ANALISIS PENDAPAT HASBI AS-SHIDDIEQY TENTANG SATU TAYAMUM UNTUK LEBIH DARI SATU SHALAT FARDHUsteemCreated with Sketch.

in #indonesia7 years ago

Sobat steemian, semoga kita sehat walafiat

ccccc.jpg

A. Pendahuluan
Dalam dunia ilmu pengetahuan fiqih memiliki potensi dan peran besar dalam rangka beribadah kepada Yang Maha Kuasa. Fiqih memiliki sumber yang kuat yaitu al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW sebagai sumber utama. Kemudian sumber hukum fiqh mengalami perkembangan, para ulama menetapkan Ijmak dan Qiyas seabgai sumber hukum setelah al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW. Dengan demikian, jika suatu persoalan keagamaan muncul dalam kehidupan masyarakat yang pertama sekali dirujuk adalah kepada al-Qur’an dan Hadis, setelah itu baru dilihat kepada Ijmak dan Qiyas. Selajutnya dari abad ke abad fiqih mengalami kemajuan secara terus-menerus tanpa henti sesuai dengan perkembangan zaman, hal tersebut telah terjadi di berbagai negara Islam.
Indonesia salah satu negara yang mengalami kemajuan di bidang fiqih, banyak tokoh-tokoh Islam Indonesia yang telah melakukan penbaharuan terhadap kaedah pemahaman fiqih. Salah satunya adalah Prof. Dr. TM. Hasbi Ash-Shidieqy putra asal Aceh yang telah banyak memberikan kontribusi pemikiran dalam rangka pemajuan fiqih. Di antara persoalan fiqih yang direspon oleh Hasbi As-Shiddieqy adalah tayammu penganti air sebagai salah satu syarat sembahyang. Dalam hal ini Hasbi mengatakan bahwa satu kali tayammum dapat dipergunakan untuk dua kali shalat fardhu dengan berpegang ada dalil yang menurutnya lebih autentik. Sementara Imam Malik, As-Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal dan manyoritas ulama lainnya tidak membenarkan hal tersebut.
Dalam makalah ini, penulis membahas tentang biografi Hasbi, metode ijtihad Hasbi, Tayammum, dan dalil yang ia gunakan dalam menetapkan bolehnya melakukan dua shalat fardhu dengan satu kali tayammum. Selain itu, penulis juga menyebutkan pendapat manyoritas ulama yang berbeda dengan pendapat Hasbi sebagai bahan perbandingan dan wawan pikiran.

B. Pembahasan

  1. Sekilas Biografi Hasbi
    TM. Hasbi Ash-Shiddieqy lahir di Lhouksaeumawe, Aceh Utara 10 Maret 1904 di tengah keluarga ulama pejabat. Dalam tubuhnya mengalir darah campuran Arab. Dari silsilahnya diketahui, ia adalah keturunan ke-37 dari Abu Bakar Ash Shiddieq. Anak dari pasangan Teungku Amrah putri dari Teungku Abdul Aziz pemangku jabatan Qadhi Chik maha raja mangku bumi dan al-Hajj Teungku Muhammad Husen ibn Muhammad Mas’ud. Ketika berusia 6 tahun ibunya wafat dan diasuh oleh Teungku Syamsiyah, salah seorang bibinya. Sejak berusia 8 tahun TM. Hasbi Ash-Shiddieqy meudagang (nyantri) dari dayah (pesantren) satu ke dayah lain yang berada dibekas pusat kerajaan Pasai tempo dulu.
    Ada beberapa sisi menarik pada diri TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, antara lain:
    Pertama, ia adalah seorang otodidak pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah, dan hanya satu setengah tahun duduk di bangku sekolah al-Irsyad (1926). Dengan basis pendidikan formal seperti itu, ia memperlihatkan dirinya sebagai seorang pemikir. Kemampuan intelektualnya diakui oleh dunia international. Ia diundang dan menyampaikan makalah dalam international islamic qolloquium yang diselenggarakan di Lahore Pakistan (1958). Selain itu, berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya di Indonesia, ia telah mengeluarkan suara pembaruan sebelum naik haji atau belajar di Timur Tengah.
    Muhammad Hasbi menitikberatkan pembaruannya pada bidang hukum Islam dengan semboyannya yang terkenal “pintu ijtihad terbuka sepanjang zaman tidak pernah tertutup dan tidak ada manusia manapun yang berhak menutupnya” (Prof. H. Ali Hasyim, Waspada, Medan, 19 September 1983) Kedua, ia mulai bergerah di Aceh, di lingkungan masyarakat yang terkenal fanatik, bahkan ada yang menyangka “angker”. Namun Hasbi pada awal perjuangannya berani menentang arus. Ia tidak gentar dan surut dari perjuangannya kendatipun karena itu, ia dimusuhi, ditawan dan diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya.
    Ketiga, dalam berpendapat ia merasa dirinya bebas tidak terikat dengan pendapat kelompoknya. Ia berpolemik dengan orang-orang Muhammadiyah dan Persis, padahal ia juga anggota dari perserikatan itu. Ia bahkan berani berbeda pendapat dengan jumhur ulama, sesuatu yang langka terjadi di Indonesia.
    Keempat, ia adalah orang pertama di Indonesia yang sejak tahun 1940 dan dipertegas lagi pada tahun 1960, menghimbau perlunya dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia. Himbauan ini menyentak sebagian ulama Indonesia. Mereka angkat bicara menentang fiqh (hukum in concreto) diindonesiakan atau dilokalkan. Bagi mereka, fiqh dan syari’at (hukum in abstracto) adalah semakna dan sama-sama universal. Kini setelah berlalu tigapuluh lima tahun sejak 1960, suara-suara yang menyatakan masyarakat muslim Indonesia memerlukan “fiqh Indonesia” terdengar kembali. Namun sangat disayangkan, mereka enggan menyebut siapa penggagas awalnya. Mencatat penggagas awal dalam sejarah adalah suatu kewajiban, demi tegaknya kebenaran sejarah.
    Hasbi yang dilahirkan di lingkungan pejabat negeri ulama, pendidik dan pejuang-jika ditelusuri sampai ke leluhurnya, dalam dirinya mengalir campuran darah Aceh-Arab dan mungkin juga Malabar. Kendati ia dilahirkan ketika ayahnya dalam posisi Qadli Chik, masa kecilnya tertempa penderitaan seprti juga derita yang dialami oleh masyarakat. Selain faktor pendidikan, bawaan dari leluhur dan orang tuanyalah yang ikut membentuk diri Hasbi menjadi seorang yang keras hati, berdisiplin, pekerja keras, berkecenderungan membebaskan diri dari kungkungan tradisi dan kejumudan serta mandiri tidak terikat pada sesuatu pendapat lingkungannya.
    Hasbi sejak remaja telah dikenal dikalangan masyarakatnya karena ia sudah terjun berdakwah dan berdebat dalam diskusi-diskusi. Di Aceh ada tradisi yang disebut dengan meuploh-plohmasalah, mengurai masalah agama yang dipertandingkan. Masalah yang disampaikan dalam bentuk syair harus dijawab oleh pihak lain. Kalau tidakbisa menjawab, kelompok tersebut dinyatakan kalah dalam pertandingan. Hasbi sering diminta untuk mengambil peran sebagai penanya atau penjawab atau setidak-tidaknya sebagai konsultan dalam diskusi-diskusi tersebut. Olehkarena itu, tidaklah mengheran jika Hasbi populer di kalangan masyarakat. Banyak orang menginginkan Hasbi bisa menjadi menantunya. Sejak remajadia sudah dipanggil dengan sebutan Tengku Muda atau Tengku di Lhok. Di Aceh seseorang yang dihormati tidak lagi dipanggil dengan nama dirinya tetapi dengan nama akrabnya.
  2. Metode Istinbath Hasbi
    TM. Hasbi Ash-Shiddieqy mendukung pendapat yang menyatakan bahwa sumber fiqih dalam bidang muamalat ialah al-Qur’an, Hadits/Sunnah Nabi, Ijma’, Qiyas, Ra’yu, Urf.
    Pertama, al-Qur’an adalah sumber utama dalam pembinaan hukum Islam. Namun al-Qur’an tidak banyak memberikan hukum-hukum yang terinci dan pasti terhadap masalah-masalah yang menyangkut bidang muamalah bahkan al-Qur’an melarang para sahabat banyak bertanya kepada Nabi mengenai hukum-hukum yang belum diperlukan. Sebab, jangan sampai terjadi karena banyak pertanyaan akan mengakibatkan timbul kesulitan dalam pelaksanaannya, seperti kasus seorang Yahudi yang banyak bertanya tentang bagaimana sapi yang harus mereka sembelih. Terhadap sesuatu yang menjadi penyakit masyarakat, beban-beban hukumnya pun diberikan secara bertahap, seperti hukum zina misalnya.
    Kedua, mengenai sunnah dan hadits sebagai sumber hukum yang kedua, Hasbi memilih pendapat ahli ushul yang memformulasikan hadits dengan: segala perbuatan, ucapan dan taqrir.
    Ketiga, sebagai sumber hukum yang ketiga ialah ijma’ yaitu konsensus atau permufakatan terhadap penetapan sesuatu hukum. Kerena itu, dasar yang melahirkan ijma’ adalah permusyawaratan.
    Keempat, qiyas sebagai sumber hukum terletak pada urutan keempat setelah al-Qur’an, Sunnah dan ijma’. Ini mengandung pengertian bahwa qiyas baru bisa dipergunakan jika tidak diperoleh ketetapan hukum dalam tiga sumber yang mendahuluinya. Dengan kata lain, qiyas dipergunakan dalam keadaan terpaksa. Kelima, urf mengenai sumber hukum urf, Hasbi menyebutkan bahwa urf adalah adat kebiasaan yang dipandang baik oleh akal dan diterima oleh tabiat manusia yang sejahtera. Dari pengertian urf seperti ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa urf yang dimaksud sebagai sumber hukum, bukan hanya adat kebiasaan Arab saja, tetapi semua adat kebiasaan yang berlaku di masing-masing masyarakat atau tempat.
    Dalam menggali hukum terhadap masalah-masalah baru yang bersifat mubah Hasbi menggunakan metode analogi deduksi rasional seperti yang dipakai oleh Abu Hanifah.Adapun terhadap masalah-masalah yang telah ada ketetapan hukumnya produk ijtihad fuqaha terdahulu, baik yang dihasilkan dari kalangan sunni semua madzhab yang ada dan pernah ada juga dari kalangan syiah, khawarij dan lain-lain, Hasbi menggunakan metode komparasi (muqarin). Yakni membandingkan antara satu pendapat dengan pendapat yang lain dan memilih mana yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran dan didukung oleh dalil-dalil yang terkuat.
    Tentang hal anjurannya agar melakukan kajian komparasi dengan pendapat-pendapat dari aliran non sunni, ia beralasan, bukan saja metode ini digunakan juga oleh para muhakikin tetapi lebih dari itu, ulama mereka sebenarnya adalah golongan umat Islam yang berijtihad. Maka para mujtahid itu adakala benar, ada kala salah. Ijtihad itu sebagaimana berlaku dalam bidang hukum, berlaku pula dalam bidang aqidah. Mereka juga mendasarkan pahamnya kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Sungguh tidak layak mencela golongan-golongan yang lain dari golongan yang dinamakan ahlussunnah, karena bukan sedikit imam-imam hadits yang menerima riwayat dari tokoh-tokoh Mu’tazilah dan jahmiyah itu. Bukhari dan muslim menerima riwayat dari orang-orang Mu’tazilah, dari orang-orang ibadiyah, golongan murji’ah, dan dari golongan syiah. Maka tidak ada alasan untuk memusuhi apalagi mengkafirkan orang-orang itu. Kajian komparasi dianjurkannya juga agar dilakukan antara fiqih dengan hukum adat dan hukum positif di Indonesia, serta dengan syariat-syariat agama lain, juga dengan hukum-hukum Barat.
    Dari anjuran-anjuran Hasbi ini dapat ditarik konklusi bahwa ia menganut sistem berpikir eklektif. Karena itu, Hasbi membenarkan talfiq ia berpendapat, talfiq adalah salah satu pondasi pembangunan hukum, karena dia dapat menghilangkan kesempitan dan kesukaran.
    Hasbi berpendapat, dalam mengkaji fiqih warisan fuqaha masa lalu, harus dilakukan kajian komparasi secara terpadu dari semua aliran. Sebab, kebenaran tidak hanya dimonopoli oleh salah satu aliran saja. Menurut pendapat Hasbi, dengan melakukan kajian perbandingan terpadu ini, maka problem hukum yang terus berkembang itu dapat diketemukan teori dan acuan dasarnya pada apa yang telah dikemukakan oleh para fuqaha terdahulu. Kaidah-kaidah fiqih yang diajukan mereka masih tetap relevan.
    Di samping itu, dengan menggunakan metode perbandinga terpadu ini, fiqih akan tetap selalu muda, mempunyai daya tumbuh dan berkembang tanpa perlu melepaskan diri dari acuan dasar yang telah digali oleh para fuqaha terdahulu, yang telah dikerjakan dengan susah payah, penuh ketekunan dan dengan cita-cita yang luhur serta ikhlas. Fiqih yang selalu muda pastilah dapat mengikuti perkembangan masyarakat modern dan memenuhi kebutuhan hukum mereka.
    Manfaat lain yang dapat diperoleh dengan melakukan kajian komparasi terpadu ialah pertama, mengetahui pendapat-pendapat yang disepakati dan yang diperselisihkan. Kedua, mengetahui sebab-sebab timbulnya perselisihan, karena mengetahui perbedaan metode dan pendekatan yang digunakan oleh masing-masing fuqaha. Ketiga memperoleh ketetapan hati terhadap hukum yang diistimbathkan, karena diketahui mana hukum yang dikutip dari al-Qur’an, mana yang dari hadits, mana yang melalui qiyas dan mana yang menggunakan kaidah-kaidah khusus dari suatu madhzab.
    Di samping itu, dengan menggunakan metode komparasi ini, dapat pula dijelaskan persamaan dan perbedaan antara hukum adat dan hukum positif di suatu negri pada satu pihak dengan fiqih pada pihak yang lain. Kemudian, akan diperoleh pula wawasan yang luas sehingga dimungkinkan untuk memilih secara tepat, mana yang lebih kuat dalilnya, lebih dekat kepada kebenaran dan dapat membawa kemaslahatan kepada umat dan mencerminkan kepada ruh syari’at.
    Dengan menggunakan kajian komparasi, maka usaha kompilasi hukum Islam, lebih mudah dapat dikerjakan. Sebab, mudah memilih mana materi hukum yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia.
    Ditilik dari sejarah pemikiran Islam usaha kompilasi atau kodifikasi hukum Islam sudah ada gagasannya sejak abad 2/8. Namun sayang sampai wafatnya Hasbi, belum lagi terwujud. Ibn al-Muqaffa (w. 144/761) dalam suratnya Risalat ash-Shahabahyang dikirim kepada Abu Ja’fal al-Masur (136/754-158/775) dari dinasti ‘Abasiyah, mengusulkan pemerintah agar mengundangkan sebuah kodifikasi hukum yang menjadi pegangan bagi seluruh aparat hukum. Maksudnya ialah untuk mengakhiri keberagaman hukum, agar masyarakat pencari keadilan memperoleh kepastian hukum.
    Sumbernya adalah al-Qur’an, as-Sunnah, dan ra’yu dengan memperhatikan kaidah-kaidah umum dan kemaslahatan umat jika tidak ada nash yang telah mengaturnya terlebih dahulu. Bukan dengan menetapkan salah satu madzhab saja yang berlaku. Sayang usul al-Muqaffaini tidak diterima oleh khalifah. Keinginan al-Manshur untuk menetapkan al-Muwwatha’ sebagi satu-satunya kitab hukum yang berlaku, ditolak oleh Malik. Kitab undang-undang hukum keluarga (Majallah al-Ahkam al-Ad-liyah) yang ditetapkan oleh pemerintah dinasti Usmani (Utsmani) pada tahun 1326/1908 dan kitab fatawa al-Hindiaatau Fatawa alamgiri hasil susunan sebuah panitia yang dibentuk oleh Muhyiddin Aurangzeb Alam Giri (1068/1658-1118/1707), keduanya disusun atas dasar madzhab Hanafie.
  3. Sekilas Tetntang Tayamum
    a. Pengertian tayamum
    Menurut bahasa, Tayamum berarti menuju. Sedangkan menurut Syara’, tayamum berarti mempergunakan tanah yang suci menyucikan untuk menyapu wajah dan tangan guna sebagai pengganti daripada wudhuk atau mandi wajib menurut cara yang ditentukan oleh syara’.
    b. Dasar hukum tayamum
    Dasar hukum tayamum adalah berdasarkan firman Allah dalam Surah Al-Maidah ayat 6 sebagai berikut:
    وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ
    Artinya: “Dan jika kamu dalam keadaan junub, maka mandilah. Dan jika engkau sakit atau berada dalam perjalana, dan buang air atau menyentuh perempuan dan kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang bersih, sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu” (Q.S. Al-Maidah: 6)
    Dan Hadis Nabi SAW:
    عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: فُضِّلْنَا عَلَى النَّاسِ بِثَلاَثٍ. جُعِلَتْ صُفُوْفُنَا كَصُفُوْفِ اْلمَلاَئِكَةِ، وَ جُعِلَتْ لَنَا اْلاَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا، وَ جُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُوْرًا اِذَا لَمْ نَجِدِ اْلمَاءَ. مسلم
    Artinya: Dari Hudzaifah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Kami diberi kelebihan atas manusia dengan tiga perkara, yaitu : Dijadikan barisan-barisan kami seperti barisan-barisan malaikat, dijadikan bagi kami bumi seluruhnya sebagai tempat shalat, dan dijadikan bagi kami debunya sebagai pensuci apabila kami tidak mendapatkan air”. (HR. Muslim, dalam Nailul Authar I : 308)

عَنْ عَائِشَةَ اَنَّهَا اسْتَعَارَتْ مِنْ اَسْمَاءَ قِلاَدَةَ فَهَلَكَتْ فَبَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ ص رِجَالاً فِى طَلَبِهَا. فَاَدْرَكَتْهُمُ الصَّلاَةَ وَ لَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ، فَصَلَّوْا بِغَيْرِ وُضُوْءٍ. فَلَمَّا اَتَوْا رَسُوْلَ اللهِ ص شَكَوْا ذلِكَ اِلَيْهِ، فَاَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ ايَةَ التَّيَمُّمِ. الجماعة الا الترمذى
Artinya: Dari ‘Aisyah, sesungguhnya dia pernah meminjam sebuah kalung dari Asma’, lalu kalung itu hilang. Kemudian Rasulullah SAW mengutus beberapa orang untuk mencarinya, lalu mereka menemukannya, lalu mereka menumpai waktu shalat, padahal tidak ada air, lantas mereka shalat tanpa wudlu. Maka tatkala mereka datang kepada Rasulullah SAW, mereka mengadukan hal tersebut kepadanya, lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat tayammum. (HR. Jama’ah, kecuali Tirmidzi, dalam Nailul Authar I: 313)

c. Syarat dan rukun tayamum
Syarat-syarat tayamum adalah sebagai berikut:

  1. Tidak ada air.
  2. Telah masuk waktu shalat.
  3. Sudah mencari air, namun tetap tidak mendapatkan air sedangkan waktu shalat sudah masuk.
  4. Dengan menggunakan tanah suci yang berdebu.
  5. Tidak bisa menggunakan air karena sakit, yang dikhawatirkan jika memakainya akan tambah parah atau hilang fungsi anggota
    Rukun tayamum:
  6. Diawali dengan niat, hendaklah seseorang yang akan melakukan tayamum agar berniat bisa mengerjakan shalat dan sebagainya. Bukan untuk menghilangkan hadas, karena sifat tayamum tidak dapat menghilangkan hadas, hanya boleh dipakai untuk melakukan shalat karena darurat.
  7. Menyapu wajah dengan tanah berdebu.
  8. Menyapukan kedua tangan sampai siku dengan tanah berdebu.
  9. Tertib, artinya semua itu harus dilakukan dengan urutan yang benar.
    Hal-hal yang harus diperhatikan mengenai tayamum ialah sebagai berikut:
  10. Orang yang bertayamum karena tidak ada air, tidak wajib mengulangi shalatnya apabila mendapatkan air. Tetapi orang yang bertayamum sebab junub, apabila mendapatkan air, maka ia wajib mandi bila hendak mengerjakan shalat berikutnya, karena tayamum tidak menghilangkan hadas, dan hanya boleh jika darurat.
  11. Satu kali tayamum hanya boleh dipakai satu kali shalat wajib, namun boleh dipakai berulang-ulang kali untuk melaksanakan shalat sunat.
  12. Tayamum boleh dilakukan jika ada luka pada anngota badan, khususnya pada anggota wuhuknya yang sakit atau akan bertambah parah jika terkena air.
    Sunat tayamum, yaitu ada tiga perkara menurut satu versi kitab fiqih:
  13. Membaca Bismillah.
  14. Mendahulukan yang kana daripada yang kiri.
  15. Beriring-iring antara satu anggota dengan anggota yang lain
    Hal-hal yang membatalkan tayamum
  16. Apapun yang membatalkan wudhuk juga dapat membatalkan tayamum.
  17. Menemukan air sebelum melaksanakan shalat
  18. Orang murtad, maksudnya ketika bertayamum ia masih beragama Islam, namun ia berpindah agam, maka tayamumnya batal.
  1. Pendapat Hasbi Tentang Satu Kali Tayamum Untuk Lebih Dari Satu Shalat Fardhu

TM. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam mengungkapkan tentang hukum satu tayammum untuk lebih dari satu shalat dapat dikaji dalam bukunya “Koleksi Hadis-hadis Hukum”. Dalam buku tersebut ia memulai uraiannya dengan mencantumkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni yang bunyinya sebagai berikut:
عن ابن عباس من السنة أن لا يصلي بتيمم واحد إلا صلاة واحدة ثم يحدث للثانية تيمما
Artinya: Ibnu Abbas r.a berkata: menurut sunnah, tidak boleh seseorang shalat dengan satu tayammum, selain dari satu shalat saja. Kemudian ia bertayammum lagi untuk shalat lain (HR. ad-Daruqutni).
Dalam perspektif Hasbi hadis di atas sanadnya sangat lemah karena di dalamnya ada seorang perawi, Hasan ibnu Umrah. Selanjutnya dalam buku tersebut Hasbi mengungkapkan pendapatnya dengan membentangkan lebih dahulu opini Imam Malik dan As-Syafi’i.
Imam Syafi’i termasuk ulama yang tidak memperkenankan satu kali tayamum digunakan untuk lebih dari satu shalat fardhu. Dalam kitabnya ia menegaskan:
“Kalau bermaksud mengumpulkan antara dua shalat, maka ia mengerjakan shalat yang pertama dari keduanya dan mencari air. Kalau tidak diperolehnya air itu, niscaya ia mengulangi tayamum bagi setiap shalat daripadanya, sebagaimana telah saya terangkan. Tidak memadai yang lain dari yang demikian. Kalau ia mengerjakan dua shalat fardhu dengan satu tayamum, niscaya ia ulangi shalat yang penghabisan dari keduanya. Karena tayamum itu memadai bagi shalat pertama dan tidak memadai bagi shalat yang penghabisan.
Pendapat Imam Syafii tidak berbeda dengan pendapat Imam Malik, di mana menurutnya tidak boleh shalat dua fardhu dengan satu tayamum. Demikian pula kata Ibnu Qudamah: menurut madzab Ahmad, satu tayamum itu tidak boleh dipergunakan untuk dua shalat di dua waktu. Satu tayamum untuk satu fardhu, shalat yang diqadha dan shalat sunah hingga masuk waktu shalat yang lain. Dan boleh juga untuk menjamakkan dua shalat dalam satu waktu. Kata al-Mawardi: tidak boleh mengumpulkan dua shalat dengan satu tayamum.
Menurut Hafid Abdullah: tidak boleh melaksanakan shalat dengan tayamum lebih dari satu shalat fardhu tapi boleh untuk beberapa shalat sunah. Barang siapa bertayamum untuk shalat fardhu, ia boleh menggunakannya untuk shalat sunah, tetapi barang siapa bertayamum untuk shalat sunah, ia tidak boleh menggunakannya untuk shalat fardhu.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, menurutnya dengan satu kali tayamum, hanya diperbolehkan melakukan satu kali shalat fardhu, sekalipun fardhu shalat nadzar. Namun sah untuk melakukan satu shalat fardhu berserta shalat-shalat jenazah.
Demikian pula pendapat Syekh Zainuddin bin Abd al-Aziz al-Malibari, ia mengatakan bagi orang yang bertayamum, maka bertayamumlah untuk tiap-tiap fardhu satu dan nadzar satu, maka tidak sah mengumpulkan dua shalat fardhu dengan satu tayamum.
Berbeda dengan pendapat tersebut adalah pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah, menurutnya tidak ada keterangan dari Nabi saw yang menyatakan bahwa beliau itu bertayamum untuk tiap-tiap shalat, dan tidak pula beliau menyuruh yang demikian. Nabi SAW hanya menyuruh bertayamum dan menyamakan hukumnya dengan wudhuk. Dengan melihat pendapat-pendapat di atas, maka TM. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya menyatakan:
Dasar hukum dalam masalah ini adalah tanah itu berpotensi sama dengan air. Maksudnya secara fungsional tanah sama seperti air bisa dipakai untuk bersuci. Apabila seseorang berwudhuk, maka boleh shalat seberapa yang dikehendakinya. Demikian pula dengan tayamum sebelum datangnya hadas. Selanjutnya TM. Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan pendapat yang menyatakan bahwa satu kali tayamum bisa digunakan untuk lebih dari satu shalat fardhu adalah pendapat yang diamalkan oleh sebagian ahli-ahli hadis, dan inilah yang lebih kuat menurut dalil, demikian pula pendapat mazhab Abu Hanafiah.
Dalam masalah ini Hasbi Ash-Shiddieqy condong kepada pendapat dalam mazhab Hanafi. Berikut salah satu redaksi dari kitab-kitab dalam mazhab Hanafi:
ويصلي بتيممه ما شاء من الفرائض والنوافل
Artinya: Dengan satu tayamum seseorang bisa melakukan beberapa shalat fardhu dan shalat sunat sebanyak yang dikehendakinya.
Dari redaksi di atas yang tidak disertai penjelasannya dapat dipahami bahwa memang dalam mazhab Hanafi satu kali tayamum dapat diperuntukkan lebih dari satu sahalat fardhu.
Dalil mazhab Hanafi yang mengatakan boleh satu tayamum untuk lebih dari satu shalat fardhu adalah hadis Nabi saw, yaitu:
a. Hadis riwayat Abu Hurairah ra:
الصعيد وضوء المسلم وإن لم يجد الماء عشر سنين، فإذا وجد الماء فليتق الله، وليمسه
Artinya: Tanah merupakan wudhuk orang Islam sekalipun tidak didapati air sampai duapuluh tahun, apabila air telah didapati maka bertakwalah kepada Allah dan membasuhlah (berwudhuk). (HR. Abu Hurairah ra)
b. Hadis riwayat Abu Daud:
الصعيد الطيب وضوء المسلم ولو إلى عشر سنين ما لم يجد الماء، فإذا وجد الماء فليمسه بشرته فإن ذلك خير
Artinya: Tanah merupakan wudhuk orang Islam walapun sampai duapuluh tahun, selama air belum didapati, apabila telah didapatinya maka basuhlah kulitnya (berwudhuk), karena yang demikian itu lebih baik. (HR. Abu Daud)
Dua hadis di atas menunjukkan kebolehan menngunakan tayamum kepada lebih dari satu shalat fardhu, karena hadis tayamum masih tetap berfungsi sebagai thaharah shalat selama air belum didapati. Tidak terdapat pembatasan dalam pahaman tekstual hadis tersebut. Hadis yang kedua disahihkan oleh al-Turmuzi.
Walaupun hadis yang kedua di atas telah disahihkan oleh al-Turmuzi, namun masih ada penolakan dan kritikan dari sebagian ulama yang lain. Hadis tersebut mendapat kritikan dari Ibnu al-Qaththan dalam kitabnya “al-Wahmu wa al-Iham” karena salah satu perawi hadis yang kedua tersebut adalah Amr bin Bajdan. Sebab menurutnya identitas dan kondisi keilmuan Amr bin Bajdan masih tidak jelas (majhul hal).
Dengan demikian TM. Hasbi Ash Shiddiqi, termasuk ulama yang menganggap satu kali tayammum bisa digunakan untuk lebih dari satu shalat fardhu. Pendapatnya dapat dimengerti karena dalam menggali hukum terhadap masalah-masalah yang telah ada ketetapan hukumnya produk ijtihad fuqaha terdahulu, baik yang dihasilkan dari kalangan sunni semua madzhab yang ada dan pernah ada juga dari kalangan syi’ah, khawarij dan lain-lain, TM. Hasbi Ash-Shiddeqy menggunakan metode komparasi (muqarin), yakni membandingkan antara satu pendapat dengan pendapat yang lain dan memilih mana yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran dan didukung oleh dalil-dalil yang terkuat.

  1. Analisis penulis
    Dari uraian yang telah tersebut di atas tentang satu kali tayamum untuk lebih dari satu shalat fardhu terdapat kontroversi antara manyoritas ulama pendiri mazhab dan pengikutnya dengan Hasbi As-Shiddieqy. Kontroversi tersebut berasal dari sumber hukum yang dijadikan hujjah oleh masing-masing pihak. Penulis bermaksud menganalisis kedua pandangan kontroversi tersebut dengan menggunakan metode analisis isi. Terutama melihat status hadis yang dijadikan hujjah.
    Menurut Imam As-Syafi’i dan pengikutnya seperti yang telah disebutkan Hasbi dalam bukunya bahwa dalil yang menunjukkan ketikbolehan satu tayamum untuk dua shalat fardhu adalah hadis riwayat Daruqutni dari Ibnu Abbas. Menurut Syafi’iyah hadis tersebut pada kekuatan hadis marfu’ karena terdapat kata “minas sunnah”.
    Menurut Syafi’iyah, selain hadis Daruqutni terdapat pula perkataan Ibnu Umar yaitu:
    قال يتيمم لكل صلاة وان لم يحدث
    Artinya: Berkata Ibnu Umar, bertayamum ia (seseorang) bagi tiap-tiap satu shalat sekalipun ia tidak berhadas.
    Berkata imam al-Baihaqi, tidak diketahui ada di antara shahabat yang menentang perkataan Ibnu Umar, maka persoalan tersebut menjadi ijmak sukuti. Alasan yang lain tidak dibenarkan satu tayamum untuk dari satu shalat fardhu adalah karena tayamum merupakan thaharah yang lemah (thaharah dha’ifah), dan pula wudhuk pada mula-mulanya dilakukan untuk setiap satu shalat fardhu. Kemudian ketentuan itu dibatalkan (nasakh) pada hari perang Khandaq, pada hari itu Nabi melakukan shalat lima waktu dengan satu kali wudhuk. Sementara tayamum masih tetap kekal seperti hukum asalnya yaitu satu kali tayamum untuk satu shalat fardhu karena tidak ada pembatalan.
    Kemudian masalah tersebut disamakan dengan wanita yang sedang mengalami istihadhah, yaitu darah yang keluar terus-menerus dari kemaluannya, maka tiap kali mau mengerjakan shalat, dia harus mencuci kemaluannya dengan air.
    فَإِذَا وَجَدْت الْمَاءَ فَأَمِسَّهُ جِلْدَك فَإِنَّهُ خَيْرٌ لَك
    Jika dia mendapatkan air, maka kenakan pada kulitmu (saat berwudu), karena pada hal itu terdapat kebaikan. (HR. Abu Daud)
    Menurut Hasbi hadis riwayat Daruqutni adalah dha’if karena dalam rentetan perawinya terdapat Hasan ibnu Umrah.
    وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: (مِنْ اَلسُّنَّةِ أَنْ لَا يُصَلِّيَ اَلرَّجُلُ بِالتَّيَمُّمِ إِلَّا صَلَاةً وَاحِدَةً ثُمَّ يَتَيَمَّمُ لِلصَّلَاةِ اَلْأُخْرَى) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ جِدًّا
    Ibnu Abbas r.a berkata: Termasuk sunnah Rasul adalah seseorang tidak menunaikan shalat dengan tayamum kecuali hanya untuk sekali shalat saja kemudian dia bertayamum untuk shalat yang lain. Riwayat Daruquthni dengan sanad yang amat lemah. Dari telaah beberapa literatur penulis belum menemukan biografi Hasan Ibnu Umrah sehingga memungkinkan untuk melihat sisi kelemahannya dan kekurangannya dari segi syarat-syarat perawi hadis..
    Selain alasan itu Hasbi menggunakan logika, yaitu tanah mempunyai potensi seperti air, maka sebagaimana wudhuk boleh mengerjakan shalat seberapa yang dikehendak begitu pula tayamum dengan menggunakan pula tanah. Selanjutnya alasan TM. Hasbi Ash-Shiddieqy adalah sebagian ulama hadis dan sebagian ulama fiqih berpendapat serupa.
    Dari penjelasan kontroversi di atas, penulis cenderung kepada pendapat yang tidak membenarkan satu tayamum untuk lebih dari satu shalat fardhu. Menurut penulis, pendapat yang tidak membenarkan lebih kuat daripada yang membenarkan, karena pendapat yang tidak membenarkan didukung oleh beberapa alasan lain, yaitu ijmak sukuti dan qiyas.
    Selain itu penulis juga melihat dari segi kaedah kehati-hatian, yaitu ihtiyath dalam urusan agama. Kalau seandainya di hari kiamat nanti yang benar adalah pendapat yang tidak membenarkannya, maka yang melakukannya telah terjebak dalam kesahalan.

C. Kesimpulan
Dari penjelasan panjang lebar pada bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Menurut Hasbi dibolehkan satu tayamum untuk dua shalat fardhu. Alasan Hasbi adalah karena dalil-dalil yang membolehkan lebih kuat dibandingkan dalil yang tidak membolehkan.
  2. Manurut manyoritas ulama tidak dibolehkan. Alasan mereka adalah karena hadis yang tidak membolehkan didukung oleh alasan yang lain, yaitu ijmak shahabat dan qiyas.

D. Daftar Pustaka
Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, Loc.Cit. al-San’ani, Subul al-Salam, Juz 1, Kairo: Daar Ihya al-Turas al-Islami, 1960, Ibnu Qudamah, al-Mughny, Jld. 1, Kairo: Daar al-Manar, 1367,
Ahmad bin Muhammad al-Qadawi, Mukhtashar al-Qadawy fi Fiqh al-Hanafy, Jld. I, (Maktabah Syamilah Arrawdah), Lihat Abdul Ghani bin Thalib al-Hanafi, Al-Lubab fi Syarh al-Kitab, Jld. I, (Maktabah Syamilah Arrawdah),
Al-Hafid ibn Hajar al-Asqalni, Bulug al-Marram,al-Alawiyah, Semarang: Al-Haramain, tt,
Al-Imam Ibnu Hasan, al-Muhalla, Jld. 1, Beirut: Daar al-Fikr, tt,
Fatchur Rahman, Ihktisar Mushthalahul Hadits, Cet. 4, Bandung: al-Ma’arif, t.t,
Hafid Abdullah, Kunci Fiqih Syafi’i, Semarang: Asy Syifa’, 1990,
Hasyiah Syarwani, Jld. I, Cet. III, Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2012,
Ibnu Hajar al-‘Ashqalani, Tuhfah al-Muhtaj, Jld. I, Cet. III, Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2012,
Jalaluddin al-Mahalli, Al-Mahalli, Jld. I, Semarang: Al-Haramain, tt,
Mahmud bin Ahmad al-Hanafi, Al-Nihayah Syarh al-Hidayah, Jld. I, (Maktabah Syamilah Arrawdah),
Nourouzaman Shidiq, Fiqih Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Jakarta: Pustaka Ilmu, 2000,
Sayid al-Imam Muhammad ibn Ismail Asan’ani, Subul assalam syarh bulug al-Marram min jami’i adilati al-Ahkam, Juz I, Semarang: Maktabah wa Matba’ah,
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975,
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ruang Lingkup Ijtihad Para Ulama Dalam Membina Hukum Islam, Bandung: Unisba, 1975,
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap Bulat dan Tuntas, Jakarta: Bulan Bintang, 1975,
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1974,
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975,
Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib, Jld. I, Semarang: Al-Haramain, tt,
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadit-Hadits Hukum, Jld. I, Bandung: al-Ma’arif, 1970,
Zainuddin al-Malibari, Fath al-Muin, Bi Sarah Qurata al-Uyun, Semarang: Karya Toha Putra, tt,

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 62629.89
ETH 2572.37
USDT 1.00
SBD 2.74