Mala dari Kampung Pala

in #fiction6 years ago

paddy-field-2525358_1920.jpg

Mala bersiap ke gunung dengan pakaian khasnya yang dipakai itu-itu saja setiap kali ke gunung―celana coklat tua kedodoran peninggalan almarhum suaminya. Celana tersebut masih cukup baik kondisinya, belum layak jika dipakai untuk ke gunung, tetapi itu adalah celana pria yang kedodoran. Mala mengikat celana tersebut dengan seutas tali plastik dan langsung pas di pinggang kurusnya. Mala memakai oblong putih berlengan panjang yang tak lagi putih. Bercak-bercak coklat bekas getah pala menempel permanen membentuk pola tak beraturan. Tas selempang tua anyaman seuke disampirkan ke bahunya―di dalamnya berisi beberapa lipatan eumpang nilon yang nantinya akan diisi dengan biji pala, telekung dan kain sarung, wadah berisi nasi dengan lauk ikan meuneng, satu botol air mineral, pisau kecil, dan sebuah parang bermata tajam. Hari ini, dia harus ke gunung. Sudah saatnya memetik buah pala. Beberapa perempuan kampung pencari upah memetik pala seperti dirinya, mulai menyibukkan diri dengan meremas-remas tepung. Jadi jika hanya dirinya yang ke gunung, tentu dia akan mendapatkan hasil yang lebih banyak, begitu pikir Mala. Tak perlu bersaing dengan pemetik pala lainnya.

Suaminya pergi tak meninggalkan apa-apa meski hanya sepetak kebun pala yang biasa dibanggakan oleh orang sekampung. Oh, sebenarnya tidak juga bisa disebut kebun. Warga kampung lebih suka menyebutnya gunung. Di gunung terdapat sesuatu yang memberi hasil untuk mereka tanpa mereka harus bekerja dengan begitu keras. Cukup menunggu musim panen pala tiba, uang melimpah-limpah bagi yang memiliki banyak tanaman pala. Di gunung yang jaraknya kurang lebih dua jam berjalan kaki dari desa, terdapat wilayah-wilayah tertentu yang dimiliki atas nama seseorang. Tidak ada batas khusus semisal berupa pagar kawat atau batang keurundong yang biasa dipakai sebagai pembatas kebun atau lahan. Ya, karena itu gunung dengan hutan pala. Buah pala dengan warna kekuningan pertanda ranum berjuntai dari setiap pohon. Gunung dengan hutan pala tersebut adalah warisan turun-temurun dari generasi sebelumnya.

agriculture-2110848_1920.jpg

Warga kampung hanya memanfaatkan biji pala saja karena hanya ada mugee biji pala yang datang ke kampung tersebut. Padahal kabupaten mereka terkenal bukan saja sebagai salah satu penghasil pala terbesar, tapi juga berbagai produk olahan pala lainnya: sirup pala, manisan, dan kue pala yang terbuat dari kulit pala yang sudah matang. Buah pala yang sudah matang memiliki biji coklat kehitaman berselaput kulit ari merah yang disebut kawi pala. Kulit ari ini biasanya berbentuk seperti anyaman tak beraturan yang menempel pada biji pala. Biji ini akan dipisahkan dari kulit arinya lalu sama-sama dijemur untuk mendapatkan harga maksimal. Biji pala bisa dijual basah tetapi harganya lebih rendah jika dibandingkan biji pala yang sudah kering. Harga biji pala berbeda dengan harga kawi pala. Untuk kawi kering, biasanya bisa tiga sampai empat kali lipat harga biji pala kering.

india-coconut-1089390_1920.jpg

Ramadan kali ini, harga pala mencapai puncak. Buah pala pun seolah tak mau kalah dengan mugee. Dipetik berkali-kali pun, masih juga menyisakan ranum buah pala di hutan pala. Tuhan sedang menaburkan serbuk berkah pada setiap pohon pala. Bersorak warga kampung. Kali ini mereka tak hanya bisa membeli daging untuk meugang, mereka juga bisa merantai leher, tangan, dan jemari dengan bermayam-mayam emas.

Hari raya tinggal menghitung hari.

Tapi Mala tak pernah menghitung-hitung, Mala tidak suka dengan tiga hal: meugang, Ramadan dan hari raya. Tiga hal yang setiap tahun membuatnya pusing. Kenapa tiga hal itu harus ada setiap tahun? Kenapa tidak lima tahun sekali atau sepuluh tahun sekali saja? Mala paham betul apa makna puasa di bulan Ramadan dan hari raya sesudahnya. Bulan dilipatgandakannya pahala. Bulan pengampunan dosa. Lalu saling bersilaturahmi dan bermaaf-maafan di hari raya. Tapi, Mala juga harus memikirkan soal tradisi daging meugang dan baju-baju baru.

Baginya, meski bisa memiliki sedikit uang lebih banyak, lebih baik Mala membeli bersak-sak beras daripada membeli sekilo daging yang akan habis dimakan olehnya dan ketiga anaknya dalam sehari. Sekilo daging tahun ini seharga lebih dari satu sak beras 15 kg yang biasa mereka makan sehari-hari. Satu sak beras tersebut biasanya habis dimakan selama lima belas hari oleh empat mulut. Mala tentu lebih memilih kenyang yang lima belas hari dibanding nikmat yang cuma sehari. Bisa hemat beberapa rupiah. Mala sudah tak bisa lagi kompromi dengan harga daging yang konon katanya paling tinggi di dunia itu. Dia hanya menutup mata sambil berlalu ke kios penjual beras. Ingatlah Mala, pala tak setiap saat ranum seperti Ramadan kali ini.


Minggu lalu Mala mendatangi beberapa pemilik lahan pala, meminta ijin untuk memetik pala-pala mereka. Biarlah Ramadan kali ini anak-anaknya bisa mencium wangi pala di lembaran rupiah. Menyantap potongan daging meugang dengan kuah u neulhe. Singkirkan dulu ikan meuneng di hari meugang dan lebaran.

Pantang naik ke gunung menjelang meugang, Mala. Nanti sajalah setelah lebaran, kata mereka, pemilik lahan pala. Tak masalah, aku akan pulang lebih cepat, kata Mala. Ia sudah terbiasa bahkan meski hanya Mala seorang yang naik ke gunung. Kesendirian tanpa lelakinya membuat Mala tegar menepis segala ketidakbolehan. Pantang tak bisa memberi makan anak-anakku, tak bisa membeli baju baru untuk mereka, tak bisa membeli daging meugang dan kue-kue lebaran pengenyang perut anak-anak.

Di jalan utama kampung, Mala bertemu dengan rombongan perempuan: ibu-anak-adik berjalan penuh semangat siap menantang matahari. Merah-kuning-hijau-ungu-biru baju mereka berpadu dengan nyala gincu dan bedak yang tersapu tebal. Celotehan-cekikikan-gurauan yang meriah pertanda mereka sedang bahagia karena sebentar lagi akan menjemput semua yang baru. Rombongan perempuan meriah itu akan ke pekan mingguan di ibukota kecamatan.

Mala merasa malas menegur mereka―sebetulnya ia malas mennghadapi pertanyaan kenapa tidak pergi ke pekan?. Kau kan sudah banyak mengumpulkan rupiah. Tapi rupiah yang lalu sudah ditukar dengan lima sak beras dan membayar utang. Biarlah pekan besar minggu ini kulewatkan dengan naik ke gunung. Minimal dua hari sebelum meugang Mala sudah harus mengumpulkan banyak pala. Biasanya pemiliknya masih punya upah. Jika lewat dari hari-hari tersebut, sudah bisa dipastikan Mala akan menerima alasan bahwa uang mereka sudah habis dibelanjakan untuk keperluan hari raya. Tunggulah beberapa hari setelah hari raya, Mala. Mugee tak datang, kami tak ada uang. Tapi Mala tak ingin menunggu setelah hari raya. Anak-anak tidak mengerti jika diminta menunggu. Untuk apa menjanjikan setelah hari raya karena bagi mereka yang terpenting adalah di hari rayanya, bukan setelah hari raya.

Mala melangkah ke ujung kampung. Menuju jalan setapak yang menghubungkan kampung dengan hutan perdu. Sesekali menarik lengan baju kaos oblong sampai ke pergelangan tangan. Langkahnya cepat penuh harapan. Lalu menghilang dalam semak perdu.


eky 2.jpg

Sort:  

written language unable to detect

Sorry, I use my own language, Indonesian.

Akhirnya yang ditunggu datang juga😇

Nunggu aku atau siapa atau apa? :D

Nunggu tulisan kakak😃

Buruh kebun... Jadi teringat para perempuan di kampung yang lebih kurang profesinya seperti Mala.

Ayo ditulis Ihan :D

Full narasi minim dialog, tapi kayak biasa betah dibaca. Bravo , Kak Eqi. Asyik kali fiksinya.

Love it 😍

Cerita yang menarik, penuh trik dan strategi penulisan. Alur cerita juga menggambarkan sisi perempuan desa yang bekerja keras.

Masih belajar menulis Kak, belum terlalu baik :D. Btw, terima kasih

Apakah mala pernah tom seumula?

Mala hantom semula karena di kampungnya gak ada sawah. Haha

Perjuangan sang wanita muda penuh inspiratif.
Kakak luar biasa hebatnya.
Tulisan ini akan membuka mata mereka yang jarang bersyukur atas limpahan rahmat yang diberika Allah.
Semoga senakin banyak Mala wanita tangguh di dunia 😍

Penjuagan wanita tangguh 👍

Mala wanita tangguh

Setangguh pria :D

Luar biasa semangat nya sukses terus ya😁😁👍

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.11
JST 0.034
BTC 66408.70
ETH 3225.39
USDT 1.00
SBD 4.17