Tagihan bukan tagihan

Menyibukkan diri dengan tagihan Negara, kembali membuka lembaran baru diakhir tahun. Membuka kemabali buku kontrak tahun-tahun lalu.

Dua minggu ini terus muka dihadapan laptop berukuran 15in, mata mulao berait kadang terasa kepala terasa pusing.

karena kita bangsa "Teulebeuh ateuh rhueng donya' dari itu wajib pajak, kewajiban perpajakan bisa diibaratkan seperti susu basi, tidak enak, oh no mampus aku.

Akhir tahun kantor pajak terus di padati orang dengan pelaporan pajak, ya . . . kontor pajak seperti pasar ikan, ada yang bigung ada juga yang bodoh kayak aku ini awam dalam hal pajak, "Chuthat si goe goe hana masalah beuk hana sagai".

Dari awal jumpa petugas yang membuat saya bigung, dari perhitungan laba rugi dan sejenis itulah. Sebagai warga negara yang taat pajak dan sebagai jantung kehidupan negeri ini.

Ah aku lagi bercinta bersama tuan pajak, sebagai tulang punggung penerimaan negara dan itu aku harus mencintainya sepenuh hati. Walau bagi aku sedikit ada potensi pajak makin gali.

Saya secara pribadi belum terlalu paham, tapi saya akan belajar "Bah Neuk Carong, beuk dhoe oeh bak urham", entahlah. Saya tidak bermaksud menyalahkan sebuah situasi atau keadaan, entah itu buruk, tidak baik atau sangat tidak baik. "Mumang"

"Payah ta kheum sidroe", Saya yakin saat ini, masyarakat banyak yang belum pernah ke kantor pajak, apalagi memahami secara persis jenis-jenis pajak yang ada, yaitu pajak pusat dan daerah. "Nyo pengalaman lon gob hom", hanya tahu membayar pajak harus tetap bayar, jika tidak ada sanksi "Meunanlah kira2". Kewajiban yang dipenuhi secara formalitas, belum benar secara material. Jujur, memang banyak transaksi yang bermuatan pajak. Mulai dari jual beli tanah, membeli makanan di restoran, membeli produk barang dan jasa, pajak penghasilan, pajak kendaraan bermotor, semua mempunyai bagian sendiri-sendiri yang menjadi beban dari wajib pajak, entah itu di pusat maupun di daerah.