Perang Frontal di Pangkalan Lhoknga dan Serangkaian Serangan Belanda ke Aceh

in #story5 years ago

Belanda berulang kami mencoba masuk ke Aceh, serangan-serangan besar dan frontal diakukan dengan kapal perang dan pesawat pengebom, tapi selalu gagal. Salah satu perang frontal itu adalah perang di Pangkalan Lhoknga.

Serangan frontal Belanda ke Lhoknga terjadi pada 26 Januari 1949. Hari itu pagi-pagi betul Komandan Kota Banda Aceh membunyikan sirine tanda bahaya perang, pada saat yang sama lonceng cakra donya di rumah Aceh dibunyikan, suaranya menggema hingga ke Aceh Besar. Lonceng raksasa ini merupakan peninggalan Kerajaan Aceh hadiah dari Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok.

Tanda bahaya melalui sireine dan lonceng cakra donya itu dibunyikan setelah pesawat Belanda muncul dan menyerang kawasan Lhoknga, Aceh Besar. Pangkalan Lhoknga merupakan basis pertahanan terakhir Republik Indonesia di Sumatera, setelah daerah lainya di luar Aceh berhasil diduduki Belanda melalui agresi kedua.

meriam lhoknga.jpg
Meriam Penangkis Serangan Udara di Pangkalan Lhoknga Sumber

Hari itu, 26 Januari 1949 pangkalan Lhoknga diserang pesawat tempur Belanda. Pesisir pantai Lhoknga dibom. Menurut juru bicara TNI Divisi X Komando Sumatera, serangan Belanda dimulai pada pukul 11.00 waktu Aceh, sebuah kapal perang Belanda jenis Jager (pemburu) melepaskan tembakan membabi buta dengan meriam ke pantai Lhoknga.

Dalam serangan dari laut selama tiga jam itu, tak kurang dari 100 peluru meriam ditembakkan Belanda ke daratan Aceh. Serangan-serangan tersebut dibalas oleh pejuang Aceh dengan tembakan meriam-meriam pantai. Mendapat perlawanan sengit dari pejuang Aceh, pada pukul 14.00 waktu Aceh, Belanda mendatangkan lagi satu kapal perang untuk memperkuat serangan mereka ke Lhoknga.

Ketika kapal bantuan itu tiba di perairan Lhoknga, pertempuran bertambah sengit. Beberapa tembakan meriam batery pejuang Aceh mengenai sasaran, sehingga kedua kapal perang Belanda itu meninggalkan perairan Lhoknga dan berlindung di Pulau Rusa, sekitar enam mil dari pantai Lhoknga. Tak ada korban jiwa dari pejuang Aceh saat perang berlangsung, kecuali sebuah lembu penduduk yang tertembak peluru Belanda.

Brandan dibakar.jpg
Pembakaran Pangkalan Brandan Sumber

Bukan hanya melalui serangan laut dan udara saja, Belanda juga ingin masuk ke Aceh melalui jalan darat, yaitu melalui perbatasan Aceh dengan Sumatera Timur. Untuk tujuan menyerang Aceh, pada 2 Januari 1949, Belanda melakukan pemusatan pasukannya di Tanjung Pura.

Hari itu juga angkatan perang Divisi X dari Aceh disiapkan untuk menghalau Belanda masuk ke Aceh melalui Pangkalan Brandan. Pada hari yang sama 2 Januari 1949, Juru Bicara TNI Divisi X Komando Sumatera juga mengumumkan terjadinya perang di front tanah Karo dengan militer Belanda yang mencoba masuk ke perbatasan Aceh. Sebuah kenderaan bermotor militer Belanda hancur kena ranjau, tiga serdadu Belanda tewas seketika.

Dua hari kemudian, 4 Januari 1949 pukul 04.30 waktu Sumatera Timur, perang kembali terjadi, pejuang republik di tanah Karo menggempur bivak-bivak militer Belanda, 22 tentara Belanda tewas, empat tentara luka ringan, empat kenderaan militer Belanda hancur. Sementara dipihak pejuang republik dua orang gugur, satu orang ditangkap Belanda, dua orang luka berat, empat orang luka ringan.

Sehari kemudian, 5 Januari 1949, militer Belanda mulai mengalami kekalahan di perbatasan Aceh. Panglima Tentara Belanda di Indonesia, Letnan Jendral Spoor mengumumkan gecatan senjata secara sepihak melalui radio Belanda. Namun hal itu tak digubris oleh para pejuang republik.

Semangat Merdeka edisi Istimewa.jpg
Surat Kabar Semangat Merdeka edisi istimewa, koran perjuangan terbit di Banda Aceh Sumber

Selanjutnya pada 6 Januari 1949, berita gencatan senjata itu dibantah oleh bagian Penerangan TNI Divisi X yang menjelaskan bahwa Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) tidak mengeluarkan sesuatu pun tentang penghentian tembak menembak, karena itu perang terus berlanjut di perbatasan Aceh dengan Sumatera Timur.

Pada hari yang sama Panglima Tentara Teritorial Sumatera, Kolonel Hidajat memerintahkan para pejuang untuk melakukan perlawanan totaliter, bumi hangus dan gerilya offensif. Karena itu pula pasukan dari Aceh kemudian melakukan pembakaran Pangkalan Minyak Brandan agar tidak diduduki Belanda.

Sehari kemudian, pada subuh 7 Januari 1949, kapal perang Belanda menyerang perairan Lhokseumawe. Mereka menembakkan meriam dari laut, dua orang penduduk tewas, tiga orang luka berat, seorang tentara luka ringan terkena serpihan peluru. Gagal melalui serangan darat dan laut, pada 9 Januari 1949, Belanda kembali menyerang Lhokseumawe dengan pesawat tempur, namun setelah ditembaki dengan meriam penangkis serangan udara, pesawat pengebom milik militer Belanda itu terbang ke arah laut.

Empat hari setelah itu, yakni 13 Januari 1949, pesawat tempur Belanda model Catalina dan Bomber, melakukan provokasi terbang rendah dan menukik di udara Banda Aceh hingga ke Aceh Utara. Sekitar pukul 10.45 pesawat tersebut menembaki kereta api (lokomotif) yang sedang berjalan di rel antara Peudada dan Cot Lureng. Dari beberapa kali tembakan yang dilakukan pesawat Belanda tersebut, hanya satu yang mengenai badan kereta api, tapi tidak menimbulkan korban jiwa.

Coin Marketplace

STEEM 0.31
TRX 0.12
JST 0.033
BTC 64605.91
ETH 3159.61
USDT 1.00
SBD 4.11