The Diary Game (Selasa, 1 Juni 2021) Ketika Ibu-Ibu Tak Mau Diganggu

Ketika sahabat sekaligus saudara yang terpisah belasan tahun kembali bertemu, ribuan cerita dan nostalgia dari fragmen kehidupan akan mengalir deras. Seolah kembali kepada masa lalu, penuh galak tawa dan canda. Keceriaan masa lalu perlu dikenang untuk menghadirkan romansa ceria.

Begitulah yang terjadi kemarin, Senin, 31 Mei 2021 pada orang rumah. Ibu dari dua anak saya, pagi-pagi betul menghubungi kakak sepupunya yang tiba di Banda Aceh setelah belasan tahun tak jumpa. Ini sebenarnya pertemuan kedua, setelah pertemuan sebelumnya bulan lalu yang hanya sesaat saja. Ia belum sempat ketawa-ketiwi bersama, apa lagi berkisah tentang masa lalu.

Di ujung telepon sana, kakak sepupu istri yang nginap di rumah adiknya kasih kabar. Mereka janji ketemuan, tapi waktu belum jelas, tunggu adiknya kasih info. Intinya, mereka bertiga akan ketemuan. Kata orang rumah “Perlu Me Time.” Jadi, saya dan anak-anak ngalah dulu deh. He…he..he…

Trio Kwek Kwek lagi Me Time [foto: dokumen pribadi]

Tak lama kemudian telepon selular istri kembali berdering, dari pembicaraan yang sempat kudengar, kemungkinan runian tiga perempuan bersaudara itu gak jadi, karena Banda Aceh diselimuti mendung dan angin kencang.

Tapi ternyata, meski hujan rintik-rintik, itu bukan masalah bagi sebuah pertemuan. Keputusan sudah klop. Saya harus mengantar istri ke rumah sepupunya. Di sana dua bersaudara sudah menunggu, dari sana mereka akan “gerilya” mencari tempat yang cocok untuk nongkrong.

Awalnya memang sudah disepakati dua alternatif nama café yang sudah sangat familiar di Kota Banda Aceh. Sudah setuju ke situ, tapi timbul keraguan pada istri saya, pandemi coronavirus disease 2019 alias Covid-19 telah membuat Pemerintah Kota Banda Aceh menutup dan mensegel sejumlah café dan warung kopi. Khawatir tempat yang sudah disepakati itu sudah disegel, maka diputuskan untuk kumpul dulu di rumah, dari sana nanti akan dicari tempat yang cocok.

Sebagai sopir, saya mengiyakan saja. Anak perempuan saya yang pertama tinggal di rumah, bermain bersama anak tetangga. Anak saya yang kedua ikut saya mengantar uminya ke rumah sepupunya.

Banyak cerita nostalgia setelah belasan tahun tak jumpa [Foto: dokumen pribadi]

Dalam perjalanan dari ujung timur ke ujung barat kota Banda Aceh itu, istri bercerita, ketika kuliah di Medan, Sumatera Utara, saat liburan ia sering pulang ke rumah adik ibunya di Pangkalan Brandan, di sana ia banyak melewati hari-hari dengan kedua sepupunya itu. Kisah keceriaan masa gadis dulu di Pangkalan Branda itu pula yang akan menjadi bahan nostalgia mereka.

Mereka sering nongkrong bersama, belanja bersama, pergi tarawih bersama, bahkan digoda oleh orang-orang yang sama para karyawan muda Pertamina yang sering ke rumah untuk menjumpai ayah dari sepupu istri yang kebetulan staf di Pertamina Pangkalan Brandan kala itu. Tapi setelah sama-sama berkeluarga, mereka berpisah hingga belasan tahun. Kini di usia yang sudah kepala empat mereka kembali ha..hi..hi.. seakan masih seperti gadis dulu ketika di Pangkalan Brandan.

Benar saja, ketika saya sampai di sana, kedua sepupu istri saya itu sudah siap untuk bergerak. Tugas saya selanjutnya tinggal mencari tempat yang cocok untuk mereka santai. Mereka kemudian memutuskan nongkrong di sebuah café yang ada surabinya di kawasan Uleelheu.

Sementara saya, balik lagi ke rumah adik sepupu istri saya, kebetulan suaminya juga kawan saya waktu kuliah, kami yang juga tak mau kalah dengan ibu-ibu, kemudian mencari warung kopi untuk nongkrong, tak jauh dari tempat trio kwek-kwek itu berbagi cerita masa lalu. Begitulah ketika para ibu-ibu tak mau diganggu, nongkrong pun harus beda tempat. Ada..ada saja.