Pelangi Selepas Senja

in #story6 years ago

Tanganku bergerak mengulurkan selembar kertas berwarna merah marun pada sosok di sampingku. Ia menerimanya dan membuka perlahan.

“Jadi tiga minggu lagi ya?” desahnya.
“Seharusnya.”
Kudengar helaan napas beratnya.
“Undangan yang terlanjur dicetak tak mungkin bisa dibatalkan bukan?” ujarku mengulum senyum. Mustahil ia tak tahu ada kepalsuan di balik lengkung bibirku.
“Maafkan aku.” tersirat sesal dalam ucapannya.
“Tak apalah. Lagipula lima ratus lembar undangan itu akan segera masuk pasar loak. Siapa tahu bisa didaur ulang. Seperti cinta.”

Kuluruskan pandanganku ke depan. Menerawang di kejauhan langit lepas. Bias jingga mulai terlihat. Kurasa sebentar lagi bumi akan bergeser. Dari sudut mataku dapat kulihat ia menoleh menatapku.
“Maafkan aku.” ia mengulang kembali kata-katanya.
“Boleh kuminta kembali undangannya? Kau tak ingin menyimpan itu bukan?” pintaku, tanpa menghiraukan permintaan maafnya. Lelaki itu bergerak menyerahkan kembali kertas merah marun itu padaku. Posisinya yang masih terbuka membuat mataku bisa menangkap jelas tulisan yang terpahat di dalamnya. Lugas, namun terkesan elegan. Adakah sepercik cinta yang ikut terpatri di situ? Entahlah berapa puluh atau bahkan ratus kali aku menatap nama itu. Namaku. Dan nama calon pengantinku. Andai ia tak pernah sekukuh itu membatalkan pernikahan yang sudah di depan mata.

“Jangan memintaku menemuimu lagi, Mas. Apalagi di tempat ini…” rasa nyeri semakin menusuk sendi-sendiku. Aku bangkit. Menatap lelaki itu. Bibirku bergetar namun aku tetap harus berucap.
“Ini senja terakhir kita.”
Nara…
Nara…
Nara…
“Bangun… pemalas!”
Aku langsung terduduk begitu sebuah bantal mendarat di wajahku. Kulihat sorot mata tajam menatapku. Hei, bagaimana bisa dia sembarangan masuk kemari?
“Mas Jendra kenapa tidak ketuk pintu? Ini kamar perempuan!” seruku sambil menarik selimut sampai batas leher. Aku tak ingin dia melihat bahuku yang setengah terbuka.
“Ditunggu sarapan. Ayah mau bicara.” ucapnya lalu berbalik, tanpa menghiraukan protesku tadi.
Mendadak aku teringat sesuatu. Dahiku mengernyit.

“Tunggu!”
“Kenapa lagi?” tanyanya tanpa membalikkan badan.
“Tadi Mas memanggilku Nara?” tanyaku.
“Kapan?”
“Waktu membangunkanku.”
Dia terkekeh. “Kamu pernah dengar aku memanggilmu begitu?”
“Tidak.” Aku menggeleng pelan. Mataku masih menatap punggungnya.
“Mungkin kamu mimpi.” sahutnya sebelum berlalu.

Namun aku yakin mendengar suara yang setengah berbisik memanggil nama itu dan ditujukan untukku. Tapi namaku Kinar, bukan Nara, dan bukan juga Kinara. Hanya Kinar. Mungkin benar kata Mas Jendra, aku cuma mimpi. Selepas peristiwa itu aku memang sering mimpi aneh.

“Kinar…!! Lama!!!”
Teriakan Mas Jendra mengagetkanku. Aku langsung bangkit. Dalam hitungan detik aku sudah duduk manis di meja makan di mana ayah, ibu, dan Mas Jendra menunggu.
“Bagas mana?” tanyaku.
“Sudah berangkat kuliah. Bisa telat kalau harus nunggu kamu.” jawab Ibu.
“Maaf, Bu.” ucapku tak enak.
“Kita sarapan dulu baru bicara.”

Aku menggangguk dan mulai menyuapkan nasi goreng ke mulutku. Kulihat Mas Jendra sesekali melirikku dengan menahan senyum. Kuperhatikan diriku, adakah yang aneh? Sepertinya tidak, kecuali… mungkinkah ada iler yang masih menempel di mulutku mengingat aku tadi tak sempat cuci muka

“Kinar, sudah saatnya kamu memikirkan untuk kembali bekerja. Jangan hanya karena masalah kemarin, kamu terus menutup diri.”
Perkataan ayah membuatku tak enak sendiri. Aku tahu pasti orangtuaku sedih melihatku. Sekitar dua bulan ini aku memang lebih banyak mengurung diri di kamar, tidak pernah mau keluar rumah. Aku malu bertemu orang lain. Apalagi mereka yang tahu perihal batalnya pernikahanku yang sudah di depan mata. Aku memilih resign dari pekerjaan. Aku lebih sering bergelung dengan kasur dan bantal. Apakah aku patah hati? Tidak tahu. Yang pasti aku sangat kecewa pada laki-laki itu.

“Aku perlu asisten kalau kamu mau. Seruni cuti melahirkan sampai tiga bulan ke depan.” ujar Mas Jendra.
“Kalau Seruni datang lagi terus aku harus hengkang gitu?” aku mendadak sebal.
Lelaki itu tersenyum. “Kalau Seruni datang ya kamu bisa bantu-bantu yang lain. Lagipula belum pasti juga, kemungkinan suaminya akan pindah tugas di luar pulau dan Seruni mungkin saja ikut. Jadi kamu bisa tetap jadi asistenku.”
“Nggak enak banget jadi cadangan.” aku mengerucutkan bibir dan mulai mengangkat piring-piring kotor ke dapur.
“Aku akan bantu kamu melewati semuanya.” katanya berbisik sambil mencuci tangannya.

Akhirnya… sudah sebulanan ini aku bergabung di Biro Konsultan Hukum Rajendra-Kemal dan rekan. Lumayanlah, aku kembali bisa bersosialisasi dengan lingkungan. Teman-teman Mas Jendra dan Mas Kemal tak banyak yang menyinggung kehidupan pribadiku, sehingga aku bisa lebih nyaman berada di tempat ini. Mas Jendra sendiri mengajariku banyak hal. Di balik sikap tegasnya ternyata dia sepupu yang baik. Padahal selama ini walaupun kami tinggal serumah sejak kecil, dia terkesan tak pernah peduli padaku, bahkan ketika pernikahanku batal sekalipun.

Mas Jendra adalah anak dari kakak ibuku. Usia kami terpaut lima tahun. Orangtuanya meninggal karena kecelakaan saat usianya sepuluh tahun. Semenjak saat itu kami tinggal bersama. Dia pun memanggil orangtuaku dengan sebutan Ayah dan Ibu.

“Mas, hari ini aku nggak pulang bareng ya. Mau jalan-jalan dulu.”
“Ke mana? Tidak bisa kalau dengan aku saja?”
Aku menggeleng walau aku tahu dia tak melihatnya. Mungkin karena aku tak bersuara, dia menghentikan pekerjaannya dan menatapku.
Aku yang paham dengan tatapannya segera menjawab. “Aku sedang ingin sendiri.”
Kulihat kerutan di dahinya. Ah, kenapa justru itu yang keluar dari mulutku?
“Maksudku… ini urusan perempuan.” sahutku sebelum dia bertanya lagi.
“Sendirian?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Tidak lama kok. Aku nggak akan pulang malam-malam.”
“Ya sudah. Nanti kalau kemalaman hubungi aku. Jangan naik taksi, aku jemput saja.”
Aku tersenyum mengiyakan. Kupikir tadi dia akan bertanya panjang lebar mengingat kemarin aku mendengarnya bicara dengan Ayah, dan Ayah memintanya untuk lebih ekstra menjagaku.
Dan di sinilah aku. Danau. Kulirik arlojiku, pukul tujuh belas empat puluh menit. Di sebelah barat, matahari mulai turun dan semburat jingga menampakkan wujudnya. Sama seperti empat bulan lalu ketika aku datang ke tempat ini.
“Kinar…”
Aku berbalik mendengar suara itu. Tubuhku menegang.
“Aku tak tahu kalau ternyata kamu masih kemari.”
Dia melangkah menjajariku. Lelaki itu. Rayi. Lelaki yang telah menorehkan luka empat bulan lalu. Aku memaksakan senyumku.
“Ini tempat umum kan.” jawabku masih menatap lurus ke danau.

“Apa kamu membenciku?”
“Benci… aku tidak bisa menyimpulkannya. Tapi kalau kamu bertanya apa aku sakit hati, jawabannya adalah ya. Aku kecewa, lelaki dewasa sepertimu berpikiran picik. Ikatan itu bukan untuk dipermainkan sesuka keinginan. Kalau tidak yakin, seharusnya dari awal kamu pertimbangkan dulu. Lihat sendiri akibat keegoisan kamu, bukan tentang aku dan kamu, tapi hubungan antar keluarga kita.”
Lelaki itu terdiam. Aku sendiri tak tahu bagaimana bisa aku mengeluarkan uneg-uneg yang selama beberapa bulan ini kupendam.

“Apa kamu …”
“Tidak.” potongku.
“Kalau kamu mau tanya apa aku punya perasaan lebih padamu, jawabannya tidak. Sekali lagi kutekankan ini bukan tentang aku dan kamu saja, Mas. Kamu menyakiti perasaan orang-orang yang menyayangi kita.”
Aku tersentak saat dia membalikkan badanku ke hadapannya. Bahuku dicengkeramnya kuat walau aku berusaha mengelak.
“Apa bisa kamu menjalani pernikahan tanpa cinta, Kinar? Aku memikirkanmu. Aku tak ingin kamu menderita menikahi lelaki sepertiku.”
“Setidaknya aku berusaha memahami, ikatan bukan harus selalu bicara tentang cinta. Tapi sudahlah…” kulepaskan tangannya dari bahuku.
“Aku hanya ingin minta maaf.” desahnya.
“Kamu sudah berulang kali mengatakannya.”
“Tapi kamu tidak pernah sekali pun membalasnya. Aku baru mengerti walau kamu tidak mencintaiku, tapi tetap saja aku menyakitimu dan telah mempermalukan harga dirimu. Pantas saja dia menghajarku habis-habisan.”
Aku mengernyitkan dahi. Dia? Menghajar?
“Maksudmu..?”
“Kamu beruntung punya kakak sepertinya.”
Kakak? Ya Tuhan… Mas Jendra?

Nara.
Nara…
Nara…
Kau lihat senja di sana? Selepas senja, aku akan membuatnya berwarna untukmu…
Merah.
Kuning.
Hijau.
Hah!! Aku terduduk seketika. Napasku terengah-engah. Mimpi itu. Senja di danau. Suara lelaki yang sepertinya tak asing. Kuraih gelas air putih di nakas dan langsung meneguknya cepat. Mendadak aku teringat peristiwa di danau beberapa hari lalu dan… Rayi.
“Mimpi buruk?”
Mataku terbelalak melihat sosok yang tengah bersedekap sambil tersenyum.
“Mas Jendra!!! Jangan sembarangan masuk kamarku!”

“Jangan temui lelaki itu lagi. Apalagi menatap senja bersamanya.”
Suara itu menyadarkanku dari lamunan. Spontan aku menoleh padanya. Bagaimana dia bisa tahu?
“Mas mengikutiku?” tanyaku menuntut penjelasan.
“Aku tidak bisa tenang kalau kamu tidak baik-baik saja.” jawabnya masih fokus menyetir.
“Aku baik-baik saja.”
“Matamu bicara lain. Jangan katakan kamu masih memikirkan pengecut itu.” kudengar nada penuh ketidaksukaan dalam kalimatnya.
Aku menggigit bibir. Ada hal yang sangat ingin kutanyakan padanya namun aku ragu.

“Mas… kenapa Mas Jendra harus menghajarnya?” tanyaku hati-hati.
Lelaki itu terdiam. Aku hampir menelan kembali rasa keingintahuanku ketika kurasakan mobilnya menepi. Mas Jendra mematikan mesin mobilnya lalu menatapku.
“Apakah perlu kujelaskan alasannya?”
Entah kenapa aku justru diam walau sebenarnya aku ingin penjelasannya.
“Percayakah kamu adanya pelangi setelah matahari terbenam?”
Aku mengernyit tak mengerti.
“Pelangi…?”
Mana mungkin? Pelangi ada karena sinar matahari. Mana ada pelangi di malam hari?
“Merah… kuning… hijau…”

Aku seketika menutup mulut dengan tanganku. Tiba-tiba saja aku mengerti sesuatu.
Kuhempaskan tubuhku ke jok mobil. Masih bisa kudengar helaan nafas di sampingku.
“Itu bukan mimpi, Kinar. Itu bisikanku di telingamu.”
Pantas saja rasanya seperti nyata.
“Aku tak tahu apa ini bisa dibenarkan karena biar bagaimanapun di tubuh kita masih mengalir darah yang sama.”
Aku terkejut saat Mas Jendra meraih tanganku dan memasangkan sebuah gelang perak di pergelanganku.
“Nar…ra…” ejaku membaca tulisan yang terpahat di sana. Narra. Double R.
“…Kinar… Rajendra…” lirihku.
Lelaki itu hanya tersenyum samar.

“Biarkan takdir yang menuntun kita. Namun satu hal, aku akan berusaha selalu memberikan warna berbeda di harimu.”
“Seperti pelangi? Mejikuhibiniu?”
Mas Jendra tertawa kecil. Kembali menghidupkan mesin mobilnya.
Aku tersenyum mengusap pergelangan tanganku.

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.13
JST 0.029
BTC 57328.77
ETH 3111.24
USDT 1.00
SBD 2.42