seseorang untuk ditetapkan kepadanya hak dan kewajiban. Kelayakan inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Kekhususan yang ada pada manusia ini oleh para fuqaha disebut al-zimmah, yaitu sifat naluri manusia untuk menerima hak orang lain dan menjalankan kewajiban dirinya untuk orang lain.
Ahliyatul wujub cakupannya bersifat menyeluruh untuk semua jenis manusia tanpa memandang laki-laki atau perempuan, anak-anak atau sudah baligh, unya akal atau gila, sehat atau sakit. Jadi, setiap manusia yang mana saja tanpa terkecuali mempunyai kelayakan untuk menerima hak dan kewajiban. Tidak ada manusia yang lepas dari kelayakan itu. Karena ahliyatul wujub itu dipandang sebagai sifat kemanusiaan. Dengan kata yang lebih tegas Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa ahliyatul wujub adalah sebuah ketetapan yang diperuntukkan untuk manusia dari mulai penciptaannya sampai kepada kematian.
b) Ahliyatul Ada(Ahli Melaksanakan) Yaitu kelayakan mukallaf untuk dapat dianggap baik ucapan dan perbuatannya menurut syara’. Apabila mukalaf mendirikan shalat, puasa atau haji maka semua itu bisa bisa diperhitungkan dan bisa menggugurkan kewajiban. Dan jika mukalfa melakukan tindakan pidana, maka ia harus dihukum sesuai dengan pelanggarannya itu. Putaran ahliyah: Ahliyah wujub naqishah, Ahliyah wujub kamilah, Ahliyah ada naqishah, dan Ahliyah ada` kamilah
Penghalang (Awaridh) dan Pembagiannya
Yang dimaksud dengan penghalang keahlian disini ialah keadaan yang membuat mukallaf tidak dapat melaksanakan hak dan kewajiban yang telah ditetapkan kepadanya. Para ulama ushul menggolongkan penghalang keahlian ini menjadi dua kelompok:

  1. Penghalang samawi, yaitu penghalang yang tidak dapat diusahakan oleh manusia. Ia lahir dengan sendirinya tanpa dikehendaki oleh manusia itu sendiri seperti: gila, kurang akal, lupa, ketiduran dan pingsan. Orang-orang yang terkena penghalang seperti tersebut maka ia dihukumi dengan orang yang tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk melakukan kewajiban-kewajiban.
  2. Penghalang kasbi, yaitu penghalang yang terjadi lantaran perbuatan manusia itu sendiri seperti mabuk, bodoh, banyak hutang dan boros.
  1. Menurut Abdul Hayy ‘Al
    a. Hukum
    Hukum menurut bahasa ialah “tegah”. Sedangkan hukum menurut istilah agama (syara’) adalah: tuntutan dari Allah yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan bagi tiap-tiap orang mukallaf. baik berupa tuntutan (perintah dan larangan), pilihan, atau wadh’i (menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain, syarat, dan mani’ atau penghalang bagi sesuatu hukum)”.
    b. Al-Hakim
    Pengertian tentang hukum yang telah disebutkan terdahulu mengisyarahkan pada al-Hakim (pembuat hukum), karena terminology hukum menurut ulama ushul fiqh adalah khitab (titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, baik itu berupa tuntutan, pilihan ataupun hukum wadh’i. Definisi ini secara pasti menunjukkan bahwa al-Hakim dalam fiqh adalah Allah swt, sebab pada dasarnya syariat itu merupakan undang-undang keagamaan yang bertolak dari wahyu samawi. Dengan demikian, jelas bahwa al-Hakim di sini adalah Allah swt, sedang semua system ta’rif tentang hukum di dalamnya tidak lain merupakan metode untuk mengenal hukum Allah dan peraturan-peraturan agama-Nya yang bersifat samawi.
    Atas dasar itulah jumhur ulama, bahkan umat Islam semuanya bersepakat menetapkan bahwa al-Hakim dalam Islam adalah Allah swt dan bahwa tidak ada syariat yang sah melainkan dari Allah. Allah swt berfirman, “Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah.” (Al-An’am: 57)
    Sebagaimana telah diketahui, bahwa semuanya telah sepakat bahwa al-Hakim yang artinya pembuat hukum adalah Allah swt. Akan tetapi yang menjadi perselisihan di kalangan ulama adalah terkait siapakh yang mempunyai kewenangan dalam penetapan hukum-hukum syariat, apakah syara’ atau akal.
    Pertama kelompok Asya’ariyah berpendapat bahwa yang berwenang menetapkan hukum adalah syara’. Dengan kata lain, tidak ada jalan untuk mengetahui hukum selain dengan syara’. Sedangkan kelompok Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mampu menetapkan hukum, sedang syara’ sebagai penegas atas apa yang diatangkap oleh akal.
    Sebenarnya perbedaan pendapat ini berpangkal pada perbedaan keduanya terkait pakah akal mampu menangkap baik dan buruk pada suatu perbuatan atau tidak.
    Kelompok Asy’ariyah berpendapat bahwa akal tidal dapat menangkap baik atau buruk pada suatu perbutan, akan tetapi kebaikan itu adalah yang dianggap baik oleh syara’ dan keburukan itu adalah yang dianggap buruk oleh syara’. Sedangkan kelompok kelompok Mu’tazilah berpendapat bahwa suatu perbuatan itu mengandung sifat-sifat yang dikandung oleh perbuatan tersebut, maka akal mampu menangkap baik atau buruknya perbuatan itu.
    Jika akal telah menangkap kebaikan pada perbuatan, maka perbuatan itu hukumnya wajib atau mandub; jika ia menangkap keburukan pada suatu perbuatan, maka perbuatan itu dihukumi haram atau makruh; dan bila akal tidak mendapati baik atau buruk pada suatu perbuatan, maka perbuatan itu dihukumi mubah.
    Kelompok Mu’tazilah menetapkan hukum pada suatu perbuatan beradsarkan apa yang ditangkap oleh akal, berupa kebaikan atau keburukan. Oleh karena itu, mereka mengatakan, bahwa akal menangkap hukum-hukum tersebut bahkan sebelum datangnya syara’.
    Sedangakan kelompok Asy’ariyah tidak menetapkan hukum pada suatu perbuatan sebelum datangnya syara’, sebab mereka tidak menetapkan baik atau buruk padanya. Oleh karena itu, mereka mengatakan, tidak ada jalan untuk mengetahui hukum kecuali dengan syara’.
    Beberapa argumentasi dan perdebatan
    Kelompok Asy’ariyah berargumen dengan dua dalil. Pertama; bahwa perbuatan tidak disifati baik atau buruk secara zatnya. Sebab jika perbuatan tersebut disifati dengan keduanya secara zatnya, maka masing-masing dari keduanya tidak akan pernah berganti dari perbuatan tersebut tatkala ia telah disifati demikian. Sebab sesuatu yang melekat pada zat tidak pernah berganti. Berbohong misalnya adalah perbuatan buruk. Akan tetapi jika berbohong itu demi menyelamatkan seorang Nabi, maka itu baik. Seandainya seorang Nabi dikejar-kejar seseorang yang hendak membunuhnya, kemudian Nabi tersebut masuk ke dalam suatu rumah untuk berlindung. Seandainya orang yang mengejar Nabi itu kemudian masuk ke rumah tersebut dan bertanya kepada pemilik rumah; jika si pemilik rumah menjawab “ada”, maka ini dianggap buruk, padahal pemilik rumah itu berkata jujur. Seandainya pemilik rumah itu berkata bohong kepada orang yang mengejar tadi, maka ini dianggap baik, meskipun ia berbohong, akan tetapi perbuatan berbohong itu menjadi baik karena berdampak pada penyelamatan Nabi. Pada kondisi ini, baik atau buruk telah berganti dari perbuatan tersebut. Ini menunjukkan bahwa baik dan buruk dalam perbuatan bukan sifat esensialnya. Jadi akal tidak bisa menangkap baik dan buruknya sesuatu, dan yang menjelaskan ini adalah syara’.
    Kedua perbuatan yang muncul dari seorang hamba adakalanya idhtirari atau ittifaqi. Sesuatu perbuatan jika itu muncul dari seorang hamba tanpa ada penguat yang mengautkan adanya dibandingkan tidak adanya, maka ini disebut ittifaqi.
    Adapun jika perbuatn itu muncul dari seorang hamba lantaran ada penguat, maka penguat itu bisa jadi muncul dari hamba atau dari Allah. Jika dari hamba, maka niscayakan terjadinya tasalsul (lingkaran setan), sebab penguat membutuhkan penguat lain, dan seterusnya; dan jika itu dari Allah, maka bila Allah mengaharuskan mengeluarkan perbuatan ketika ada penguat, maka perbuatan tersebut bersifat idhtirari (paksaan). Jika Allah tidak mengaharuskan mengeluarkan perbuatan tersebut, artinya Dia membolehkan untuk melakukan perbuatan tersebut atau tidak melakukan, maka kembali terjadi kebimbangan dalam penguat tersebut. Apakah penguat tersebut membutuhkan pada penguat yang pertama ataukah tidak. Jika ia tidak membutuhkan, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan ittifaqi; dan jika membutuhkan, mak jika yang dibutuhkan dari hamba, maka meniscayakan tasalsul juga, dan jika itu dari yang lain, maka itu juga dilarang.
    Jika perbuatan itu ittifaqi atau idhtirari, maka perbuatan tersebut tidak bisa disifati baik dan buruk menurut makna yang diperselisihkan. Sebab, tidak ada yang disifati keduanya kecuali perbuatan yang bersifat ikhtiyari (atas kehendak sendiri).
    Kesimpulannya, kelompok Asy’ariyah berpendapat tidak ada sesuatu yang wajib dan haram sebelum diutusnya Nabi. Sebelumnya datangnya syara’, maka tidak diketahui mana saja yang sebaiknya dipertahankan dan dilarang, sebab pembuat syariat Mahabijaksana yang menetapkan dan menjelaskan, bukan akal.
    Mereka menyandarkan pendapatnya pada firman Allah swt, “Dan Kami tidak mengazab sebelum Kami mengutus Rasul.” (Al-Isra`: 15). Dalam ayat ini Allah swt tidak akan mengazab sebelum diutusnya Nabi. Ini meniscayakan peniadaan sesuatu sebelumnya.
    Argumentasi kelompok Mu’tazilah.
    Adapun kelompok Mu’tazilah berargumen bahwa akal dapat menangkap baik dan buruknya sesutau. Oleh karena itu, seorang hamba mendapat pembebanan dari Allah menurut apa yang ditunjukkan oleh akal mereka. Sehingga mereka mengerjakan apa yang dianggap baik oleh akal mereka, dan meninggalkan apa yang dinilai buruk oleh mereka, bahkan sebelum datangnya syara’.
    Adapun yang demikian ini karena seandainya akal tidak dapat menangkap baik dan buruknya sesuatu sebelum datangnya syara’, tentu ia tidak dapat merajihkan kejujuran atas kebohongan. Akan tetapi, seorang mukallaf bisa merajihkan kejujuran atas kebohongan ketika keduanya sama dilihat dari tujuannya. Ini menunjukkan bahwa akal dapat menangkap baik dan buruknya sesuatu.
    Bantahan kelompok Asy’ariyah atas kelompok Mu’tazilah
    Kelompok Asy’ariyah membantah argument di atas, bahwa tidak mungkin seorang mukallaf dapat merajihkan kejujuran tas kebohongan ketika dua-duanya sama dalam pencapaian tujuan.
    Bahkan seandainya kita menerima pendapat Mu’tazilah ini, maka ini dikarenakan jujur merupakan sifat sempurna yang dipuji di dunia, bukan dikarenakan mendatangkan pahala di akhirat. Ini bukan termasuk yang diperselisihkan.
    Kelompok Mu’tazilah memiliki banyak dalil yang disebutkan oleh al-Amidi dan sekaligus beliau menjelaskan sisi kelemahannya.
    Demikianlah, sedangkan kelompok Maturidiyah menempuh jalan tengah. Mereka menyatakan bahwa akal akal memiliki kontribusi dalam mengetahui sebagian sesuatu, tidak pada sebagian yang lain. Ia terkadang mampu menangkan baik dan buruk sesuatu, tidak pada sesuatun yang lain. Sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh akal, maka syara’ yang menjelaskannya. Akan tetapi, meskipun akal mampu mengetahui sebagain sesuatu, hanya saja ia bukanlah yang memutuskan (hakim), tetapi yang memutuskan adalah Allah swt.
    Hukum menurut mereka (Maturidiyah) hanyalah berasal dari syara’. Selagi Allah swt belum mengutus seorang Rasul atau menurunkan Kitab, maka akal tidak punya hak untuk memutuskan, bahkan seandainya ia telah mengetahui baik atau buruk pada sebagian sesuatu, maka akal adalah alat untuk mengetahui. Dan pengetahuan itu dibuat oleh Allah setelah melihat akal.
    Oleh karena itu, dengan sikap yang ditempuh mereka ini menjadikan mereka sependapat dengan kelompok Asy’ariyah dalam hal bahwa tidak ada hukum sebelum diutusnya Nabi, dan tidak diketahui hukum Allah pada sesuatu kecuali dengan perantara Rasul dan Kitab-Nya. Mereka juga sependapat dengan kelompok Mu’tazilah dalam hal bahwa akal memungkinkan baginya menangkap baik dan buruk pada sebagian sesuatu, berdasarkan atas kemanfaatan atau kemudharatan yang ditangkapnya.
    Mereka mengambil dalil dengan nash-nash al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah swt. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, member kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (An-Nahl: 90).
    Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa apabila Allah swt memerintahkan sesuatu, maka Dia memerintahkan sesuatu yang adil, baik, berbuat kebijakan. Apabila melarang, maka sesungguhnya Dia melarang dari apa yang mengandung kemungkaran, kekejian, dan permusuhan. Sifat-sifat ini melekat pada sesuatu yang diperintahkan dan yang dilarang sebelum datangnya perintah dan larangan. Jika Allah mengeluarkan perintah atau larangan terhadap sesuatu, maka baik dan buruknya sesuatu itu ditetapkan dengan perintah-Nya, bukan dengan akal.
    Kesimpulan pendapat Maturidiyah ini bahwa di dalam perbuatan hamba terdapat kekhusushan. Ia memiliki dampak yang menjadikannya baik dan buruk. Sedangkan akal beradasarkan kekhususan dan dampaknya ini memungkinkan baginya mengetahui apa yang ada pada perbuatan tersebut, berupa baik dan buruk. Akan tetapi, hukum-hukum Allah swt terkait dengan perbuatan hamba tidak semestinya disesuaikan dengan kebaikan atau keburukan yang ditangkap oleh akal. Ada dari perbuatan-perbuatan yang untuk mengetahuinya harus ada seorang Rasul yang diutus dan kitabnya diturunkan.
    Dengan demikian, kelompok Mtauridiyah ini bersebrangan dengan kelompok Mu’tazilah dalam hal bahwa hukum Allah harus sesuai dengan akal, dan bahwa kebaikan yang ditangkap oleh akal, maka itulah yang dituntut oleh Allah swt dikerjakan, dan keburukan yang ditangkap oleh akal, maka itulah yang dituntut Allah supaya ditinggalkan.
    e. Mahkum Alaih (Subjek Hukum)
    Pengertian Mahkum Alaih
    Yang dimaksud dengan mahkum alaihi ialah mukalaf yang layak mendapatkan khitab dari Allah dimana perbuatannya berhubungan dengan hukum syariat.
    Syarat Mahkum Alaih
    Seseorang dikatakan mukallaf jika telah memenuhi syarat-syarat berikut ini:
  1. Mukallaf dapat memahami dalil taklif baik itu berupa nas-nas al-Qur’an atau sunah, baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif, maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya. Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukalaf.
  2. Mukalaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli disini ialah layak atau wajar untuk menerima perintah.

Ulama Ushul Fiqh membagi ahli (kelayakan) menjadi dua:
c) Ahliyatul Wujub (Ahli Wajib)
Yaitu kelayakan seseorang untuk ditetapkan kepadanya hak dan kewajiban. Kelayakan inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Kekhususan yang ada pada manusia ini oleh para fuqaha disebut al-zimmah, yaitu sifat naluri manusia untuk menerima hak orang lain dan menjalankan kewajiban dirinya untuk orang lain.
Ahliyatul wujub cakupannya bersifat menyeluruh untuk semua jenis manusia tanpa memandang laki-laki atau perempuan, anak-anak atau sudah baligh, unya akal atau gila, sehat atau sakit. Jadi, setiap manusia yang mana saja tanpa terkecuali mempunyai kelayakan untuk menerima hak dan kewajiban. Tidak ada manusia yang lepas dari kelayakan itu. Karena ahliyatul wujub itu dipandang sebagai sifat kemanusiaan. Dengan kata yang lebih tegas Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa ahliyatul wujub adalah sebuah ketetapan yang diperuntukkan untuk manusia dari mulai penciptaannya sampai kepada kematian.
d) Ahliyatul Ada(Ahli Melaksanakan) Yaitu kelayakan mukallaf untuk dapat dianggap baik ucapan dan perbuatannya menurut syara’. Apabila mukalaf mendirikan shalat, puasa atau haji maka semua itu bisa bisa diperhitungkan dan bisa menggugurkan kewajiban. Dan jika mukalfa melakukan tindakan pidana, maka ia harus dihukum sesuai dengan pelanggarannya itu. Putaran ahliyah: Ahliyah wujub naqishah, Ahliyah wujub kamilah, Ahliyah ada naqishah, dan Ahliyah ada` kamilah
Penghalang (Awaridh) dan Pembagiannya
Yang dimaksud dengan penghalang keahlian disini ialah keadaan yang membuat mukallaf tidak dapat melaksanakan hak dan kewajiban yang telah ditetapkan kepadanya. Para ulama ushul menggolongkan penghalang keahlian ini menjadi dua kelompok:

  1. Penghalang samawi, yaitu penghalang yang tidak dapat diusahakan oleh manusia. Ia lahir dengan sendirinya tanpa dikehendaki oleh manusia itu sendiri seperti: gila, kurang akal, lupa, ketiduran dan pingsan. Orang-orang yang terkena penghalang seperti tersebut maka ia dihukumi dengan orang yang tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk melakukan kewajiban-kewajiban.
    Penghalang kasbi, yaitu penghalang yang terjadi lantaran perbuatan manusia itu sendiri seperti mabuk, bodoh, banyak hutang dan boros.
    f. Mahkum Fih
    Pengertian mahkum fih
    Mahkum fih adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal. Sebagai contoh firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 43, “Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku” (Al-Baqarah: 43).
    Pada syat ini terdapat pengwajiban (ijab) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf yakni tuntutan untuk mengerjakan shalat, maka ia menjadi wajib.
    Syarat Mahkum Fih
    Supaya sesuatu perbuatan sah ditaklifkan, maka harus memenuhi tiga syarat:
  2. Perbuatan itu haruslah diketahui oleh mukalaf dengan pengetahuan yang sempurna, sehingga mukalaf tersebut mampu untuk melaksanakannya sebagaimana dituntut. Berdasarkan hal ini, maka nash-nash al-Qur’an yang mujmal (yang masih global atau belum dijelaskan maksudnya), tidak sah mentaklifkannya kepada mukallaf, kecuali setelah adanya bayan (penjelasan) dari nash tersebut. Contoh:
      … 
    Artinya: “Dan dirikanlah shalat”
    Ayat tersebut merupakan ayat yang mujmal (masih global) karena masih perlu penjelasan lagi. Dan penjelasan dari ayat tersebut yaitu penjelasan hadits nabi mengenai rukun-rukun, syarat-syarat, dan cara pelaksanaannya. Rasulullah menjelaskan kemujmalan ayat ini dan berkata:
    صلوا كما رأيتموني أصلى
    Artinya: Lakukanlah shalat sebagaimana kamu melihatku melaksanakan shalat”
  3. Diketahui secara jelas bahwa hukum itu datang dari orang yang memiliki wewenang untuk memerintah atau orang yang wajib diikuti hukum-hukumnya oleh mukalaf.
  4. Perbuatan yang diperintahkan itu mungkin atau dapat dilakukan atau ditinggalkan oleh mukalaf sesuai dengan kadar kemampuannya. Syarat-syarat ini bercabang menjadi dua hal:
    d) Bahwasannya secara syara’ pentaklifan terhadap sesuatu yang mustahil itu tidak sah, seperti juga mustahil menurut akal. Contohnya, diwajibkan dan diharamkannya suatu perkara dalam satu waktu, ataupun mustahil karena sesuatu yang lainnya. Contohnya, seperti manusia terbang di udara tanpa adanya alat bantu apapun seperti pesawat dan lain sebagainya.
    e) Bahwasannya tidak sah menurut syara’, mentaklif mukalaf supaya orang lain melaksanakan suatu perbuatan ataupun meninggalkannya. Karena melakukan perbuatan orang lain dan meninggalkannya itu tidak mungkin baginya. Contohnya, seseorang puasa untuk orang lain, ataupun seseorang melaksanakan shalat untuk orang lain.
    f) Tidak sah pembebanan dengan masalah-masalah yang bersangkutan dengan sifat-sifat yang tidak daya dan usaha manusia dalam mengadakannya. Seperti sikap marah, benci, takut, gembira, kasih saying, cinta, gairah makan dan minum. Perbuatan-perbuatan seperti ini, menurut ulama ushul fiqh, bukan atas ikhtiar dan kehendak manusia. Oleh sebab itu, tidak ada taklif bagi perbuatan seperti itu.
    Dari syarat ketiga di atas, yaitu perbuatan taklif itu tidak ada kemungkinan dikerjakan atau ditinggalkan mukallaf, muncul persoalan lain yang dikemukakan para ulama ushul fiqh yaitu masalah masyaqqah (kesulitan) dalam taklif. Apakah boleh ditetapkan taklif terhadap amalan yang mengandung masyaqqah? Dalam hal ini para ulama ushul fiqh membagi masyaqqah terhadap dua bentuk, yaitu masyaqqah mu’taddah (kesulitan biasa dan dapat diduga) dan masyaqqah ghair mu’taddah (kesulitan di luar kebiasaan dan sulit diduga). Yaitu:
  5. Masyaqqah mu’taddah (المشقّة المعتادة) adalah kesulitan yang bisa diatasi oleh manusia tanpa membawa kemudlaratan baginya. Masyaqqah sepaerti ini tidak dihilangkan oleh syara’ dari manusia dan hal ini bisa terjadi, karena seluruh perbuatan (amalan) dalam kehidupan ini tidak terlepas dari kesulitan tersebut. Misalnya, mengerjakan shalat itu bisa melelahkan badan. Kesulitan seperti ini, menurut para ahli ushul fiqh, berfungsi sebagai ujian terhadap kepatuhan dan ketaatan seorang hamba dalam menjalankan taklif syara’. Dengan demikian, masyaqqah separti ini tidak bisa menghalangi seseorang untuk melaksanakan taklif syara’.
  6. Masyaqqah ghair mu’taddah (المشقّة غير المعتادة), adalah suatu kesulitan yang biasanya tidak mampu diatasi oleh manusia, karena bisa mengancam jiwa, mengacaukan sistem kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun masyarakat, serta pada umumnya kesulitan seperti ini dapat menghalangi perbuatan yang bermanfaat. Kesulitan seperti ini pun, menurut ulama ushul fiqh, secara logika, dapat diterima sekalipun dalam kenyataannya tidak pernah terjadi, karena Allah sendiri tidak bertujuan menurunkan taklif-Nya untuk memberikan kesulitan bagi manusia. Misalnya, Allah tidak pernah memerintahkan hamba-Nya untuk berpuasa siang dan malam.
    Macam-macam Mahkum Fih
    Ulama hanafiyah membagi perbuatan mukallaf yang terikat dengan hukum Allah kepada empat pembagian:
  7. Hak semata-mata bagi Allah.
  8. Hak semata-mata bagi hamba.
  9. Hak yang bercampur (hak Allah dan hak hamba), hak Allah lebih dominan.
  10. Hak yang bercampur (hak Allah dan hak hamba), hak hamba lebih dominan.
    Hak Allah adalah sesuatu yang berkaitan dengan manfaat universal bagi sekalian alam tanpa ada pengkhususan, hak tersebut disandarkan kepada Allah karena besar bahayanya dan melangkapi manfaatnya, artinya hak yang menyangkut bagi orang banyak, dan hukum Allah disyariatkan untuk maslahah yang amah tidak untuk maslahah seseorang saja.
    Hak hamba adalah sesuatu yang berkaitan dengan maslahah khashshah seperti mengambil harta orang lain, berikut penjelasan masing-masing:
    e. Semata-mata hak Allah, yaitu segala yang menyangkut kemaslahatan umum tanpa terkecuali. Hak yang sifatnya semata-mata hak Allah ini, menurut ulama ushul fiqh, ada delapan macam, yaitu:
  11. Ibadah mahdhah (Murni), seperti iman dan rukun Islam.
  12. Ibadah yang mengandung makna bantuan atau santunan, seperti zakat fitrah, karenanya disyaratkan niat dalam zakat fitrah, dan kewajiban zakat itu berlaku untuk semua orang.
  13. Bantuan atau santunan yang mengandung makna ibadah, seperti zakat hasil yang dikeluarkan dari bumi.
  14. Biaya atau santunan yang mengandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak bumi) yang dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
  15. Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana.
  16. Hukuman yang tidak sempurna, seperti seorang yang tidak diberi hak waris atau wasiat, karena ia membunuh pemilik harta tersebut.
  17. Hukuman yang mengandung makna ibadah, seperti kafarat sumpah, kafarat dhihar.
  18. Hak-hak yang harus dibayar, seperti kewajiban mengeluarkan seperlima harta terpendam dan harta rampasan perang.

f. Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.
g. Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah di dalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina).
h. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishash.

C. Kesimpulan
Dari uraian di atas tentang istilah-istilah hukum syar’I yang dikeumukakan oleg Wahbah Al-Zuhaili dan Abdul Hayy Abdul ‘Al dapat disimpulkan perbedaan dan persamaan sebagai berikut:

  1. Persamaan dari segi sitematika pembahasan, dimulai dengan definisi huku, kemudian, hakim, mahkum alaih dan mahkum fih. Selain itu jega sama dari segi isi bahasan.
  2. Perbedaannya dari segi uraian, Abdul Hayy menjelaskan lebih detail tentang istilah-istilah hukum sraya’ itu, terlebih pada masalah yang kontroversi antara Asy’ariyah, Mu’tazilah dan Maturidiya.
Sort:  

Semoga menjadi penerang bagi yang memerlukan ilmu ushul fiqh

Syukran, Postingannya sangat bermanfaat

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63277.26
ETH 2570.12
USDT 1.00
SBD 2.82