Penjelasan Azhari dan Empat Fakta tentang "Kura-Kura Berjanggut"

Jika Anda seorang penyuka sastra, Anda pasti tahu tentang novel "Kura-Kura Berjanggut". Novel ini sedang masyhur dalam dunia sastra, terutama di Aceh. Bukan karena novel ini ditulis oleh seorang pemuda Aceh, tetapi juga karena kualitas dan ketebalannya.

Pascaterbit novel Kura-Kura Berjanggut, banyak orang bertanya-tanya tentang proses kreatif Azhari menyelesaikan novel setebal 965 halaman tersebut. Ada pula yang bertanya, mengapa muncul istilah "kura-kura" ditambah pula "berjanggut".

Hari ini di aula Dinas Perpustakaan dan Arsip Aceh, Azhari si penulis Kura-Kura Berjanggut bercerita sekilas tentang novel yang baru terbit tersebut. Saya menyimpulkan empat fakta penting tentang "Kura-Kura Berjanggut"

Pertama, kura-kura berjanggut bukanlah kura-kura sesungguhnya. Ia hanya istilah bagi sekelompok perompak sekaligus pemburu/pembunuh yang hidup abad 15 silam. Para pembunuh ini ada beberapa kelompok. Mereka menguasai maritim di Aceh kala itu.

Kedua, novel ini diselesaikan selama lebih kurang 12 tahun (2006-2018). Tentu saja, Azhari tidak menulis setiap hari. Terkadang dalam setahun hanya selesai satu bab. Kadang hanya 10 halaman. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menghasilkan sebuah karya yang berkualitas, tidak harus memaksa cepat selesai.

Ketiga, novel ini berbeda dengan novel sejarah umumnya. Jika novel sejarah pada umumnya terlalu patuh pada "faktual" kesejarahan, novel ini sama sekali tidak demikian. Novel ini memberikan kebebasan pada semua tokoh di dalamnya untuk melakukan peristiwa sejarah.

Keempat, novel ini memberikan kebebasan kepada setiap pembaca untuk berspekulasi, menganalisis, hingga menyimpulkan cerita di dalamnya. Oleh karena itu, novel ini tidak dilengkapi dengan prolog, kata pengantar, epilog, dan tanpa endorsment.

Kelima, beli dan miliki novel ini sehingga Anda tidak menyesal di kemudian hari!

Salam literasi,
Herman RN