Di Antara Bangsal RS dan Kesetiaan yang Tak Terduga
Fortuna fortes adiuvat.
Keberuntungan berpihak pada mereka yang berani. Tapi dalam problema yang kumiliki, keberuntungan berpihak pada mereka yang tidak peduli akan kesan pertama.
Aku tercegak di sebuah ruang asing. Steril, dingin, dan terlalu riuh untuk mataku yang baru saja terlepas dari cengkeraman gelap. Rumah sakit. Dalam selimut darurat—sehelai cardigan bergaya bohemian milik sahabatku—dikelilingi alat-alat medis yang bersenandung monoton.
Masa nadir dalam hidup adalah saat kita tahu siapa teman sejati. Teman sejati itu acap kali bukan mereka yang duduk bersama kita dalam hiruk-pikuk candaan di kantin. Bukan pula mereka yang berbagi layar laptop untuk menonton serial Netflix.
Kawan sejati nongol dari tempat-tempat yang sebelumnya tidak pernah kita duga. Membawa sapu tangan di saat air mata berderai. Dalam kisahku, mereka yang membawa jasad yang tak berkesanggupan ke rumah sakit dengan taksi online.
Begitu fisik dan psikisku menyerah—entah karena penyakit mental yang kuderita, obat penenang, atau kombinasi keduanya—aku mendapati diriku ambruk di kantin kampus. Berdasarkan cerita (karena aku sendiri sudah blackout), kekacauan kecil terjadi. Aku sempat berceramah ngawur, entah minta digendong dosen, atau berujar sajak tak jelas.
Di waktu itu, yang pertama kali menolongku bukan teman-teman yang selama ini jadi pengisi riuhnya obrolan grup chat. Mereka yang terbiasa tertawa bersama tiba-tiba lenyap, mungkin sibuk, mungkin terkejut, atau mungkin...ya, mungkin saja tidak peduli.
Belakangan, psikiaterku menyebut kejadian itu sebagai kemungkinan “fase manik” dari bipolar disorder yang termanifestasi dalam bentuk tantrum.
“Manik” ini sendiri jika dikupas secara ilmiah, berasal dari bahasa Yunani mania yang memiliki arti “kegilaan.” Tentu, dalam domain yang lebih modern, istilah ini tidak lagi merujuk pada kegilaan dalam arti harfiah, tetapi pada kondisi psikologis di mana seseorang mengalami lonjakan energi, emosi, atau perilaku yang tidak terkendali. Persis seperti yang kualami.
Fase manik sendiri bisa sangat variatif. Dari euforia tanpa sebab hingga perilaku destruktif yang tidak dimengerti oleh penderitanya. Dalam kasusku, mungkin ada sedikit kombinasi dari keduanya.
Fase manik ini sering disalahartikan oleh orang-orang sebagai tantrum bahkan kerasukan. Namun percayalah, tidak ada orang yang ingin dikenal sebagai seseorang yang minta digendong dosen di kantin kampus.
Yang membuatku merasa ganjil adalah fakta bahwa mereka yang selama ini tidak pernah masuk ke dalam daftar “teman dekat” justru menjadi penyelamat. Sebaliknya, teman-teman yang terbiasa bergurau di luar kelas, mereka yang tak jarang berbagi makanan atau cerita asmara, justru tak terlihat. Apakah aku marah? Tidak. Aku memilih untuk tidak mempersoalkan hal itu.
Amicus certus in re incerta cernitur.
Belakangan, aku mendapati bahwa fase manik ini adalah efek samping dari kombinasi obat dan stres yang sudah lama terpendam. Psikiaterku bercanda, "Kamu terlalu terlena memikirkan orang lain sampai lupa menjaga dirimu sendiri."
Sartre mungkin benar. Hidup ini pelik. Pertemanan juga demikian. Kita mengancar-ancar memiliki kendali penuh atas siapa yang ada di lingkaran terdekat kita. Realitanya, sesiapa yang tak terduga berkali-kali hadir di waktu genting.
Setelah aku “sober” dan semua kekacauan mereda, aku menyusun daftar ucapan terima kasih. Aku meminta maaf kepada mereka yang kebingungan melihatku ambruk, juga kepada dosen yang (dari cerita orang ketiga) membantuku berdiri saat aku mulai kehilangan kendali. Namun, yang utama adalah ucapan terima kasih kepada dua teman sejoli yang kukira hanya pelengkap obrolan nongkrong.
Untuk kalian yang menyelamatkan aku dari tenggelam (baik dalam arti fisik maupun metaforis), aku tidak punya cukup kata untuk membalasnya. Terima kasih untuk penyelamatan terhadapku hari itu. Kalian menggendong tubuh yang sudah menyerah, memanggil taksi, bahkan mendengarkan keracauan yang pasti lebih berat dari langkah kalian sendiri.
Terima kasih telah menepikan segala prasangka dan memilih tindakan, bukan pertanyaan.
Plagiarism Free / AI Article Free
* #burnsteem25
* Community
* Charity
null 25% ❌
steembetterlife ❌
worldsmile 10% ✔️
Appeal to community members:
Verified by @el-nailul
Aku sembuh dari bipolar disorder dengan ruqyah mandiri. Alhamdulillah.
Woah really? Kalau boleh tahu bagaimana itu mekanismenya kaka/abang?
Saya ingin tahu lebih lanjut…
Dengan rukiah mandiri. Dibacakan surat alfalaq dan an nas atau surat yang kita hafal.
Biasanya sudah habis ruqyah mandiri hati menjadi sangat tentram.
Kemudian rasa tentram ini akan terus-menerus ada apabila kita rutin ruqyah setiap hari.
Beberapa teman yang juga terkena penyakit tersebut, kami ruqyah dan alhamdulillah sebagiannya sembuh walaupun butuh waktu lama...
Semoga adek selalu dilindungi Allah SWT. Dikelilingi oleh orang-orang yang mau menjaga kita itu adalah salah satu bentuk kasih sayang Allah SWT.
Aamiin allahumma aamiin… semoga doa kaka kembali ke si pendoa juga yaaa…
Aamiin ya Allah