Tentang Hujan yang Kita Baca dan Tulis

in #indonesia6 years ago

image

Hujan adalah anugrah Tuhan yang tak terkira. Setiap tetesnya ialah rahmat, setiap rinainya ialah rahim. Dari hujan, alam bermandikan kasih sayang, dari setiap episodenya tanah sumringah, tanaman tersenyum, pun alam bergembira.

Tanpa terkecuali manusia. Sering kali, dihadapkan hujan kita mendadak melow. Hujan tak ubahnya inspirasi yang mengedor-gedor kepala, agar kiranya cepat merangsang ide. Entah berapa milyar puisi lahir, entah berapa juta sajak selesai, tak terhitung tulisan bernas lagi memikat ditulis saat hujan berlangsung.

Hujan, mengingatkan saya pada sosok penyair senior Indonesia. Adalah Sapardi Djoko Damono, yang salah satu novelnya diburu banyak pembaca dengan judul; Hujan Bulan Juni. Kabarnya, novelnya sedang digarap menjadi sebuah film.

Hujan adalah basah yang mengairi kekeringan. Dari kekeringan tanah hingga kerontangnya ide. Setiap basah yang ia bawa mampu melunakkan kebuntuan yang tak terlanjur membatu. Tentu, hujan terbaik kerap istimewa pada tangan penyair, dari penanya; hujan melakoni drama yang mewakili perasaan orang-orang. Terlebih urusan asmara.

Boleh jadi, dalam terminologi metafisika hujan adalah syair Tuhan kepada alam beserta makhluk di dalamnya. Cinta-Nya tak pernah usai, sekalipun (kita) kerap berpaling. Tanpa syukur dan tak tau berterimakasih.

Maka kadang, jadilah hujan sebagai malapetaka. Hujan menjelma banjir yang memakan korban. Desa dan kota terendam, menyapu apa saja, tumbuhan, ternak hingga manusia. Lantas hujan memainkan suratan lain, yang dibaca orang-orang sebagai teguran, atas ulah tangan kita sendiri.

Lalu, juga karena hujan, para penulis ekologi akan menarasikan keresahan, kritik dan kegalauan terhadap ulah tangan dan dosa manusia. Tentang pengembangan liar, soal reklamasi, tata kota yang amburadur, perilaku buang sampah sembarangan, dan lain-lain sebagainya. Yang jika dituliskan, atas nama hujan dan bencana, terlalu banyak dosa kita.

Membaca hujan menjadi keniscayaan. Sedangkan menuliskannya berarti merayakan sebagai rasa syukur, atau tanggung jawab moral berupa kritik. Yang didalamnya ada muhasabah yang terus dipetik dari setiap hikmah. Hujan tak terhitung rinainya, tapi lebih tak terhingga lagi rasa syukur yang harus dipanjatkan. Hujan tak terkira dampaknya, namun lebih berdampak lagi bila kita tidak cermat membaca tanda-tanda alam.

Sort:  

Hujan adalah basah yang kering, sedang mata adalah kering yang basah... Eaaak 😂 hahaha

Haha. Neu teume ingat captionnya story Ig lon eum. Memang bereh awak gampong babang.

Hahaha
Get that teuingat, meufom yg hana. Haha

Hahahha that ns teuh awak gampong😅

Hahaha
Awak gampong abal-abal bg 😂

Congratulations @lontuanisme! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :

Award for the number of posts published

Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.

To support your work, I also upvoted your post!
For more information about SteemitBoard, click here

If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

Upvote this notification to help all Steemit users. Learn why here!

Saya suka baca tulisan anda @lontuanisme bahasanya bagus dan alurnya juga saya dapat.

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.13
JST 0.030
BTC 62567.99
ETH 3431.85
USDT 1.00
SBD 2.47