“Konspirasi” DPRD dan Pemprov DKI Soal APBD 2018?(Conspiracy Parliament - Government on Budget 2018)

in #indonesia6 years ago

Ahok Anies 2.jpg
Belakangan ini muncul polemik di media sosial tentang munculnya “anggaran yang aneh-aneh,” ketika DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Anies-Sandi. Misalnya, APBD itu menghilangkan subsidi harga daging untuk kaum miskin Jakarta. Anggaran traveling DPRD itu juga naik 12 kali lipat. Siapa yang harus bertanggung jawab atas apa yang diduga sebagai “dana patgulipat” APBD itu?
Ada yang bilang, yang bertanggung jawab adalah pemimpin DKI sebelumnya, Ahok-Djarot, karena merekalah yang menyusun APBD sebelumnya. Anies-Sandi tinggal memakai. Ada juga yang menolak, karena penentunya adalah penguasa DKI yang menjabat sekarang, yaitu Anies-Sandi.
Teman saya, Simon Syaefudin sudah cukup lama jadi staf ahli di DPR, sehingga bisa menjelaskan bagaimana sebenarnya proses APBD itu terjadi di Pemda, sampai muncul satuan-satuan anggaran yang menyakitkan rakyat itu. Paparan ini saya kutip dan sedikit diedit bahasanya dari status teman saya ini di Facebook. Menurut Simon, begini prosesnya yang biasa berlangsung:
Pertama, pemerintah mengusulkan RUU (Rancangan Undang-undang) APBD kepada DPRD. Kalau DPRD setuju, jadilah UU APBD. UU APBD kemudian ditandatangani pimpinan daerah (gubernur). Inilah APBD yang sah dan dipakai untuk tahun terkait.
Tapi kalau DPRD tidak setuju, misal, mengusulkan perbaikan-perbaikan dalam RUU APBD itu, maka Pemda harus menyesuaikan usulan DPRD. Tapi kalau DPRD “ngotot” tidak setuju sama sekali terhadap RUU APBD, lalu Pemda juga ngotot tak mau memperbaiki RUU APBD sesuai usulan DPRD, maka terjadilah deadlock.
Dalam kondisi demikian, maka Pemda bisa memakai UU APBD tahun sebelumnya. Kasus terakhir inilah yang pernah muncul di zaman Ahok karena Ahok tidak percaya kepada “niat baik” DPRD. Istilah Ahok, DPRD DKI itu maling, karena menyusun RUU APBD untuk mengisi pundi-pundi uangnya. Kenapa Ahok berani mengatakan DPRD DKI maling? Ingat kasus UPS komputer di Dinas Pendidikan DKI? Ingat kasus reklamasi setelah tertangkapnya Sanusi? Masih banyak lagi.
Untuk melenyapkan maling-maling itulah, Ahok-Djarot membuat RUU APBD yang menghilangkan “celah-celah” anggaran yang bisa dicolong maling. Caranya, dengan mengunci dalam sebuah sistem aplikasi komputer, sehingga kalau ada orang yang berani merubahnya, maka akan segera ketahuan. Ahok-Djarot sengaja meng-online-kan RUU APBD itu sehingga publik bisa mengetahuinya.
Tentu saja DPRD ribut. Juga aparat Pemda yang biasa main proyek, ribut. Ini karena celah korupsinya lenyap. Ingat, APBD DKI itu Rp 60 trilyun lebih. APBD terbesar di Indonesia. Sampai di sini cukup jelas situasinya.
Kedua, Katakanlah RUU APBD 2018 disahkan DPRD karena partai pendukung Ahok mayoritas, Agustus lalu. Kemudian, bagaimana eksekusinya? Pada proses eksekusi inilah timbul masalah. Ahok-Djarot kalah dalam Pilkada DKI. Lalu, apakah RUU yang sudah disahkan di zaman Ahok-Djarot itu otomatis berlaku? Jawabnya: Tidak!
Nah, di sinilah pokok masalahnya. RUU APBD – katakan yang dibuat Ahok-Djarot – telah disahkan jadi UU APBD, plus catatan (perbaikan) di sana-sini. Tapi, pengesahan itu – supaya implementatif -- harus di tangan gubernur berlaku. Jadi, UU APBD baru implementatif jika sudah ada tanda tangan gubernur yang menjabat. Lalu, siapa yang tanda tangan? Ahok sudah dipenjara. Djarot sudah bukan gubernur. Jadi yang tanda tangan ya Anis.
Menurut teman saya Simon, ada cerita masa lalu yang membuat Ahok mencak-mencak. UU APBD ditandatangani Ahok sesuai RUU APBD yang disahkan DPRD. Tapi begitu lembaran anggaran keluar, yang terjadi, sudah berubah lagi. Rupanya, ada lagi yang “main” di tingkat administratif Pemda DKI tanpa sepengetahuan Ahok. Ini yang membuat Ahok sering marah karena terlalu “banyak maling” di jajaran Pemda DKI!
Saat ini, untuk APBD 2018, gubernur DKI yang sah (standing excutive)nya Anies-Sandi. Anies-Sandi masih berhak untuk mengotak-atik satuan-satuan anggaran (RUU APBD) yang telah disahkan DPRD dengan catatan tadi. Sebab gubernurlah penentu terakhir sebelum UU APBD itu sah dan berlaku.
Yang terjadi, Anies-Sandi ternyata bisa bekerja sama “mulus” dengan DPRD. Maka sebelum Anies meneken APBD, “perbaikan” pun dilakukan bersama DPRD. Nah, pada tahap inilah, kata teman saya Simon, terjadi “konspirasi” antara eksekutif dan legislatif . Maka muncullah APBD DKI yang kini ramai di medsos. APBD yang menggaji sejumlah “rombongan” konsultan dan tenaga ahli gubernur.
Menurut Simon, di zaman Ahok, posisi-posisi tersebut, biasanya melekat pada pejabat-pejabat eselon satu atau PNS ahli yang pangkatnya tinggi (IV C, IV D atau IV E). Sehingga tak perlu dana tambahan. Cukup gaji PNS-nya aja. Sekarang, jabatan semacam itu oleh Anis-Sandi diperuntukkan para staf di luar PNS. Lalu, DPRD juga bikin anggaran sendiri untuk mengisi pundi-pundinya dengan menaikkan anggaran ”traveling” 12 kali lipat dari tahun sebelumnya.
Jika Wagub Sandi bilang tak akan ambil gajinya, itu tidak luar biasa, karena gaji pokok wakil gubernur sebetulnya tidak seberapa.Tak sampai Rp 6 juta, kata Simon. Gaji gubernur itu yang banyak adalah tunjangan macam-macam, yang jumlahnya puluhan kali gaji pokok.
Yang bikin bergidig adalah jatah resmi (ini sesuai ketentuan berlaku) untuk gub-wagub dari BUMD yang berada di bawah Pemda DKI. Misal, dari bank DKI, sekian persen. Dari PT Jaya Ancol, PT Pembangunan Jaya, dll. Paling besar dari bea balik nama kendaraan bermotor. Yang terakhir ini nilainya trilyunan rupiah. Katakanlah, gub-wagub dapat jatah 0,5 persen saja setahun dari bea balik nama, nilainya mencapai puluhan milyar. Jadi, jangan heran kalau tidak korupsi pun, Gub-Wagub DKI itu sudah kaya raya. Itu secara prosedur sah dan halal.
Kembali ke kasus dana traveling DPRD. Anggaran ini dipakai untuk kunjungan DPRD ke lokasi konstituen; kunjungan ke lain daerah untuk studi banding; dan kunjungan ke luar negeri – konon -- untuk mempelajari UU. Dulu Ahok mengatakan, kunjungan itu hanya menghabis-habiskan dana APBD. Tidak bermanfaat.
Kenapa tidak pakai aplikasi internet saja, kata Ahok. Sekarang ini, rapat jarak jauh sudah bisa online. Apa lagi hanya mempelajari UU dan studi banding! Itu soal mudah di jagad digital dan IT. “Konspirasi” itu pula yang menghapuskan subsidi harga daging untuk rakyat miskin DKI. Mungkin dananya terpakai untuk jatah traveling anggota DPRD tadi, kata Simon.
Anggota DPRD itu kalau “traveling” uang sakunya lumpsum. Maksudnya, uang saku itu (uang hotel, tiket pesawat, uang belanja dll) diberikan penuh. Pemakaiannya terserah mereka. Misal, jatah hotel bintang lima. Tapi karena ingin punya bini lagi, pakai hotel melati. Kan sisanya banyak.
Juga pesawat. Misal kelas bisnis Garuda. Ia bisa pakai tiket murah Lion. Kelebihannya tak perlu dikembalikan ke Setjen DPR. Masuk kantong. Lumayan kan untuk jatah bini muda. Bahkan bila jatah travelingnya lima hari, kemudian anggota DPRD pulang mendadak karena ada “something” – katakan baru sehari traveling – sisa uang saku empat hari itu pun tak perlu dikembalikan. Halal dalam aturan lumpsum.
Ini beda dengan PNS. Kalau PNS/pejabat aselon satu, misalnya, pergi kunjungan lima hari, kemudian baru sehari pulang, sisanya harus dikembalikan. Tiket pesawat dan hotel pun harus sesuai acuan. Kalau tidak dianggap korupsi! “Ahok dan Djarot yang sudah tahu betul kelakuan anggota DPRD tadi, sehingga sengaja menutup celah-celah korupsi di RUU APBD-nya,” kata Simon. ***

Coin Marketplace

STEEM 0.28
TRX 0.12
JST 0.032
BTC 69611.14
ETH 3805.50
USDT 1.00
SBD 3.82