Berbuat baik tapi malah menimbulkan Bahaya.
Cerita ini adalah saat aku memelihara dua ekor anak burung beo. Saya membeli dua anak burung beo yang masih berbulu rebung, pada salah seorang teman. Kepala burung tersebut botak, dengan mulut besar membelah pipi. Jika aku hendak memberinya makan, mulutnya terbuka, seakan merobek mukanya menjadi dua. Kakinya masih sangat lembek. Setiap hari aku memberinya makan. Sebelum pergi ke sekolah, dan pulang sekolah tidak lupa memberinya umpan. Bahkan ketika sedang bermain dengan teman-teman, aku masih sempat pulang hanya untuk memberi makan kedua anak beo kesayangan itu. Aku merawatnya sendiri, dengan penuh kasih sayang. Setiap melihat mulut beo terbuka lebar, aku menyumpal makanan ke dalamnya. Berharap burung tersebut cepat besar, lalu terbang dan hinggap di atas kepalaku. Aku membayangkan kelak burung itu besar, dapat berbicara meniru omongan teman-temanku. Suatu sore, aku menyuapi makan dua anak burung tersebut begitu banyak. Tentu kulakukan dengan kasih sayang. Dan dengan harapan cepat besar lalu bisa terbang. Perutnya membengkak hampir menyentuh kain dalam sangkar. Kedua anak burung tersebut betul-betul kenyang. Suara yang tadinya terdengar lantang, terhimpit perut yang kenyang menyesak saat bersuara. Meski sudah sangat kenyang, kedua anak burung tersebut masih membuka mulutnya lebar-lebar jika aku sorong makanan yang aku colek dengan kulit bambu.
Tibalah waktu magrib. Aku mengambil kain penutup, melingkarinya pada sangkar. Hal demikian kulakukan dengan niat, agar anak burung tersebut tak kedinginan saat malam. Karena cuaca sangat dingin, aku takut menaruh sangkar itu di tempat biasa, yaitu di teras depan rumah. Aku lantas menaruhnya di dalam tong tempat penyimpanan dedak emakku dekat dengan kandang ayam. Aku membuka tong dedak tersebut, lalu memasukkan sangkar ke dalamnya. Lalu tong itu kututup rapat kembali.
Ke esokan harinya, saat bangun tidur, aku segera menuju tong. Dengan perasaan senang ingin melihat belahan mulut kedua bayi beo itu terbuka meminta makanan. Aku membuka tutup tong yang rapat, lantas mengeluarkan sangkar burung yang berselimut kain. Tak ada suara apapun dalam sangkar. Aku cepat-cepat mengangkat kain penutup sangkar. Kampret!!! Aku menemukan kedua burung tersebut sudah tak bernyawa. Mereka keras dengan kaki membeku ke atas. Aku begitu sedih saat itu. Kuambil burung tersebut kukuburkan dengan penuh duka. Kedua anak burung tersebut mati bukan gara-gara sikapku yang jahat. Tapi malah dengan rasa kasih sayangku. Aku tidak paham apakah mereka mati karena terlalu kenyang atau karena tidak bisa bernafas dalam tong dedak.
Begitulah yang aku takutkan, jika ada seperti kisahku ini dalam versi agama, pendidikan, dan lain sebagainya. Lalu orang-orang mengira sudah berbuat baik, tapi malah caranya mengundang bahaya.
miris syech... nyan nyoe diiring biola jilob lam hikayat brat meu lengleng ie mata'
Haha...🚣♂️. Iphe lam awan nyoe keunong su biola.👍
Sigoe-goe ku ci peuilusi biola droen beuh... Hawa kuh... Jimisu lm tulesan....
Nyan bereh that. 🍷🍷kadang jeut keu peunawa covid😅
Hai meunan... Cophit singktan dari Copi Pahit...hahah tapi ta Kophit nyoe sabe-sabe han teungeut2... Sabee lam keadaan jaga. Ubat jih beu tatuleh boh steemit saboh, baroo jeut eh
Semua tergantung niat, cara berbeda bahkan hingga salah langkah terjadi bila kurang ilmu saja. Kan ada itu pepatahnya tentang ilmu dan amal 😁
Mau berbuat baik yang berbuat saja, kata bimbo jangan ditunda-tunda, asal tidak mengganggu hak makhluk lain juga. Seperti halnya ada manusia yg tak mau kemiskinannya terlihat nyata, diam2 terus berusaha dan berdo'a, begitu pula mereka yang kaya raya, tak semua bersedia menulis tentang perbuatan baiknya😉 Tuhan Tahu, Kita tak perlu ragu bila kita berilmu.
Iya kak. Tanpa ilmu semua akan sia-sia 🚣♂️🚣♂️🚣♂️.
Mari Kita belajar di Samudera Steemit sikit. Ada ilmu, bagi sikit, Yeken?
Bener..kak. sikit-sikit. Lama-lama jeut keu bit-bit.