Pantun Kasmaran Gam Peureukuek dan Rabumah

Gam Peureukuek dan Rabumah dua sejoli yang sering berbalas pantun cinta. Kasmarannya mereka membawa berkah bagi Nyak Kaoey selaku penulis pantun balasan dalam surat menyurat itu.

Jaman Nyak Kaoey muda dulu, berbalas pantun cinta merupakan hal paling indah, baik melalui surat maupun secara langsung. Nyak Kaoey sering mendapat order dari para pecinta yang kurang bisa merangkai kata. Sebuah surat cinta penuh pantun biasanya diganjar dengan sebungkus rokok dan segelas kopi.

Tapi ada kalanya juga berbalas pantun cinta itu menjadi konyol. Saat berbalas surat pantun berbunga-bunga penuh di setiap barisnya, tapi saat berjumpa mulut bagai terkunci tak mampu mengucapkannya.

Ini pernah dialami Gam Peureukuek, meski panton yang dibuat Nyak Kaoey sudah dihafalnya ju ek malo tapi tetap saja ketika berjumpa dengan Rabumah, kekasih hatinya itu ia jadi lupa segalanya. Dalam bahasa Gam Peureukuek, senyuman manis Rabumah yang lesung pipi itu membuat jantungnya berdebar-debar. ”Sigo jiseunyom sigantang lot bu kuh,” begitu katanya.

Apa lagi ketika Rabumah duduk berdampingan dalam remang malam di bawah rumah panggung dengan Gam Peureukuek. Saat Rabuman memulai pantun pembuka, *”Aneuek udeung u jilumpat-lumpat, aneuek udeueng wat jigisa-gisa, saboh bak cutlem neutem duek sapat, bak lon pih meuhat leupah that suka.”

Pantun itu sebenarnya sudah dibaca Gam Peureukuk dalam surat balasan Rabumah ketika ia mengajak kekasihnya jumpa untuk melepas rindu. Dan Nyak Kaoey pun sudah menulis balasan pantun itu “Aneuek cempala jipho meulayang, aneuek tek-tek wang jipho meugisa, adek lon gaseh kon wayang-wayang, buleuen ngon bintang lon boh keu tanda.”

Pantun balasan itu sengaja dibuat Nyak Kaoey dengan sedikit rasa gombal, tapi tetap saja Gam Peureukuek lupa bait-baitnya. Hingga perjumpaan mereka malam itu tak seromantis isi surat menyuratnya. Tapi Gam Peureukuek tak habis akal, berbekal korek yang selalu dibawanya untuk membakar rokok, ia berhasil juga membaca pantun yang ditulis Nyak Kaoey itu.

Setelah mendengar balasan pantun Gam Peureukuek yang terbata-bata itu, Rabumah dengan senyum simpulnya dalam remang malam melanjutkan, ”Aseh-aseh timoh dalam blang, daruet canggang lam pade dara, diteungku gaseh dilon pih sayang, na nyum bek leukang siumu masa.”

Bertambah bedebar hati Gam Peureukuek mendengar itu. Ia tak menyangka Rabumah kekasihnya itu sangat pandai merangkai kata. Sekuat tenaga ia berusaha untuk membalasnya, ia tak lagi peduli pada kertas surat yang berisi pantun bikinan Nyak Kaoey.

Bagai mendapat ilham, dalam sekejap ia pun membalasnya, *”siwah ngon tiyong di cong peulangan, pajoh makanan boh kayee muda, beukah mangkok lon gantoe pingan, dilon laen han kaseb ngon gata.” Lalu keduanya pun tertawa cekikikan dalam remang malam di bawah rumah panggung itu.

Tapi gombanya Gam Peureukuek dalam pantunnya itu dianggap Rabuman hanya sebagai guyonan semata, ia pun melanjutkan pantunnya meminta agar ucapan Gam Peureukuk itu tidak berubah, ”Bak beururu di gle Beurandeh, bak bunot meujen di teungoh rimba, uroe nyoe meunoe singoh bek meudeh, kasad lam baten bek meutuka.”

Gam Peureukuek mengiyakannya. Untuk menepis keraguan Rabumah, ia berkata, ”Takoh trieng tulo ketawo boh pik, tabri lon tijik dua lhee raga, dilee muda kon sampoe an ka chik, meutingkue tijik dilon ngon gata.” Begitulah kisah cinta Gam Peureukuek dengan Rabumah. Setiap berjumpa berduaan selalu diawali dengan berbalas pantun untuk membuat suasana hati nyaman.[]

Foto bungan hanya sebagai pelengkap postingan [foto: ata droe]