#10 Jl. Gandapura_Novel Setulus Kalbu

in #novel7 years ago

1517295609-picsay[1].jpg

Alangkah gembira hati Hasan melihat Rini teman sekampungnya, kini berada di depan mata. Kehadiran Rini memberikan setitik penerangan dalam ketersesatannya, kebingungannya yang harus menelan takdir berada di tanah Bandung—yang bukan tujuan utamanya.

Rini pun sangat terkejut. Ia heran mengapa Hasan bisa ada di Bandung. Dengan menggandeng tas besar, sepertinya Hasan bukan untuk bepergian dalam waktu yang sebentar.

“Eh, A Hasan! kok bisa ada di sini, mau kemana?” Rini mencoba meluncurkan pertanyaan. Di samping ia sangat penasaran dengan keberadaannya di kota Bandung ini, ia juga sangat antusias untuk lebih memberi kesan akrab kepada Hasan, karena di perantauan, bertemu dengan seseorang yang sama asal kotanya itu seperti halnya bertemu dengan keluarga sendiri, apalagi ini teman sekampung.

“Ini aku mau berangkat mesantren lagi, Rin,” jawaban Hasan sangat meyakinkan. Ia tersenyum, mencoba menutupi musibah yang baru saja terjadi menimpa dirinya. Ia ingin semua terlihat baik-baik saja. Masalah kejadian pencopetan tadi, biar cukup pedagang asongan saja yang tahu. Ia mencoba berusaha tegar.

“Oh, mesantren kemana, A? Rini kembali melanjutkan pertanyaan.

“Ke Sukabumi, Rin. Ini juga lagi nunggu bus jurusan kesana, soalnya tadi saya ke sini naik Elf bareng temen, jadi tadi mampir dulu.” Mau tidak mau harus sedikit berbohong, ia tidak ingin membuat khawatir orang lain. Apalagi sampai Rini tau kalau ia baru saja sudah kecopetan. Jangan! Jangan samapai ia tahu, jangan sampai berita ini sampai ke kampung halaman dan samapai ke telinga ayahnya. Ia tidak ingin membuat ayahnya khawatir.

“Oh, gitu yah, ya saya juga mau balik ke Garut nih,” ucap Rini seraya melempar senyum santun. Mendengar bahwa Rini akan pulang ke Garut, Hasan merasa ada yang mengganjal, ada sesuatu, ada sesuatu yang harus ia sampaikan melalui Rini. Keningya mengerut. Ia berpikir sebentar. Terdiam, bergeming, tertegun.

“Kenapa melamun, A?” Rini mengagetkan.

“Eh, nggak ko, Rin.” Hasan kembali cepat-cepat mengingat kembali apa yang harus ia sampaikan pada Rini, setelah berpikir cukup lama dan hampir membuat Rini kesal melihat Hasan hanya terdiam.

Oh ya, surat untuk Maryam.

“Rin, saya mau minta tolong boleh?”

“Minta tolong apa, A?”

“Kamu kan mau pulang ke Garut yah, boleh nggak saya mau nitip surat untuk Maryam?” Sambil bercuap-cuap, Hasan membuka tasnya, mencari secarik amplop biru berisi surat untuk Maryam. Rini seketika terkesiap.

’Wah… A Hasan ternyata masih ada sesuatu dengan Maryam yah, hemmm, hemmm.’

Rini bergumam dalam hati, tersenyum. Menyeringai, pertanda Rini sangat senang apabila Hasan masih memedulikan Maryam. karena ia tahu bagaimana perasaan Maryam yang sebenarnya. Ia lebih mengerti perasaan wanita terutama teman dekatnya itu.

“Sangat boleh, A. Mana coba, nanti saya berikan langsung kepada Maryam.”

“Ini, Rin.” Hasan menyodorkan amplop berwarna biru, seraya melempar senyum lega dan membuang nafas sangat lepas, Hasan senang akhirnya surat itu dapat tersampaikan.

“Oh ya udah, A. Bus udah datang, nanti Rini kasih suratnya ke Maryam yah,”

“Silahkan… silahkan, Rin. Terima kasih. Hati-hati di jalan. Assalamu’alaikum!” Hasan menganggukan kepala mempersilahkan Rini untuk melanjutkan perjalanannya.

“Ia sama-sama, A. Wa’alaikum salam!” Rini pun manggut seraya mengembalikan senyum dari Hasan.

Wanita itu kini Meninggalkan Hasan dan mengahampiri sebuah Bus jalur Tasik, kakinya mulai melangkah memijak pintu Bus, ia menoleh ke belakang, melihat kembali keberadaan Hasan, lalu melempar senyum kembali dan Hasan pun membalas senyuman Rini.

“Eh, Rin. katanya si Ramdan kerja di Bandung. Di daerah mana yah?” pekik Hasan dari kejauhan.

“Oh, coba aja tanya. Tempat kerjanya di Jalan gandapura deket Taman Pramuka. Di car wash”

Bus yang ditumpangi Rini mulai melaju, menghilang, lenyap dari pandangan Hasan. Ia kembali merasakan bingung, harus kemana ia sekarang? Entahlah, perjalanan ke Sukabumi masih cukup jauh, ia tak mempunyai uang untuk meneruskan perjalanan, untuk sekarang pun ia tidak tahu harus membungkam rasa lapar dengan cara apa.

Allahuakbar! Allahuakbar!

Adzan Dzuhur terdengar mulai dikumanadangakan, hati Hasan seketika merasakan kesejukan di tengah panasnya terik matahari yang sedari tadi membakar seluruh jasadnya, ia sangat senang mendengarnya, pertanda mesjid tidak jauh dari tempat ia berdiri.

“Alhamdulillah,” lirihnya riang, kedua telapak tangannya mengusap wajah. Tak berlama-lama ia langsung mencari asal muasal suara seruan merdu yang mengalun indah itu.

Hayya alasholah...

Semakin dekat suara itu terdengar menggema, tak lama sebuah kubah menjulang terlihat jelas, sepuluh meter lagi ia sampai mesjid. Semakin mempercepat langkah, ia ingin segera mencuci muka dan berwudu. Debu yang bersarang di kulit, ingin sekali segera ia hempaskan dengan segera.

Kini gerbang masjid mulai diraihnya, kaki melangkah sekali, dua kali, terasa atmosfer berbeda. Ketenangan, keteduhan, kesejukan mulai terasa sangat melekat. Mesjid memang tempat yang tidak diragukan lagi. Mesjid adalah tempat ibadah, tempat berdzikir. Maka sudah barang tentu masjid selalu akan memberikan kedamaian bagi semua yang memasukinya.

Hasan menyimpan tasnya di dekat pintu masuk, ia melanjutkan mengambil air wudu. Langkahnya dilanjutkan ke tempat pengambilan air wudu. Air yang begitu jernih ia raup, lalu membersihkan wajahnya yang sudah terlihat kusam. Sebelum berwudhu, ia sempatkan meneguk beberapa kali air keran itu mentah-mentah. Sungguh malang.

Shalat Dzuhur terlaksana dengan lancar. Malahan, ia terasa sangat mendapatkan ketenangan seusai shalat. Namun, tak dapat dipungkiri,ada beberapa hal yang harus ia pecahkan untuk mencari jalan keluar dari ketersesatannya.

Hasan harus mencari biaya untuk ongkos dan bekal di pondok. Setelah kecopetan, semua uang sebagai perbekalan habis. Ada beberapa receh juga hanya cukup untuk membeli minum dan makan satu kali. Terpaksa jalan satu-satunya adalah mencari pekerjaan. Tidak mungkin juga ia kembali ke kampung halaman dan meminta uang pada sang ayah.

Hari sedikit hampir dipeluk senja. Rasa bingung semakin menjalar. Otaknya semakin tersendat. Rasa lapar tak tertahankan. Hasan kebingungan. Entah harus memulai dari mana dulu agar bisa mendapatkan pekerjaan.

Matanya mulai merayapi semua jenis tempat perbelanjaan, pertokoan dan beberapa swalayan. Mungkinkah ia berpikir bisa ikut bekerja di sana.

Gumamnya mulai tidak jelas. Keragu-raguan datang tanpa diundang menelusup masuk dalam perasaan. Ia bingung harus mengawali dengan hal apa, sedangkan ia merasa belum berpengalaman bekerja pada seseorang. Kecuali, ia bekerja sebagai kuli di sawah yang itu pun hanya untuk memenuhi kewajibannya sebagai santri.

“Assalamualaikum!” serunya pada seorang penjaga toko. Sepertinya, mulai diberani-beranikan. Tak ada jalan lain selain mengorbankan rasa malu.

“Ia, A. Silahkan mau beli apa?” balas penjaga toko dengan wajah sumringah. Bagaimana tidak, dagangannya ada yang mau beli.

“Tidak, Bu. Saya mau bertanya, apakah ada pekerjaan yang bisa saya kerjakan. Saya butuh pekerjaan, Bu!” terang hasan dengan memasang wajah melas.

“Oh maaf, A. Saya masih bisa melakukannya sendiri. Coba cari di toko-toko yang agak besar. Kalau bawa ijazah, bisa juga coba kirim lamaran ke mal, super market gitu.”

“Terima kasih, Bu. Atas informasinya. Saya permisi dulu. Assalamualaikum!”

“Iya sama-sama. Waalaikum salam!”

Hasan mendapat petunjuk baru. Ia kini mencari toko-toko besar. Tekadnya untuk berusaha cukup kuat. Setidaknya, ia harus mendapatkan pekerjaan mulai besok pagi. Tapi ucapan dari penjaga toko tadi ada yang sedikit mengganjal.
Ijazah…

Hasan tidak membawa benda yang konon mujarab untuk mencari pekerjaan. Karena memang awalnya ia tidak berniat untuk mencari pekerjaan. Mana mungkin ke pesantren membawa ijazah.

Hatinya bimbang.

Ia memang sempat mendengar obrolan teman sekampungnya dulu. Katanya, di zaman sekarang, semua harus serba ijazah. Bahkan untuk menjadi seorang tukang bersih-bersih lantai saja, harus melalui pelamaran dan aturan ketat dengan melampirkan ijazah. Memang hidup itu sedikit keras.

Bukan Hasan apabila harus menyerah karena hal sepele itu. Tapi dalam kelelahannya, ia sedikit tersadar bahwa ia ada yang meciptakan, ia ada yang memiliki. Hatinya sangat yakin yang mencipitakan dan yang memilikinya adalah Allah. Tidak mungkin pula Allah menyia-nyiakan makhluknya yang mau berusaha.

Ingatannya seketika terseret ke beberapa tahu silam. Dulu ia sempat mendengar cerita dari ustadnya di pesantren.
Ceritanya kurang lebih seperti ini:

Dulu, ada seorang ulama yang ingin meyakinkan diri serta meneguhkan hati sejauh mana Allah memberi rizki. Akhirnya pada suatu ketika, ulama itu memutuskan untuk pergi ke sebuah pegunungan nun jauh di daerah pedalaman. Ia masuk ke dalam gua yang sedikit gelap, tapi ada sedikit jalan masuk untuknya.

Setelah itu, ia duduk, memejamkan mata, membungkam bibirnya dan diam. Dari mulai pagi hingga siang hari, ia masih terus bertahan sampai langit mulai mendung dan hujan deras pun mulai meledak, membuncah menerpa bumi.

Tak lama kemudian, tiba-tiba muncul sekelompok anak muda berjumlah empat orang masuk ke dalam gua untuk berteduh. Setelah berada di dalam, mereka menyalakan lampu corong yang di bawa dari rumah. Seketika semua kaget dan berdiri melihat ada seseorang di dalam gua.

Ada salah satu dari mereka yang cukup berani. Ia menenangkan teman-temannya. Setelah itu, ia mendekati sang ulama dan menggoyang-goyangkan badannya. Mereka keheranan. Orang itu terlihat bernapas tapi tidak bergerak, pun tak terusik dengan kedatangan mereka.

Si pria yang pemberani itu malah dengan konyolnya iseng membuka bibir sang ulama dan menyuapkan sepotong roti. Tak menunggu lama sang ulama langsung membuka matanya. Mereka berempat lari terbirit-birit. Tapi, sang ulama langsung bersujud kepada Allah.

Cerita itu yang selalu diingat Hasan. Kisah yang menjadi api untuk membakar semangatnya di kala hampir drop imannya, cerita yang membuatnya bergairah lagi dalam berusaha. Ia yakin, Allah tak akan membuat makhluknya sengsara, kecuali manusia itu sendiri yang membuatnya merasa susah.

Segala tempat yang menurutnya pantas bagi dirinya, yang hanya bermodalkan keinginan telah ia coba. Tapi hingga hari hampir menelisik waktu magrib, ia belum juga mendapatkan pekerjaan. Langkahnya sudah berjalan cukup jauh.

Setelah beberapa kali bertanya daerah Taman Pramuka, ia akhirnya mendapat petunjuk dari salah satu pedagang.
Setelah dua kali naik angkutan kota, dengan sisa uang di saku celanaya, akhiranya kini ia berada di daerah Taman Pramuka. Taman yang memiliki icon tunas kelapa itu kini ditemukannya.

Di taman itu, ia hanya termenung, sesekali memandang beberapa tempat kecil. Ia memandang kesebelah kanan ujung sana, terlihat ada sebuah mini market yang buka hingga 24 jam. Ia tengok ke sebelah kiri, terlihat di pertigaan jalan ada sebuah kedai kopi kecil. Tapi saat memandang ke sebuah kedai itu, Hasan menatap cukup lama. Mungkin kedai itu pantas untuk di coba.

Napasnya masih terasa berat karena kelelahan. Tapi, ia memaksakan beranjak untuk mendekati tempat itu. Sambil mencari alamat tempat keberadaan Ramdan, ia kembali mencoba untuk melamar pekerjaan.

Hasan langsung masuk ke dalam tanpa berpikir panjang. Ia dekati area kasir. Penjaga kedai mempersilahkan untuk duduk dengan membawakan menu.

“Maaf, saya bukan mau pesen. Hanya mau bertanya. Apakah di sini ada lowongan pekerjaan?” tanya Hasan dengan raut wajah masih merasa malu.

“Oh lowongan yah. Sebenernya di sini masih kekurangan pegwai. Tiga hari yang lalu karyawan di sini keluar tanpa kabar. Tapi saya tidak bisa memutuskan. Coba datang saja besok pagi, biar langsung ketemu sama pemilik kedai ini,” terang seorang wanita yang cukup ramah memberi informasi pada Hasan.

“Oh begitu. Baik, saya besok pagi datang kemari lagi, Terima kasih, Mbak. Assalamualaikum!”

“Oke, sama-sama. Waalaikum salam!”

Tidak dapat ditutupi. Perangai Hasan bermetamorfosa jadi sumringah. Walaupun belum pasti, ia merasa bahwa kesempatan itu akan memberikannya jalan. Setelah meninggalkan kedai, Hasan bergegas mencari masjid untuk melaksanakan shalat Isya dan beristirahat. Mungkin rencana untuk mencari Ramdan ia lanjutkan setelah melamar kerja.

                ***

Dalam sepertiga malam, saat kebanyakan orang tertidur pulas. Maryam terbangun sebagaimana biasanya. Ia menuju tempat berwudu. Setelah itu lalu menggelar sajadah. Mukena putih ia kenakan untuk kembali bersujud kepada Sang Khalik.

Semenjak ia direncanakan akan dipersunting oleh seseorang yang tidak diinginkanya, Maryam kini berhenti beharap seorang lelaki dambaannya. Maryam bertekad untuk mencoba menerima calon suaminya semata-mata karena Allah.

Dalam hatinya sudah mulai tidak memikirkan hal apapun kecuali Allah. Langit terbentang yang ia lihat, bumi menghampar yang ia injak, napas yang ia hirup, daging membungkus tulang, serta jiwa dan raganya sudah tidak ia perdulikna lagi kecuali hati yang ia persembahkan untuk tetap pada satu Dzat yaitu Allah. Shalat tahajud merupakan obat penenang baginya. Saat di mana tidak ada hal yang benar-benar berarti kecuali mencurahkan segala rasa dalam hati melalui doanya kepada Allah.

“Tuhanku, tenggelamkanlah aku dalam cintaMu hingga tak ada satu pun yang menggangguku dalam jumpaMu. Tuhanku, bintang gemintang berkelip-kelip. Manusia terlena dalam buai tidur lelap, pintu-pintu istana pun telah rapat. Tuhanku, demikian malamku bersama ibadahku. Dan jika siang menjelang aku menjadi resah gelisah. Apakah persembahan malamku engkau terima hingga aku berhak mereguk bahagia ataukah itu kau tolak hingga aku dihimpit duka. Demi kemaha kuasaanMu. Inilah yang akan selalu aku lakukan selama kau beri aku kehidupan. Andai kau usir aku dari pintuMu aku tak akan pergi berlalu karena cintaku padaMu sepenuh kalbu.”

Steemit bandung.jpg

Sort:  

Great article I love your writingLove to Indonesia

Thank you very very much :D

Aslina ieu mah kudu dijadikan film. Rame...

Eta c Aa Hasan padahal jangan ke Taman Pramuka. Mau ngapain...? Mampir sini biar diongkosin ke Sukabumi.

KPKers atu beraksi hihihi

ke urg piwarang ameng hhehe

Kuy, kita garap film nya. hehe

Siappppp! :D

ditunggu berikutnya Bang @mrohmat, sampai ketemu sisi Cinta lagi..hehee

Hehe siap Teh. Terima kasih masih nyimak :D

Ditunggu lanjutannya...hehe

Wah, terima kasih , Bang. Siap :D

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.16
JST 0.030
BTC 68195.23
ETH 2703.52
USDT 1.00
SBD 2.78