Kisah Belanda Mengambalikan Ibu Kota Djokjakarta Kepada Pemerintah Republik Indonesia

in #story6 years ago

Rakyat Aceh menyambut dengan suka cita pengembalian Djokjakarta oleh Belanda kepada pemerintah Indonesia. Panitia Penolong Pemerintah Pusat dan Rakyat Djokjakarta (P4RD) Cabang Langsa mengadakan rapat raksasa untuk terus mendukung Djokjakarta.

Pada 6 Juli 1949 Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta tiba di Yogjakarta kembali dari tempat pengasingan di Pulau Bangka, Sumatera. Mereka diterbangkan ke Yogjakarta dengan pesawat terbang Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Indonesia.

Soekarno dan Hatta dijemput dengan dua mobil di lapangan terbang Maguwo dan dibawa ke istana negara di Djokjakarta. Mobil pertama membawa Presiden Soekarno didampingin Sri Sultan Hemangkubuwono IX, sementara mobil kedua membawa Wakil Presiden Muhammad Hatta didampingi Sri Paku Alam. Setibanya rombongan di istana negara Djokjakarta dinaikkan kembali bedera merah putih di depan istana.

soekarno and hatta return in yogya_foto_Repro_30 tahun indonesia merdeka.jpg
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta kembali ke Yogjakarta dari tempat pengasingan di Bangka dengan pesawat Komisi PBB Untuk Indonesia Sumber

Pengambilalihan Djokjakarta dari penguasaan Belanda kembali ke Republik Indonesia itu disambut meriah rakyat Aceh, di Langsa ibu kota Aceh Timur atas inisiatif Panitia Penolong Pemerintah Pusat dan Rakyat Djokjakarta (P4RD) dilakukan pengibaran bendera merah putih di kantor-kantor, rumah-rumah dan toko-toko. Di sepanjang jalan raya bergelantungan poster berisi semboyan: Bantulah, berkorbanlah untuk menunjang pembangunan ibu kota Djokjakarta.

Pukul 09.00 pagi sirine dibunyikan berbarengan dengan lonceng stasiun kereta api dan beduk di meunasah-meunasah di semua kampung dalam kota Langsa. Malamnya diadakan rapat raksasa yang dihadiri oleh puluhan ribu masyarakat.

Panitia Penolong Pemerintah Pusat dan Rakyat Djokjakarta Cabang Langsa yang juga Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Timur, Ismail Oesman menjelaskan bahwa Panitia Penolong Pemerintah Pusat dan Rakyat Djokjakarta adalah suatu badan milik bersama, bukan kepunyaan golongan kaum saudagar saja, meski badan tersebut dibentuk oleh para saudagar bersama pemerintah.

Bupati Aceh Timur T Maimun Habsjah, secara panjang lebar menguraikan keadaan tanah air saat-saat terakhir ini dan kedudukan Pemerintah Republik Indonesia. Sementara Komanda Resimen V TNI Divisi X TNI Muhammad Nazir menyerukan supaya angkatan perang dan rakyat terus memperkuat serangan gerilya untuk menekan Belanda, agar meningkatkan posisi delegasi Indonesia yang sedang mengelar perudingan dengan Belanda.

Pada saat yang sama Dr I Made Bagiastra selaku anggota Panitia Penolong Pemerintah Pusat dan Rakyat Djokjakarta Cabang Langsa menjelaskan tentang penderitaan rakyat Djokjakarta selama agresi militer Belanda. Ia menyerukan supaya rakyat Aceh khususnya di Langsa untuk mengiatkan pengumpulan dana bantuan.

Soekarno Hatta di Yogjakarta.jpg
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta di Yogjakarta Sumber

Rapat raksasa itu juga menghasilkan suatu resolusi yang berisi tiga poin. Resolusi tersebut bisa dibaca dalam buku Sekali Republiken Tetap Republiken halaman 173-174. Buku ini ditullis oleh Teuku Alibasjah Talsya, pelaku sejarah perjuangan kemerdekaan di Aceh. Isinya resolusi tersebut seperti kutipan di bawah ini.

Bahwa sebagai langkah yang pertama dari goodwill dan pernyataan baik dari Statement Roem-Royen, serta usaha menuju pemberesan yang lancar, hendaklah pihak Belanda bertindak pula di Sumatera dengan:

a. Mengembalika ibu kota Pemerintah Republik Indonesia di Sumatera, Bukittinggi ke tangan Pemerintah Republik Indonesia.
b. Mengosongkan daerah Keresidenan Sumatera Barat dari pemerintah dan tentara Belanda.
c. Setiap warga negara Indonesia tidak berhenti-hentinya menuntut penarikan tentara Belanda secepat-cepatnya dari seluruh Indonesia.

Meski Djokjakarta telah dikembalikan kepada Pemerintah Republik Indonesia, penggalangan dana dan bantuan untuk menyokong pemerintahan di Djokjakarta terus dilakukan di berbagai daerah di Aceh.

Di sisi lain, tentara-tentara dari Aceh terus memperkuat pertahanan di perbatasan Sumatera Timur untuk menekan militer Belanda agar tidak masuk ke Aceh, satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak bisa dimasuki militer Belanda pada agresi kedua.

Atas peran Aceh dalam masa-masa genting tersebut, Presiden Soekarno kemudian menggelar Aceh sebagai Daerah Modal Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia. Aceh juga kemudian dijuluki sebagai daerah istimewa bersama Djokjakarta.