(Sambungan) Menelusuri Jejak Tafsir Sastrawi Berbahasa Aceh
Sebelumnya kita telah mencoba untuk menampilkan sedikit tentang sosok dan karya Tgk H Mahjiddin Jusuf (lihat postingan sebelumnya). dalam tulisan ini kita akan coba melihat bagaimana upaya kontekstualisasi yang dilakukan oleh beliau ketika menafsirkannya ke dalam bahasa Aceh. Kontekstualisasi ini kiranya perlu untuk menumbuhkan nalar pemahaman karena faktor perbedaan kultur Arab, tempat dimana Al-Quran diturunkan dengan di Aceh, tempat audiens objek terjemahan al-Quran bebas bersajak.
Dalam terjemahan bersajak ini sebagaimana dikatakan di awal memiliki nilai-nilai kearifan lokal dari budaya dan bahasa objek sasaran yakni Aceh. Melalui terjemahan tersebut Tgk Mahjiddin mencoba untuk menyentuh aspek psikologi yang dapat mempengaruhi dan menyentuh emosi para pembaca, seperti berusaha mendekatkan makna terjemahan dengan latar budaya dan konteks lingkungan pembacanya serta menyampaikan pesan yang terdapat dari dalam bahasa asli (bahasa arab) ke dalam bahasa sasaran (bahasa aceh).
Al-Quran turun 14 abad yang lalu tidak dalam kondisi hampa, ia turun dalam kultur dan budaya masyarakat arab. Tentu dalam pengunaan bahasa dan gambaran situasinya sesuai dengan kultur dan budaya arab, seperti penyebutan jenis tumbuhan, jenis binatang dan cuaca yang tentunya berbeda dengan kondisi alam aceh. Penerjemah disini mencoba untuk mengkontekstualisasikan yakni menyesuaikan terjemahannya dengan konteks keacehan.
Hal ini terlihat misalnya, ketika beliau menerjemahkan surat al-Tin ayat 1:
Demi boh ara deungon boh zaitun (Demi buah tin dan buah zaitun)
Dalam terjemahan berbahasa Indonesia tersebut Tin, sebagaimana pendapat mayoritas ulama adalah merujuk ke tempat tinggal nabi Nuh yaitu Damaskus yang banyak tumbuh pohon tin sedangkan zaitun merujuk ke Baitul maqdis yang banyak tumbuh zaitun.
Dalam terjemahan bahasa Aceh, Tgk H Mahjiddin menerjemahkan Tin dengan Ara. Buah tin tidak sama dengan buah ara. Ketika hal ini ditanyakan oleh tim penyunting, beliau mengatakan bahwa buah zaitun sudah dikenal di Aceh, paling tidak karena minyaknya. Hal ini berbeda dengan buah tin yang tidak akrab bagi orang aceh, dengan alasan itu kata tin diganti dengan ara. Pemilihan kata buah ara tidak semata-mata karena sudah dikenal masyarakat Aceh tetapi juga karena kebutuhan. Diperlukan kata yang bersuku dua untuk mencukupkan sepuluh suku setiap baris seperti telah disebutkan di atas. (Mahjiddin Jusuf, 1995 : xv)
Selain memasukkan unsur budaya kedalam terjemahannya, Tgk H Mahjiddin juga memberikan inovasi dalam penerjemahannya. Adapun tentang inovasi atau tafsir yang beliau berikan dilakukan untuk penyesuaian sajak serta bunyi pada akhir kata agar cocok dengan kalimat atau bait-bait yang sebelumnya.
Contoh yang beliau sebutkan adalah surat Ali Imran ayat 95 berikut ini:
Takheun that beuna cit sidroe Allah
Teuma taikot Nabi Ibrahim
Agama gopnyan nyang gleh that leupah
Ibrahim nyan kon ureueng nyang muchrek
Bah that ibalek le kaphe jadah
Terjemahan ayat ini menurut Al-Qur'an dan Terjemahnya terbitan Kementrian Agama RI adalah:
Katakanlah: "Benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahin yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.
Jika diterjemahkan menurut bunyi ayat maka akan berakhir pada kata muchrek (musyrik). Tetapi dalam hal ini Tgk Mahjiddin tidak berhenti sampai muchrek saja, beliau menyambung dengan kalimat Bah that jibalek le kaphe jadah yang berarti walaupun diputarbalikkan (faktanya) oleh si kafir hina. Jadi baris terakhir "Bah that jibalek le kaphe jadah" adalah tambahan atau tafsir dari penerjemah.
Terjemahan Al-Quran ini menunjukkan kreativitas sekaligus kontribusi dari local scholar bagi peradaban islam khususnya di bidang studi quran yang dipadukan dengan seni-sastra. Tgk Mahjiddin Jusuf dalam karya ini tidak saja menggunakan sastra sebagai sarana pokoknya tetapi juga didukung upaya kontekstualisasi terhadap budaya dan bahasa dari objek sasaran serta juga tidak ketinggalan kandungan unsur nilai-nilai lokalitas di dalamnya. Oleh karena itu sumbangan dari asoe lhok ini patut mendapat perhatian yang lebih dari kita semua khususnya dari generasi muda Aceh. Bismillah!
*Tuah Sigö, Fadhli Espece ||| @cucoraja
Tuboh Lam Rantoe Hate Lam Nanggroe
Asyiik
Sllruppp