Ketika Pilihanmu Tak Berpihak

in #story6 years ago

Hidup adalah pilihan…
Aku mengatakan itu omong kosong. Bagai mana tidak, aku bahkan tak bisa memilih hidup dengan orang yang aku cintai. Aku tak ingin hidup dengan lelaki yang tak masuk kriteriaku. Lelaki yang aku ingin adalah lelaki yang bisa membimbing aku dan anak-anakku kelak.

Hujan di luar semakin deras, begitu juga dengan pikiranku yang semakin deras mengingat kenangan lama tentang seseorang yang aku harap bisa menjadi imanku.

Makassar tujuh tahun yang lalu.
Aku kuliah di salah satu Universitas ternama di makassar. Semester akhir aku dikenalkan pada sosok lelaki oleh sahabatku. Dia satu kampus denganku tapi berbeda jurusan. Aku jurusan Farmasi sedangkan dia Pendidikan Agama. Semenjak kami berkenalan kami sering bertemu dan jalan berdua. Dia lelaki yang sangat baik di antara lelaki yang pernah aku kenal.
Dia selalu membantuku jika aku dalam kesulitan. Tak jarang pula dia membantuku dalam menyelesaikan tugas-tugas kuliahku. Maklum, dia salah satu mahasiswa berprestasi di kampus. Semakin hari aku semakin dekat dengan dia. Siapa wanita yang tak ingin lelaki pintar tampan dan yang paling penting dia amat sangat baik. Aku mulai tertarik dengan lelaki itu. Ingin aku mengatakan apa yang aku rasa. Tapi itu tak mungkin. Aku seorang wanita mana mungkin aku dulu yang mulai mengngungkapkan perasaan.

Tapi sayang, dia hanya menganggap aku sebagai sahabat. Setelah aku telusuri mengapa dia tak ingin berpacaran. Aku mendapat kabar jika dia baru saja ditinggal nikah oleh kekasihnya. Sedih banget ya.

Dia pun sering curhat padaku tentang bagaimana terpuruk dan kecewanya dia. Dia seorang lelaki yang setia, ia tak akan menduakan cinta yang ia punya. Aku semakin kagum padanya.

Hari kembali berlalu semakin cepat.
Aku semakin kerap bersamanya, kami sama-sama mengerjakan skripsi. Lagi-lagi ia banyak membantuku. Meski jurusanku berbeda dengannya tapi dia banyak tahu tentang dunia Farmasi. Aku tak tahu apa isi otaknya sehingga begitu jeniusnya. Atau memang aku yang tidak pintar. Bodoh.

Setelah dua bulan instens mengerjakan skripsi bersama. Aku tak tahu, mengapa tiba-tiba ia mengungkapkan isi hatinya padaku. Awalnya aku tak percaya dengan apa yang ia ucapkan. Karena semenjak aku tahu dia ditinggal nikah oleh kekasihnya apa lagi ia bukan tipe laki-laki yang mudah tergoda. Aku tak begitu berharap lagi padanya. Aku kira cinta ini hanya bertepuk sebelah tangan.
Tapi ia selalu meyakinkanku dengan kalimat-kalimat indahnya. Ia selalu memberitahuku hal-hal positif. Hingga akhirnya aku pun menerima cintanya. Kami berpacaran.

Akhirnya aku dan dia sama-sama diwisuda. Saat itu aku bahagia bercampur kesedihan. Bahagia karena bisa menyelesaikan kuliah dan membanggakan orangtua. Namun, rasa sedih itu lebih besar ketimbang bahagia. Betapa tidak. Dengan diwisudanya kami, maka saat itu pulalah aku harus menjalani hubungan jarak jauh. Aku harus kembali ke Sulawesi selatan, Palopo. Sedangkan dia harus melanjutkan studynya ke Malaysia.

Sejak saat itu aku sangat sedih, harus berpisah dengan orang yang aku sayang. Namun, yang membuat hatiku sedikit lega adalah nasehatnya yang mempu meneguhkan hati. Bahwa semuanya akan baik-baik saja selagi kami saling percaya dan saling setia.

Di Palopo aku diterima kerja pada salah satu rumah sakit swasta. Begitupun dia, dia diterima di kampus yang sangat ia impi-impikan. Meski jarak jauh kami sering komunikasi dan telepon. Semua yang dikatakannya benar. Tak ada satu masalahpun yang terjadi. Aku meneguhkan hati untuk tak tergoda oleh lelaki lain. Begitupun dengan dia.

Dua tahun waktu yang tak terasa kami jalani. Akhirnya ia selesai dengan studynya. Ia kembali ke kampung halaman. Namun, kembali ke kampung halaman bukanlah kampung yang sama. Ia masih sangat jauh dari kampungku. Wakatobi, salah satu kota di sulawesi tenggara. Kami masih menjalin hubungan jarak jauh.

Pernah sekali ia menghampiriku ke sulawesi selatan, Palopo rumahku. Aku kenalkan ia pada kedua orangtuaku. Namun, inilah awal keretakan hubungan kami. Sebuah hubungan yang sudah kami jalani bertahun-tahun. Harus pupus karena tak direstui orangtuaku.

Tapi kami tak menyerah begitu saja. Kami tetap menjalin hubungan kasih. Setelah kembali ke Wakatobi, ia berhenti bekerja. Aku sangat marah dengan keputusan yang dia ambil. Aku tanya alasan dia hanya menjawab singat, ‘Sayang aku gak mau kerja yang terikat begini, aku ingin kerja bebas’ aku tak tahu apa yang dia maksud. Mungkin ia tak bisa bekerja dengan waktu yang terkekang. Tapi semua itu aku serahkan padanya. Aku yakin dia akan berjuang untuk masa depannya.

Setelah mama tahu bahwa aku masih menjalin hubungan dengan kekasihku. Mamaku mulai sering menjodohkan aku. Tapi setiap ada yang datang ke rumah untuk melamar selalu aku tolak. Aku tak ingin dijodohkan. Aku hanya ingin menikah dengan lelaki yang aku cintai.
Semenjak itu aku selalu cerita padanya jika aku dijodohkan dengan orang lain. Aku kira dia akan termotivasi untuk segera mendapat kerja kembali, dan bisa memboyong aku ke pelaminan. Tapi aku salah. Ia justru berubah. Ia seperti menghindar dariku, pantas saja itu menyulut pertengkaran di antara kami.

Akhirnya hal yang tak pernah aku duga sama sekali keluar dari mulutnya.
‘Sayang jika memang kita tak berjodoh aku ikhlas. Percuma semua ini dipertahankan. Orangtuamu tak setuju kau aku boyong ke kampung halamanku, sedangkan aku tak mungkin lagi meninggalkan kedua orangtuaku yang sudah tua, carilah lelaki lain untuk menjadi pendamping hidupmu. Insya Allah aku ikhlas’.

Kalimat itu. Kalimat terakhir kalinya aku mendengar suaranya. Aku masih tak percaya dengan semua ini. hubungan yang aku jaga bertahun-tahun, harus sirna begitu saja. Sungguh menyakitkan. Kata-kata yang ia ucapkan dulu, ‘Aku akan selalu bersamamu’, kini hanya tinggal kenangan.

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.13
JST 0.029
BTC 57653.41
ETH 3122.86
USDT 1.00
SBD 2.41