Tgk. Dianjong
Cloudy morning makes the atmosphere calm. Sayapun intend to step into one of the historic places of the mosque tgk. Dianjong.
This morning I thought about what I want for my posting on this day and I was reminded of a place worth telling. That's about tgk. Dianjong.
Tgk name. Dianjong is a name that is embedded in a mosque in Peulaggahan Kutaraja gampong. The name is not arbitrary ordinary names. Naman naming purpose of the mosque tgk. Dianjong is to respect the services tgk. Dianjong.
Tgk. Dianjong is the title or the title of a great man from Yemen who moved to Aceh aceh to broadcast the religion of Islam in aceh.
Teungku Di Anjong is a great scholar who lived during the reign of Aceh Sultan Alauddin Mahmud Syah, 1760 - 1781 AD At that time the kingdom of Aceh experienced a large balance of payments deficit (debt) to the British Empire. This is very worrisome Sultan, because it concerns the dignity of the kingdom. It is said that even though all the gold obtained from the mines in Pariaman was collected, together with the entire wealth of the kingdom, the amount is still insufficient to pay off the debt to the British Empire. The Sultan was then given an opinion by the royal chamber to request the help of Teungku Di Anjong. The suggestion was received and sent by the messenger to Teungku Di Anjong equipped with a set of food dishes to glorify the cleric. Knowing the purpose of the envoy's arrival, Teungku Di Anjong suggested that this issue be discussed with Teungku Syiah Kuala, the mufti of the Aceh kingdom. However, Teungku Syiah Kuala expressed his inability to fulfill the Sultan's request and he stated that only Teungku Di Anjong was able to assist the Sultan. Teungku Di Anjong was willing and asked to provide some pieces of jute to one place on the edge of Krueng Aceh. All the jute is filled with sand and transported to Cermen Beach, Ulee Lheue. While the dish from Sultan he returned with the message that one of the dishes can only be opened by the Sultan himself. When the Sultan opened the dish, it turned out the contents of gold and gems. So also the sand in the burlap that was brought to Cermen Beach has turned into silver. With the precious metal the Sultan of Aceh pays the debt to the British Empire. Thus, the almost faded Acehnese dignity of not being able to repay the debt remains preserved in the view of the British empire.
The real name Teungku Di Anjong is Al Habib - Sayyid Abubakar bin Husain Bilfaqih. He is from the region of Hadhramaut, the land of Yemen. The story is still told by the habaib scholars of his native Hadhramaut, as mentioned by pilgrims from Yemen who came to Peulanggahan. Manaqib mentioned that the arrival of Teungku Di Anjong to Aceh not directly through Hadhramaut. He first studied and practiced seriously all the content contained in the book Bidayatul Hidayah by Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali along with two other scholars in Medina. The first cleric was Sayyid Abdurrahman bin Mustafa Alaydrus who then traveled to Egypt and the second was Sayyid Sheikh bin Muhammad Al-Jufri who traveled to Malabar, India.
Pagi yang mendung membuat suasana menjadi tenang. Sayapun berniat untuk melangkah ke salah satu tempat bersejarah yaitu mesjid tgk. Dianjong.
Tadi pagi saya kepikiran mau buat apa untuk postingan saya pada hari ini dan saya pun teringat dengan sebuah tempat yang layak buat di ceritakan. Itulah mengenai tgk. Dianjong.
Nama tgk. Dianjong merupakan sebuah nama yang di sematkan kepada sebuah mesjid yang berada di gampong Peulaggahan Kutaraja. Nama tersebut bukan lah sembarangan nama biasa. Naman tujuan penamaan dari pada mesjid tgk. Dianjong yaitu untuk menghormati jasa-jasa tgk. Dianjong.
Tgk. Dianjong merupakan lakap ataupun gelar seorang pria hebat asal yaman yang hijrah ke bumi aceh untuk menyiarkan agama islam di aceh.
Teungku Di Anjong adalah seorang ulama besar yang hidup pada masa kerajaan Aceh Sultan Alauddin Mahmud Syah, 1760 - 1781 M. Saat itu kerajaan Aceh mengalami defisit neraca pembayaran (utang) dalam jumlah besar kepada kerajaan Inggris. Hal ini sangat mencemaskan Sultan, karena menyangkut martabat kerajaan. Konon kabarnya pula, meskipun semua hasil emas yang diperoleh dari tambang di Pariaman dikumpulkan, bersama-sama dengan seluruh kekayaan kerajaan, namun jumlahnya masih belum mencukupi untuk melunasi utang kepada kerajaan Inggris. Sultan kemudian diberi pendapat oleh majelis kerajaan agar meminta bantuan Teungku Di Anjong. Saran tersebut diterima dan dikirimlah utusan menghadap Teungku Di Anjong yang dibekali dengan seperangkat hidangan makanan untuk memuliakan ulama tersebut. Mengetahui maksud kedatangan utusan, Teungku Di Anjong menyarankan agar persoalan ini dibicarakan dengan Teungku Syiah Kuala, mufti kerajaan Aceh. Namun, Teungku Syiah Kuala menyatakan ketidakmampuannya memenuhi permintaan Sultan dan beliau menyatakan bahwa hanyalah Teungku Di Anjong yang sanggup membantu Sultan. Teungku Di Anjong pun bersedia dan meminta untuk disediakan beberapa buah goni ke salah satu tempat di pinggir Krueng Aceh. Semua goni diisi dengan pasir dan diangkut ke Pantai Cermen, Ulee Lheue. Sedangkan hidangan dari Sultan beliau kembalikan dengan pesan bahwa salah satu dari hidangan tersebut hanya boleh dibuka oleh Sultan sendiri. Ketika Sultan membuka hidangan itu, ternyata isinya emas dan permata. Begitu juga pasir dalam goni yang dibawa ke Pantai Cermen sudah berubah menjadi perak. Dengan logam mulia itulah Sultan Aceh membayar utang kepada kerajaan Inggris. Dengan demikian, martabat Aceh yang nyaris luntur karena tidak mampu membayar utang tetap terpelihara dalam pandangan kerajaan Inggris.
Nama sebenarnya Teungku Di Anjong adalah Al Habib - Sayyid Abubakar bin Husain Bilfaqih. Beliau berasal dari wilayah Hadhramaut, negeri Yaman. Kisahnya hingga kini masih diceritakan oleh para ulama habaib dari negeri asalnya Hadhramaut, seperti yang disebutkan para penziarah dari Yaman yang datang ke Peulanggahan. Manaqib tersebut menyebutkan bahwa kedatangan Teungku Di Anjong ke Aceh tidak langsung melalui Hadhramaut. Beliau terlebih dahulu mempelajari dan mengamalkan secara sungguh-sungguh semua kandungan yang terdapat dalam kitab Bidayatul Hidayah karya Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali bersama dengan dua ulama lainnya di Madinah. Ulama yang pertama adalah Sayyid Abdurrahman bin Musthafa Alaydrus yang kemudian melanjutkan perjalanan ke Mesir dan yang kedua ialah Sayyid Syeikh bin Muhammad Al-Jufri yang berjalan menuju Malabar, India.