Kami, yang Tidak Baik-Baik Saja
Aku, Yodha, dan psikiater kami
Ada sebuah aksioma melankolis dari artikel psikologi yang kubaca. Ia berbunyi, “A traumatic bond is an attachment formed between two people who unconsciously bond to each other based on shared trauma.”
Kalimat itu pertama kalinya begitu menyemakkan pikiran. Memaksaku untuk melilitkan nalar pada kata-kata yang terdengar terlalu asing untuk diterima mentah-mentah. Akan tetapi, waktu selalu menjadi guru yang benar-benar brutal nan arif.
Ternyata, tesis itu benar adanya.
Aku menyadari ini ketika mulai merenungi lingkaran kecil di kampus. Kami—atau sering kusebut secara setengah bercanda sebagai kelompok marginal yang terhormat—adalah sekelompok mahasiswa yang tampaknya tersisih dari gaya hidup hedonistik khas mahasiswa kebanyakan.
Kami memang bukan bagian dari gen Z aesthetic dengan foto kafe berlampu kuning di Instagram, bukan pula kelompok yang mampu bersaing dalam kirab tas branded dan kopi susu tiga lapis. Kami lebih suka berhimpun di ruang-ruang sederhana, berbicara tentang buku, hidup, atau luka-luka yang tidak tampak kendatipun amat terasa.
Kami adalah segerombol manusia dengan kepala penuh pikiran liar, hati yang lapuk, tapi mata yang terus menatap dunia dengan sinisme terukur.
Aku sering berargumen dalam hati bahwa marginalisasi yang kami terima bukanlah sebentuk hinaan. Malah aku menganggapnya sebagai provokasi untuk menjadi lebih bijak dan lebih peka.
Menempuh sedikit jalan yang gelap dan berliku, dan jalan itu meninggalkan jejak. Mungkin itulah alasan kami terlihat lebih dewasa dibandingkan dengan teman-teman seusia lainnya.
Tapi, "dewasa" itu sendiri didefinisikan sebagai apa? Diksi “dewasa” seringkali menjadi istilah yang terlalu diglorifikasi. Di sirkelku, kedewasaan adalah mengenai keberanian untuk menghadapi bayang-bayang gelap di dalam diri. Kedewasaan adalah saat kami bisa berkata, “Aku sedang tidak baik-baik saja” tanpa merasa malu atau takut dicecar.
Kami mungkin bukan dewasa dalam pengertian konvensional, tetapi dalam hal menerima kerentanan, saya berani bertaruh bahwa kami jauh lebih matang daripada kebanyakan orang.
Kalau ada yang salah dengan itu, ya, biarkan saja ia tetap salah.
Sirkelku terdiri dari individu-individu dengan diagnosis yang telah ditetapkan secara profesional. Saya adalah penyintas bipolar tipe 1. Mauli adalah pengidap skizofrenia. Yodha membawa luka PTSD yang berasal dari perundungan brutal sejak masa sekolahnya, sementara Haifa bergulat dengan depresi berat yang nyaris menelannya bulat-bulat.
Semua diagnosis tadi telah ditetapkan oleh para psikiater profesional, tidak ada self-diagnosed khas TikTok di sini.
Lantas, apa yang membuat kami tetap bersama? Bukan karena kami suka mengasihani diri sendiri, melainkan karena kami menemukan sesuatu yang langka. Kehidupan telah menjadikan kami seperti potongan puzzle yang terkeping-keping, dan saat kami bertemu, potongan-potongan itu seolah saling melengkapi.
Sudah pasti terdengar klise, tetapi ada sesuatu yang dalam dari pengalaman berbagi luka. Menyambut makna tanpa perlu terlalu banyak kata.
Jangan terlalu paranoid dengan luka, entah itu luka Anda sendiri maupun luka orang lain. Di sebalik tiap retakan, ada keindahan yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang berani melihat lebih dekat.
Aku jadi ingat apa yang dikatakan Irvin D. Yalom, psikiater sekaligus filsuf eksistensialis, “Kebersamaan dalam penderitaan seringkali melahirkan solidaritas yang lebih tulus daripada kebersamaan dalam kesenangan.”
Solidaritas bukan berarti kami saling memanfaatkan penderitaan masing-masing, melainkan bahwa kami tahu bagaimana rasanya jatuh ke lubang gelap tanpa ada yang memegang tangan.
Tidak semua luka itu sama, tentu saja, tetapi ada kesamaan rasa yang tak terucapkan. Kami memahami bagaimana rasanya bertahan hidup di bawah tekanan mental yang konstan. Kami mengerti bahwa tidak semua hari akan baik. Kadang-kadang, bahkan, sekadar bangun dari tempat tidur adalah prestasi.
Sebagian besar dari kami membawa beban yang berakar dari pola asuh yang disfungsional. Tidak, ini bukan untuk menyalahkan orang tua kami. Orang tua juga manusia dengan keterbatasan mereka sendiri. Tetapi fakta tetaplah fakta. Cara kita diasuh membentuk pola pikir, kepercayaan, dan bahkan bagaimana luka itu dipoles.
Berteman dengan orang yang punya gangguan mental acap kali dipandang sebagai pilihan yang gawat. Aku pernah mendengar komentar seperti, “Bukankah itu melelahkan?”
Memang, agak melelahkan. Tetapi aku sadar bahwa dunia ini bukan ruang isolasi steril di mana setiap orang harus menghindari sentuhan dengan sesuatu yang dianggap tidak sempurna. Padahal di dalam ketidaksempurnaan itu lah aku menemukan ruang untuk bernapas.
Aku tidak pernah memilih lingkaran ini. Lingkaran inilah yang memilihku.
Congratulations! This post has been voted through steemcurator09. We support quality posts, good comments anywhere and any tags.
Alhamdulillah thank you…
Cerita tentang kehidupan yang sesunggihnya ya dear...
Manusia2 kuat dan hebat itu kalian
prluk jauh buat firya
Stay healthy n safe ya..
Yes mommy, the real kehidupan… terima kasih sudah dukung kami berempat bu. Kawan-kawan kirim salam buat ibu. Doa kami, semoga ibu juga sehat dan selamat selalu.
Wa'alaikumsalam..
Aamiin...
Apa yang telah kulewatkan selama ini?
apakah ini tindak lanjut dari diskusi sore di simpang 4 itu atau ini setelah telpon dekat tengah malam saat aku sedang berbulan madu di Lhok Nga?
whatever, ini kemajuan bagus karena ada kata "penyintas" artinya perjuanganmu tidak sia-sia dan kehadiranmu dalam lingkaran itu pastinya akan sangat bermanfaat bagi yang lainnya. Orang yang tidak mengalaminya tidak akan pernah bisa bersimpati dan berempati pada mereka yang berada pada keadaan yang nyaris sama.
Kamu mungil tapi kuat, itu yang selalu kukatakan pada maslakoe. Anak ini bisa menembus angkasa bila diberi sayap. So proud of you!
Assalamualaikum
Oh my god… terlalu banyak yang terlewatkan setelah kita lost contact selama hampir 2 tahun (berdasarkan penaksiran saya). Tahun-tahun panjang yang kalau saya coba kilas balik, ternyata sesingkat itu, ya.
Soal diskusi di simpang 4, saya masih ingat sebagiannya. Kalau soal telepon malam hari itu? Entahlah… daya ingat saya merosot jauh saat ini. Kejadian 5 menit lalu saja bisa alpa dari pikiran, lebih-lebih yang sudah tahunan berlalu.
Ada sebuah hal unik yang saya perhatikan setelah beberapa hari ini kita bersua via kolom komentar. Kenapa Bu Cici bisa berempati—dan bahkan bangga—pada saya?
Hari-hari saya kerap dihantui perasaan tidak berharga dan tidak layak mendapat simpati dari siapapun. Saya tidak lebih baik dari siapapun di dunia ini. Tapi saya bangga dengan klaim “penyintas” tersebut. Buktinya saya masih hidup sampai detik ini.
Kirim salam untuk maslakoe-nya, bu. Semoga sehat dan bahagia senantiasa.
Saya hanya menyatakan yg saya pikir dan rasakan. Mungkin saya pernah puyeng akan berita buruk tentang kamu, tapi kenapa harus fokus pada sesuatu yg saya tidak tahu kebenarannya? Saya tidak peduli dengan keputusan salah yg pernah kamu ambil akibat berusia muda.
Saya peduli melihat kebangkitan kamu menjadi apa yg kamu inginkan, siapapun yg mendukungmu dengan cara apapun maka itu berkah buatmu. Saya tidak bisa menarikmu dari situasi saat itu, tapi saya percaya dan berdo'a agar kamu menunjukkan kekuatan pikirmu yg sangat cerdas lagi rasional itu.
Kamu berharga, kamu penting dan kamu layak! Entah berapa kali saya bilang itu dulu.
Tulisan yang sangat cantik dengan isi yang sangat mendalam, kk selalu kangen untuk membaca tulisan mu dek..tapi itu tadi KK sangat susah menemukanmu 😓
Kakak setuju dengan tulisan Adek.
Kakak mencoba mengerti bahwa orang yang tidak pernah merasakan seperti yang kita derita, dia tidak akan pernah bisa memahami arti luka yang membuat kita menjadi orang seperti sekarang.
Orang tidak akan tahu bagaimana rasanya wajib meminum obat karena otak mengatakan kita sakit, tetapi di saat yang bersamaan, lambung memuntahkan kembali obat karena merasa kita tidak sakit.
Circle kita, bukan orang yang atur.
Sehat-sehat selalu adik dan kawan-kawan di sana.