Melihat Proses Produksi Garam Tradisional Secara Langsung

in #indonesia7 years ago

CIMG0149.JPG
Source

Mungkin sudah menjadi pertanyaan mendasar bagi orang awam yang sama sekali tidak mengetahui proses produksi garam tradisional. Pasti akan timbul sebuah pertanyaan bagaimanakah proses produksi garam berlangsung?.

Saya ingin sedikit membagikan pengalaman selama menjadi penyuluh perikanan dalam membina kelompok usaha garam rakyat di Kabupaten Aceh Besar. Proses produksi garam tradisional di kebanyakan daerah masih menggunakan metode tradisional yang diturunkan secara turun-temurun dari orang-orang tua dulu.

CIMG0156.JPG

Proses produksi secara tradisional ini ada dengan dua cara yaitu dengan metode penjemuran tanah dan penjemuran air. Metode penjemuran tanah masih dilakukan oleh petani-petani garam berskala kecil, sedangkan penjemuran air sudah dilakukan oleh petani garam yang sedikit lebih maju.

Dalam prosesnya metode penjemuran air lebih banyak menghasilkan garam dengan sedikit tenaga yang dikeluarkan daripada metode penjemuran tanah. Namun metode ini membutuhkan biaya produksi yang lebih besar.

Metode penjemuran tanah dimulai dengan penggarukan tanah atau pasir yang mengandung garam. Tanah ini dijemur selama kurang lebih 2 – 3 hari. Tanah yang sudah kering ini dikumpulkan kemudian dibentuk sepeti sumur (mount) atau ada beberapa yang menggunakan meja penirisan (ancak) seperti di Pidie.

IMG_20161129_102803.jpg

Sumur ini dibentuk seperti kawah gunung berapi yang dibawahnya sudah terlebih dahulu dilapisi daun kelapa sebagai penyaring air. air laut yang disiram ke mount ini mengalir ke alur kecil di bawah mount yang sudah terlebih dahulu dibuat dan di samping mount ini juga ada lubang kecil tempat penampungan air tua.

Kenapa dikatan air tua? karena air laut hasil penyaringan ini memiliki kadar garam yang lebih asin atau tinggi. Air tua ini diambil dengan menggunakan timba kemudian dimasukkan ke dalam bak penampungan.

IMG_20171030_133139.jpg

Air ini tidak langsung dimasak, namun harus didiamkan selama 1 – 2 hari agar debu-debu yang terdapat dalam air mengendap. Air tua yang sudah didiamkan ini kemudian direbus atau dimasak sampai menjadi butiran-butiran garam.

IMG_20171030_132706.jpg

Proses perebusan ini bisa sampai 4 – 6 jam lamanya. Garam hasil perebusan ini masih kurang bagus untuk dikonsumsi, garam ini harus ditiriskan terlebih dahulu sampai dia kering dan warnanya menjadi putih. Dalam sehari proses produksi yang dilakukan oleh petani garam bisa dua kali yaitu pada pagi dan siang hari.

IMG_20171030_135037.jpg

Produksi garam dari mereka ini biasanya dijual kepada pengepul (muge) dengan harga Rp. 4.500–8.000 per kilonya. Biasanya pengepul atau muge akan datang sehari atau dua hari sekali untuk mengambil garam.

Hal ini agak jauh berbeda dengan produksi garam yang sudah berskala besar dengan penjualannya sudah dikemas dan langsung dipasarkan ke toko-toko kelontong dengan harga bisa mencapai Rp. 10.000 per kilo.

IMG_20171030_135022.jpg

Proses produksi bisa dilakukan setiap hari tergantung cuacanya. Bila cuaca tidak mendukung maka petani tidak bisa menjemur tanah. Biasanya mereka sudah terlebih dahulu menyiapkan stock air tua di bak penampungan agar proses pemasakan garam bisa dilakukan setiap hari.

Hal yang sering menjadi dilema bagi petani garam ini adalah ketika tanah sudah dijemur selama dua hari kemudia tiba-tiba hujan. Akhirnya proses penjemuran tanah gagal dan harus memulai dari awal. Kalau kata mereka

Satu hal yang menjadi kesulitan mereka selama ini selain cuaca yaitu bahan baku kayu bakar untuk perebusan garam. Biasanya mereka membeli kayu seharga Rp. 1.000.000 per satu truk, kayu ini bisa digunakan untuk beberapa kali produksi.

Tapi bila sudah tidak ada kayu mereka biasanya berhenti produksi untuk sementara waktu atau menyiapkan air tua untuk penyimpanan.

Video pembuatan garam tradisional


demikianlah cerita singkat saya di hari ini, semoga bermanfaat untuk semua :)

Source

Sort:  

Indah ni Bg Zopan yg message di IG kmrn ya, yg ikot tanam pohon juga, hehe... Daerah mana tu persisnya? :)

Iya bg zopan..
Ini persisnya di daerah Baet, Baitussalam dan juga Lampanah, Seulimum :)

Oh Lampanah ya, iya Ab ada pergi ke sana hari itu sama rombongan WWF (World Wildlife Foundation).

Masih model penjemuran ya disana ?

Masih @agusstrdi, kebanyakan masih cara tradisonal.. cman beberapa saja yang sudah beralih jadi penjemuran tanah

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.15
JST 0.030
BTC 64876.28
ETH 2650.41
USDT 1.00
SBD 2.81