Hikayat Naga Sabang dan Dua Raksasa Seulawah (Cerita Rakyat Aceh) Bagian I
Tulisan ini semacam re-telling, menceritakan ulang dengan bahasa saya. Saya tulis untuk keikut-sertaan dalam sebuah ajang lomba yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beberapa tahun lampau. Saya ingat telah mengerahkan semua yang saya mampu untuk ini, bahkan rela mengeluarkan Rp. 1.750.000 untuk biaya pengiriman dokumen dari Antananarivo. Meski tulisan ini tak masuk dalam jajaran pemenang pilihan juri, tak ada sesal. Ada kenikmatan dalam menulis Hikayat Nanggroe!
Jika terdapat kesalahan atau kejanggalan di dalamnya, mohon jangan sungkan untuk menegur. Saya masih perlu banyak untuk belajar tentang hikayat juga cara menuliskannya.
Sumber gambar :
http://ahmadtian0902.blogspot.co.idAneuk muetuah!(1). Akan abu(2) ceritakan sebuah hikayat tentang tanah kita. Dengarkan baik-baik!. Said, abaikan suara ombak di luar yang terdengar menggerung memecah pantai, tunda sebentar keinginanmu untuk bermain di pasirnya yang halus. Meutia, abaikan dulu pukat berlubang yang harus kau jahit itu, masih bisa nanti kau kerjakan. Buka kedua telinga kalian karena cerita ini harus kalian pahami dan ceritakan kembali kepada anak cucu kalian nanti. Cerita ini tak boleh terputus. Karena ada isarat alam yang harus kita baca.
Ingatkah kalian anak-anakku, peristiwa maha bencana tahun 2004 lalu? Ketika ie beuna(3), air bah datang menghantam kota pesisir pantai? Itu bukan pertama kali terjadi. Ada cerita yang sama, pada masa yang telah lewat. Maha bencana itu pernah terjadi di tanah ini.
Dulu sekali, pulau Andalas belum lagi menyatu serupa bentuk sekarang. Segaris panjang selat sempit memisahkan kedua pulau itu menjadi dua kesultanan : Kesultanan Daru di bagian timur dan Kesultanan Alam di bagian barat. Di selat barisan itulah hidup seekor naga besar bernama Sabang. Iya Meutia kau tak salah dengar, namanya Sabang. Ia adalah seekor naga yang tak hanya gagah secara fisik namun juga berwibawa dengan karisma dan sikap bermartabat. Di atas kepalanya ia memiliki tonjolan serupa tanduk rusa yang kekuatannya mampu menghancurkan gunung batu, matanya berwarna merah namun pipih serupa mata kelinci yang akan membesar ketika ia marah ~yang adalah jarang terjadi~, daun telinganya serupa telinga banteng dan cakarnya... ah cakar itu serupa pedang bermata banyak baginya. Lebih tajam dari cakar harimau dengan kuku-kuku yang runcing, sekali garukan akan mampu melukai sangat dalam. Tubuhnya yang panjang serupa ular raksasa diselimuti oleh sisik-sisik keemasan, berkilau-kilau jika tertimpa cahaya. Tubuhnya adalah perpaduan keganasan dan keindahan secara bersamaan.
Ia biasa menyusup ke dalam selat, menyelam dan berenang di dalamnya. Badannya meliuk-liuk menghasilkan ombak yang menyapu pantai, menghantar ikan-ikan agar masuk ke pukat para nelayan. Lalu ia sesuka hatinya akan muncul ke permukaan dengan terbang tinggi di udara, menampakkan diri hingga ke penjuru pulau sambil mencipta hujan dengan titik-titik air yang dibawa tubuhnya. Air itu menyiram tanah subur para petani, memekarkan harapan mereka akan hasil panen yang melimpah.
Terkadang ia akan meninggalkan selat menuju lautan yang lebih luas, mencandai kapal para pedagang sambil menuntun mereka untuk berlabuh di dermaga Kesultanan Alam. Para pedagang yang datang dan pergi dari negeri-negeri yang jauh akan menyempatkan diri menyapa sang naga. Berbagi keluh dan kadang malah bercerita serius tentang masalah yang mereka hadapi di lautan.
Suatu pagi, ketika langit belum lagi terang sempurna, Sabang mendengar suara serune kalee(4) dari kejauhan, pelan menyapa telinganya, namun mendayu terburu dan terdengar putus asa. Naga Sabang mengangkat tubuhnya, matanya awas mencari sumber suara. Dari arah matahari terbit dengan sinar yang menyemburatkan merah, tampak sebuah kapal bergerak pelan, tertatih dengan lambung yang miring. Sementara di belakangnya beberapa kapal terlihat mengejar. Tentu hanya dalam hitungan menit kapal miring itu akan kandas atau tertangkap pengejarnya. Ia lalu melesat ke sana, mengirim ombak cepat untuk menggiring kapal miring itu ke perairan kesultanan Alam, sambil menghantamkan gelombang lain ke arah pengejar, mengusir kapal-kapal itu menjauh.
Ketika kapal pedagang itu berhasil berlabuh di dermaga Kesultanan Alam, kondisinya terlihat begitu memprihatinkan, tak lagi utuh. Tiang-tiang penyangga kapal telah patah, layar koyaknya tergeletak di lantai kayu dan bekas-bekas sabetan parang terlihat menggores badan hingga ke lambung kapal. Ada lubang dimana-mana. Bisa dipastikan jika mereka tak segera menepi kapal itu telah karam.
“Kami diserang perompak di Kesultanan Daru!” Lelaki dengan penutup kepala serupa topi dari kain tenun yang sepertinya berasal dari negeri Malaka itu bercerita dengan suara parau dan patah-patah. Semua kawannya di belakang, menunjukkan raut wajah tegang dan putus asa.
“Barang kami habis mereka jarah. Nyawa kamipun hampir melayang jika kami tak mengambil keputusan nekat melarikan diri dari giringan mereka ke arah perairan Daru. Yang kami punya hanyalah apa yang melekat di badan. Sekarang bagaimana kami bisa kembali ke negeri kami?. Kapal inipun tak lagi berguna.”
Sekitar mereka telah ramai orang datang untuk menolong. Membawakan pakaian dan makanan kepada para pelaut dan pedagang malang itu, juga mengobati luka-luka dan mendengarkan kisah mereka. Sultan Alam ada di antara mereka. Ia langsung meninggalkan singgasananya begitu diberitahu perihal kapal yang hampir karam itu.
“Tenanglah kalian, selama kalian berada di sini, kalian berada dalam perlindungaku.” Sultan Alam berusaha membesarkan hati mereka. “Adalah kewajiban kami melayani tamu. Kalian semua kujamu di istanaku, untuk memulihkan luka juga untuk memikirkan jalan keluar dari permasalahan kalian.”
Kemurahan hati Sultan Alam memang telah kerap mereka dengar. Ia memiliki hati emas, ah bukankah tanah ini juga disebut tanah emas(5)?
Sultan Alam lalu berdiskusi serius dengan Naga Sabang tentang perompak di Kesultanan Daru yang telah berulangkali berulah, mencegat pedagang-pedagang yang akan berniaga ke pelabuhan mereka. Sayangnya ia dan Sabang tak bisa membantu para pedagang merebut kembali barang meraka yang dijarah. Mereka tak mungkin masuk ke wilayah Kesultanan Daru karena hubungan kedua kesultanan yang tak harmonis. Ada ketegangan di antara mereka bertahun-tahun sudah. Mereka tak hendak memancing kekacauan lebih besar dengan datang kesana. Sultan Alam pun hanya bisa menasehati para pedagang agar menghindari perjalanan melewati rute Kesultanan Daru, meski itu artinya mereka harus melakukan perjalanan lebih jauh dengan gelombang laut yang lebih besar.
Sultan Alam adalah sultan yang sangat arif dan bijaksana. Kebaikannya memancing ketekunan para rakyatnya. Dari sejak matahari baru muncul rakyat akan terlihat melengkungkan badan, membungkuk, mencangkul, mengolah tanah-tanah subur, menyebar benih, menanam untuk kebutuhan pangan hingga tak akan ada yang kelaparan di seluruh wilayah kesultanan. Begitu pula di pantai dan di laut, nelayan-nelayan akan melempar pukat, menjaring ikan dan menangkap hasil laut lainnya yang melimpah. Sultan bijak nan adil, rakyat rajin dan alam yang subur. Benar-benar kesultanan yang dilimpahi rahmat kasih Tuhan.
Namun di pulau sebelah timur, di wilayah Kesultanan Daru, segalanya adalah berupa kebalikan. Tanah-tanah keras dipagari gunung batu kaku dengan angin panas yang menghembuskan gerah. Di tanah keras itu susah sekali tanaman tumbuh. Tubuh-tubuh petani terus melengkung, menunduk, mencangkul. Namun cangkul mereka terbentur batu kerikil yang tak akan menumbuhkan pangan. Kekeringan menciptakan paceklik panjang yang menyengsarakan. Sungai-sungai lebih sering mengering atau hanya digenangi air sedikit bercampur lumpur yang harus mereka saring agar menjadi air layak minum.
Kehidupan lebih berat, tenaga yang dikerahkan harus lebih banyak, namun kemalasan juga adalah penyebab. Penjarah dan perompak bermunculan. Mencari jalan pintas agar tak lapar. Bagaimana tah cara mengumpulkan upeti untuk sultan sementara untuk makanpun sulit. Di laut ikan sangat jarang, nelayan harus berlayar jauh ke lautan yang lebih dalam untuk mendapat beberapa ekor ikan yang tak terlalu besar. Sepertinya semua makhluk laut itu bergerak ke wilayah Kesultanan Alam. Mereka geram, terkadang mereka nekat menuju lautan luas. Namun badai dan gelombang yang besar kembali menyurutkan nyali. Apa artinya banyak ikan jika nyawa bisa terhempas dan tercerabut dari jasad?.
Sultan Daru memiliki sifat dan karakter yang buruk, ia memerintah dengan kejam dan serakah. Tak peduli dengan segala kesulitan rakyatnya, ia mengharapkan upeti terus mengalir ke istana. Siang hari itu ketika para perompak datang dengan tangan penuh kain sutera, uang-uang emas dan barang dagangan lainnya yang baru mereka dapatkan, ia sumringah. Namun berita selanjutnya tak menyenangkan hatinya.
“Kenapa mereka bisa melarikan diri?”
“Mereka dibantu Naga Sabang begitu keluar dari wilayah perairan kita.”
“Kenapa tak kalian lawan naga itu?”
Mereka menundukkan pandang. Tahu benar serupa apa kesaktian Naga Sabang. Melawannya sama dengan menyerahkan nyawa. Sudah beberapa kali mereka mencoba namun tak pernah berhasil. Dan itu kerapkali membuat Sultan Daru berang. Ambisinya besar namun tak didukung oleh kekuatan pasukan yang memadai.
“Aku harus menaklukan Kesultanan Alam. Tanah mereka subur, hasil laut mereka berlimpah, perniagaan di sana juga menguntungkan.”
Catatan Kaki :
- Aneuk meutuah : Anak baik hati
- Abu : ayah
- Ie beuna : air bah
- Seureune kalee : alat musik tradisional Aceh serupa seruling
- Tanah Emas : julukan pulau Sumatera
- Geulanteu : halilintar
- Weehh! : Pergi menjauh!
- Ulee lheue : kepala yang terlepas
- Ie teuka : air datang/tsunami
- Koeta Radja : Banda Aceh sekarang
saya juga punya tulisan satu tentang sejarah Sabang, belum sempat permak hehhee
Aku baru tahu ada legenda tentang Sabang ini. Tahunya cuma legenda Pulau Rubiah. Ditunggu lanjutannya, Kak Haya.
Baru tau aku hikayat tentang Sabang ini, Kak..
Saya sudah upvote ya
Kisah yang menarik. Legenda rakyat harus terus diwariskan sebagai saya tarik bagi para pelancong. Banyak yang perlu digali kembali dan dengan menuliskannya kita telah membantu upaya dokumentasi legenda rakyat. Harta karun tak terlihat.