Membunuh Kampung

in Indonesia3 years ago (edited)

Cerpen: Mustafa Ismail

TAK pernah terpikirkan di benak abu pada suatu saat ia akan pulang ke kampung. Sejak meninggalkan kampung belasan tahun lalu, abu telah menganggap kampung itu sudah tidak ada. Ia telah membunuh kampung dalam pikirannya. Karena itu, ia telah melupakannya. Ia tidak ingin ada orang menyebut-nyebut nama kampung, apalagi mengajaknya pulang.

imageedit_4_6941219905.jpg

Ilustrasi: Mustafa Ismail

Bagi abu, kampung adalah sebuah masa lalu. Itu pahit sekali. Ketika ia teringat kampung, rasanya ia ingin mengobrak-abrik apa yang ada di depannya. Tiba-tiba ia merasa wajahnya tegang dan matanya memerah menahan amarah. Pada saat lain, ia merasa begitu sedih, begitu kecewa, begitu terluka. Lalu, ia pun ingin menangis sekencang-kencangnya, meski air mata nyaris tidak bisa lagi keluar.
Hal paling diingat tentang kampong adalah tentang rumah orang tuanya yang dibakar oleh orang-orang tak dikenal dan ibunya yang terpanggang api, tidak sempat menyelamatkan diri. Itulah peristiwa paling pahit selama hidupnya. Sejak itu, abu nyaris seperti bersumpah tidak akan pernah menginjakkan lagi kakinya di kampung, kecuali maut membawanya ke sana. Itu belum lagi peristiwa-perisitiwa menyedihkan lainnya.

                                  *   *   *

1977-1980: Kisah Pertengkaran

Selalu saja ada pertengkaran antara umi dengan abucut, adik umi. Selalu ada masalah yang memantik pertengkaran itu. Misalnya soal kebun di Cot Teungoh yang digadaikan kakek dulu untuk menggantikan sepeda motor orang yang remuk terjatuh saat dikendarai abucut. Abusyik, begitu kami biasa memanggilnya, dinilai abucut lebih memperhatikan umi daripada dia. Ia juga mempersoalkan tanah yang di atasnya dibikin rumah kami.
Aku masih kecil waktu itu, kelas empat sekolah dasar. Umur abucut sekitar 20 tahun. Aku ingat betul pertengkaran-pertengkaran umi dan abucut terus terjadi. Masalah-masalah tersebut terus mengemuka dalam pertengkaran mereka. Suatu kali, abucut yang tinggal bersama famili di daerah Meureudu, pulang ke kampung menemui umi. “Saya tidak punya rokok. Saya butuh uang sedikit untuk beli rokok,” kata abucut.
Umi lalu masuk ke dalam dan mengambil beberapa rupiah uang sisa belanjaan. Tapi, ketika diberikan kepada abucut, ia langsung membuang uang itu. “Kalau segini, saya tidak perlu. Ambil kembali uang itu,” ujar abucut.
Sejenak, umi terdiam, tidak membayangkan adiknya itu akan begitu kasar. Kemudian, umi mengambil kembali uang itu, lalu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Umi tidak ingin bertengkar, karena ia sangat sayang pada abucut. Tapi di luar, abucut marah dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan memojok-mojokkan umi.
Akhirnya, umi tidak tahan juga. Terjadilah pertengkaran hebat. Lalu, masalah lampoh Cot Teungoh, soal abusyik yang dirasakan lebih sayang pada umi sebagai satu-satunya anak perempuan, juga soal tanah yang diberikan kepada umi, menjadi bahan pertengkaran. Suasana begitu ramai. Masing-masing, abucut maupun umi, saling menyerang dengan kata-kata yang pedas.
Tak ada yang mengalah. Mereka baru bisa dilerai ketika banyak orang datang ke rumah dan membawa abucut menjau. Sebagian lagi menenangkan umi. Aku sendiri tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menangis mendengar pertengkaran itu.

silhouette-3141264_1280.png

Ilustrasi: pixabay.com

Terkadang umi sampai melempar gelas dan piring ke arah abucut bila sedang bertengkar. Abucut pun kadang sampai melempar batu ke dinding rumah kami yang terbuat dari tepas bambu. Pernah pula terjadi pada sautu malam, pertengkaran dimulai karena sebuah lemparan tiba-tiba menghantam dinding rumah kami yang disertai bunyi “bukkkk...”.
Saat itu, entah bagaimana, abucut tiba-tiba datang ke rumah sambil marah-marah. Setelah melempar rumah kami, ia mendobrak pintu dan masuk. Kami sedang makan malam. Ia langsung mencecar umi dengan kata-kata yang memojokkan.
“Cupo tega sekali menjelek-jelekkan saya kepada abu. Cupo mengatakan tidak mau membangun rumah permanen di tanah ini karena takut kepada saya. Apakah memang saya ini macan? Saya tidak pernah melarang cupo untuk bikin rumah di sini.”
Melihat itu, abu segera mengajakku keluar dan membiarkan umi dan abucut berdua di rumah. Abu tidak ingin meladeni. Di jalan, abu ketemu dengan beberapa tetangga, dan meminta mereka untuk melerai pertengkaran itu. Setelah shalat isya di meunasah, abu pulang bersamaku, dan melihat umi sedang menangis di rumah.
Pertengkaran itu terjadi persis beberapa bulan sebelum abu membangun rumah beton di sebidang tanah yang dibeli di Baroh, dekat jalan rel. Tadinya, abusyik meminta agar abu membikin rumah di tanah tempat rumah sekarang, tapi abu dan umi tidak mau. Mereka takut abucut nanti makin punya alasan untuk mengajak bertengkar.
Tapi abu tidak pernah mengatakan hal sebenarnya kepada abusyik. Abu justru mengatakan di tanah tempat kami tinggal sekarang jalannya kecil, sehingga truk tidak bisa masuk untuk membawa pasir, semen, dan bahan-bahan bangunan lain ke sana. Sebaliknya, umi justru mengatakan hal sebenarnya kepada abusyik. “Dari pada nanti jadi bertengkar terus dengan si Din, lebih baik kami pindah saja.”
Setelah mendengar itu, abusyik mencari abucut dan memarahinya. Usai dimarahi, abucut datang ke rumah dan bertengkar dengan umi. Namun, keputusan abu dan umi untuk membangun rumah di tanah yang baru dibeli tetap berjalan meski ditentang abusyik, juga abucut. Bahkah, rencana itu dipercepat.
Abu meminjam uang di sana-sini, termasuk di bank, untuk menggenapkan tabungannya demi menyelesaikan rumah itu. Umi ikut membantu dengan tenaga, misalnya mengeruk tanah di seberang jalan untuk menimbun bagian dalam rumah. Sebab, tanah itu memang lebih rendah dari jalan raya, makanya fondasi dasar untuk lantai rumah itu dibikin agak tinggi.
Umi dan abu menyebut rumah itu dibangun dengan keringat dan air mata. Begitu berat. Setelah rumah berdiri, abu dan umi harus kerja keras untuk mencicil utang-utang yang digunakan untuk membangun rumah itu. Kami terpaksa mengirit-ngirit makan. Rumah itu sendiri tidak selesai 100 persen, karena uang tabungan yang ditambah pinjaman di sana-sini itu tidak cukup.
* * *

1989-2004: Sang Maut

Aku bersekolah di sebuah sekolah menengah kejuruan di Banda Aceh, ketika abu mengirim surat agar aku jangan pulang untuk sementara ke kampung. “Kampung sedang gawat,” tulisnya dalam surat itu. Jarak kampungku dengan Banda Aceh sekitar 150 kilometer. Kampungku berada di arah timur, di balik Seulawah, gunung yang menjadi nama pesawat yang tempo doeloe disumbangkan rakyat Aceh kepada pemerintah.
Tidak dijelaskan secara jelas apa yang dimaksud dengan gawat. Aku pun penasaran, tidak tahu apa yang terjadi. Yang kudengar kemudian dari kawan-kawan yang pulang ke kampung, banyak orang menjadi tersangka pemberontakan dan ditangkap. Seorang temanku di kompleks tempat tinggalku di Banda Aceh, Sri, bahkan tertembak ketika sedang pergi dengan sepeda motor bersama pacarnya malam-malam di bagian timur.
Sri bersama teman lelakinya ditembak dari belakang karena tidak mau berhenti ketika diberhentikan oleh entah siapa di jalanan yang sedang melakukan razia. Tapi, cerita itu hanya berkembang dari mulut ke mulut, sama sekali tidak ada koran yang memuat berita itu. Meskipun kemudian diketahui lelaki pacar Sri itu adalah putra seorang pejabat di sana. Aku tak tahu bagaimana kelanjutan kasus penembakan itu. Aku hanya bisa mengenang Sri sebagai teman yang manis.
Bahkan, ketika datang menjengukku di Banda Aceh, abu tidak mau bercerita secara jelas apa yang terjadi di kampung. Orang-orang kampung yang datang ke Banda Aceh dan berjumpa denganku di terminal minibus Beurawe atau atau Terminal Seutui juga tidak mau bercerita. “Tidak terjadi apa-apa. Biasa saja,” kata Bang Yan, seorang sopir bus Bireun Ekspress yang tinggal sekecamatan denganku.
“Nanti, kalau sudah bisa pulang, nanti abu beri kabar,” katanya.
Meski tidak ada yang berani berkata-kata secara terang berderang, cerita-cerita yang berkembang secara samar dari mulut ke mulut itu suasananya terasa mencekam. Ada bus yang dibakar oleh orang-orang tak dikenal. Semua penumpang disuruh turun dan tidak boleh membawa turun apa-apa, termasuk barang-barang, kecuali diri mereka sendiri.
Makin hari, jumlah bus yang dibakar itu makin bertambah satu demi satu. Bahkan, kemudian ada pula mobil pengangkut koran dibakar oleh orang-orang tak dikenal itu. Lalu, terdengar pula, ada mayat-mayat yang ditemukan di pinggir jalan sepanjang jalan Medan-Banda Aceh, mulai dari Pidie sampai perbatasan Sumatera Utara.
“Semua mayat-mayat itu dengan beberapa lubang tembakan di tubuhnya,” kata seorang penumpang bus yang kutemui di Terminal Beurawe. Waktu itu, aku makin rajin ke Terminal Beurawe untuk mengetahui keadaan di kampung.
“Di kampung sedang berlaku jam malam,” kata penumpang lain.
“Sekarang, sebagian orang di kampung ada yang mengungsi ke Banda Aceh atau Medan.”
Lagi-lagi, semua kabar itu terdengar secara bisik-bisik. Di Banda Aceh sendiri kondisinya biasa-biasa saja, tidak terpengaruh dengan kabar-kabar tak nyaman dari sejumlah kabupaten di pesisir, seperti Kabupaten Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Makanya sungguh tepat alasan orang mengungsi ke Banda Aceh atau Medan.
Aku baru tahu kondisi yang terjadi ketika melintasi jalan di kabupaten pesisir itu pada 1992 ketika aku dan kelompok teaterku melakukan pementasan di Takengon. Sepanjang perjalanan, kami harus melalui sejumlah pos pemeriksaan oleh aparat keamanan yang menenteng senjata laras panjang. Wajah mereka sangar dan tegang, sama tegangnya dengan wajah-wajah orang-orang di dalam bus.
Mereka memeriksa kartu tanda penduduk para penumpang. Kala itu, KTP dijuluki sebagai kartu sakti. Kalau tidak bisa menunjukkan KTP, penumpang itu langsung digiring untuk turun, dan bus disuruh melanjutkan perjalanan. Entah apa yang terjadi dengan mereka, tidak ada yang tahu.
Selain itu, di depan pos-pos militer atau polisi dibikin penghalang di jalanan berupa drum-drum besar yang ditaruh zig-zag, agar kendaraan mengurangi seluruh kecepatan di sana, dan ikut berzig-zag pula. Makin hari, kondisi makin mencekam. Kemudian, bus-bus besar antar provinsi tidak berani lagi beroperasi pada malam hari. Kalau mereka kemalaman, akan berhenti di terminal terdekat dan baru kembali berangkat setelah pagi.
Ketika pulang ke kampung, aku baru tahu keadaan yang sesungguhnya. “Apa Leman dibawa dan hingga hari ini tidak pernah pulang,” kata abu. Apa Leman ini termasuk famili jauh dari pihak ibu. Istrinya sudah berusaha mencari, tapi tidak pernah ketemu. Abu bercerita, waktu itu ada dua Leman yang dibawa, tapi Leman yang satunya lagi dipulangkan beberapa jam kemudian.
“Malam itu, aku benar-benar tak bisa tidur. Ketika baru mau tidur, aku mendengar suara tapak orang yang sedang berlari di gang pasar. Ada beberapa orang. Tak lama, terdengar bunyi beberapa tembakan,” kata Rusdi, temanku, penjual toko kelontong yang tiap malam tidur di lantai dua tokonya.
“Kamu melihat?”
“Aku mengintip dari jendela atas setelah semua lampu kumatikan. Tapi aku tidak bisa melihat orang-orang berlari itu.”
“Kamu tidak turun?”
“Siapa yang berani turun. Kan sedang jam malam, tidak boleh ada seorang pun yang berada di luar mulai magrib hingga subuh.”
“Terus?”
“Aku baru turun ketika shalat subuh dan melihat seorang lelaki terkapar dengan beberapa lubang tembakan di pertigaan gang pasar. Lelaki itu memakai celana jeans dan kemeja dan bersendal jepit biru.”
“Kau kenal?”
“Jelas kukenal. Lelaki itu adalah Polem Baka.”
Aku terdiam. Polem Baka dimaksud masih termasuk famili dekatku. Kala konflik bersenjata di kampungku itu, cukup banyak orang-orang yang kami kenal dekat, termasuk famili-famili dan kerabat kami yang menjadi korban. Bahkan, seorang anak buah abu di kantornya, ikut menjadi korban.
Abu begitu trauma dan terpukul dengan peristiwa-peristiwa itu. Maut begitu dekat dengan orang-orang di kampung. Sewaktu-waktu, sang maut bisa datang kapan saja. Puncak kemarahan, kekecewaan, sekaligus kesedihan abu adalah ketika sekolah tempatnya mengajar dibakar, entah oleh siapa. Setelah itu, banyak sekolah yang dibakar.


architecture-1297907_1280.png

ilustrasi: pixabay.com

TERKADANG, abu ingat rumah. Pada saat lain, abu teringat mayat-mayat yang bergelimpangan di pasar atau jalanan. Teringat ia ditendang oleh orang tak dikenal malam-malam sepulang dari pasar sehingga sepeda motornya terjatuh dan lengan abu terkilir serta pahanya terluka. Teringat rumah ibunya dibakar dan ibunya terpanggang api, tidak sempat menyelamatkan diri.
Buat abu kampung adalah potret duka yang berbaris seperti mimpi panjang. Setiap mengingat peristiwa-peristiwa di kampung seketika luka-luka lama itu kembali menganga dan perih. Ia tidak ingin menggali luka itu karena itu ia tidak pulang ke kampong.Bahkan ketika tsunami terjadi pada Desember 2004, abu tetap berkeras hati tidak pulang ke kampung.
Tapi, telepon Hasbi, anak abucut Nurman tadi pagi, yang mengatakan bahwa paman Nurman (adik abu) telah meninggal, kembali ia dihadapkan pada pilihan sulit. Sangat sulit. Nurman adalah adik laki-laki abu satu-satunya, yang begitu sayang pada keluarga besar. Ia tinggal di Medan, namun akan dimakamkan di pemakaman keluarga di kampung, sesuai permintaanya. Dulu mereka pernah saling berjanji, siapa duluan tiada di antara mereka, yang masih hidup harus menjadi imam shalat jenazahnya. ***

#steemexclusive #zzan #creativecoin #steemsea #fiksi #steemitbudaya #steemzzang #cerpenindonesia #aceh #konflikaceh

Sort:  

Sepertinya bagi yang tidak membeli produk Atomy tidak mendapat vote lagi di sini, Bang @musismail. Beli produk Atomy atau mencari lahan lain, hehehehe....

Kita tunggu saja, semoga ada banyak orang baik yang memberi vote hehe. Amin.

Nafsi-nafsi jinoe bak Steemit bang 😁

memang leubeh brat dibandingkan periode awai, watee jeh le awak tanyoe yang aktif. Jinoe sangat dit nyang aktif. Agak hek bacut. Tapi semoga ukeue leubeh terang hehe...

Mudah-mudahan, nyan harapan geutanyoe mandum. Untunglah manteng na booming yg tem kalen konten berkualitas.

Salam kenal dan kompak selalu, long galak baca karya droneuh, sep bereh 😊👍👍

Amin. Makasih. Semoga ukeue leubeh jroh harapan bak steemit. Saleuem mulia

Get

Saleum kompak 👍

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.11
JST 0.034
BTC 63997.36
ETH 3133.23
USDT 1.00
SBD 4.15