Janji Masa Lalu # 11
Source
"Barusan telpon dari rumah sakit, Tante. Ada kecelakaan beruntun. Banyak pasien kritis ... aku harus ke rumah sakit, sekarang,” sahut Dania perlahan.
“Engga apa-apa. Pergi aja, Dania, gampang nanti Mama bisa telpon papa,” ujar Mama Dania.
"Maaf ya, Ma ... Aku sudah janji sama Mama mau pergi seharian ... “ Dania memainkan gawainya sesaat.
“... rencananya, kami juga akan mengajak Tante Miranda, nonton di bioskop yang dulu sering didatengin Mama sama Tante Miranda....” Dania melanjutkan, sambil melihat ke arah Miranda, dengan pandangan menyesal.
“Aduh sayang, kali ini, Tante akan menetap di Indonesia. Kita bisa sering ketemuan. Ini kan bukan yang pertama dan terakhir kalinya, kita akan bertemu. Tenang aja, sayang ... biar mamamu, nanti Tante antar. Kamu pergi aja, ke rumah sakit.” Miranda menggenggam tangan Dania lembut.
“Maaf ya...” ujar Dania lirih.
“That’s ok,” tukas Miranda, “... pergilah!”
Dania bergegas menyambar tas dan langsung meninggalkan keduanya, setelah mencium tangan dan pipi mamanya dan Miranda.
Telpon Miranda, berdering lagi.
“Hai Galang, ada apa?” Alis Miranda agak berkerut.
“Kenapa tadi tiba-tiba telponnya diputus, Ma? Ada apa?”
“Oh itu ... tadi Dania dapat telpon dari rumah sakit. Ada kecelakaan beruntun. Dia harus ke rumah sakit, sekarang. Oh ya ... ada apa, kamu telpon Mama?”
“Engga, cuma mau tanya, gimana ketemuannya sama Tante Faren?”
“Oh ... kami masih ngobrol sekarang. Rugi banget kamu, engga datang. Dania sekarang cantik sekali. Rambutnya tidak sepanjang dulu ... kamu pasti engga ngenalin, kalau ketemu dia di jalan,” ujar Miranda.
“Meeting-ku barusan dibatalin. Mumpung lagi senggang. Aku mau ke tempat Mama aja, boleh?”
Galang melihat foto-foto yang diterimanya sesaat yang lalu. Foto-foto Dania bersama mamanya dan Mama Dania. Ya Allah ... ternyata Nia... Dania... Rory Valdi Pradakian....
Sebuah pertanda bagus, pikirnya sambil menarik nafas lega. Walaupun tidak tahu akan berkembang kemana, namun sebuah harapan baru muncul di hatinya. Alhamdulillah, dia menuruti insting tidak langsung melepaskan Dania.
Galang menarik nafas panjang. Dania sangat penting baginya. Dalam gelap masa depan kisah cintanya, sekelumit kedamaian mulai menempati sisi dalam hatinya. Satu lagi keajaiaban terjadi. Allah mulai campur tangan dalam urusan ini.
“Boleh banget. Walaupun engga ketemu Dania, kamu bisa ketemu Mama Dania.” Miranda menyebutkan sebuah nama tempat. Ia menutup ponselnya, dan tersenyum ke arah sahabat karibnya.
“Galang meeting-nya batal. Dia mau ke sini.”
“Gimana kabarnya dia sekarang?” Mama Dania melambaikan tangan, memanggil pelayan.
“Waktu kuliah patah hati. Sejak itu, dia engga pacaran lagi.... Tapi aku agak khawatir. Saat dia patah hati, dia mulai koleksi buku Rory Valdi Pradakian-“
“Novelis terkenal itu?” Mama Dania tersenyum, pada pelayan yang mengantarkan buku menu. "Terima kasih."
“Hm ... sejak saat itu, keliatannya dia punya semangat lagi. Tapi kok, perasaanku dia kayak pacaran aja, sama buku-buku Rory Valdi Pradakian!” Miranda menghela nafas.
“Ah, perasaan kamu aja kali! Kita ini ibu-ibu ... kebanyakan khawatir ....”
Mata Miranda terbelalak. “Lho ... kamu khawatir kenapa? Bukannya anak-anakmu sudah sukses semua?”
“Iya sih ... Dania itu lho ... sudah lama pacaran. Sudah sama-sama mapan, kenapa engga lebih serius lagi ya, hubungannya?”
“Lebih serius gimana?” Miranda membuka buku menu.
“Kayaknya mereka berdua anteng-anteng aja. Engga pernah ngomong-ngomong, tentang rencana pernikahan, bahkan tunangan.... Kalau anakku yang laki sih, katanya mau nunggu adiknya dulu, baru mau nikah. Lagi pula pacarnya juga, kebetulan masih di bawah Dania, umurnya.”
Source
Mereka berdua saling memandang , dengan pandangan mata yang sama-sama menyorotkan rasa prihatin. Tiba-tiba mata keduanya langsung bersinar.
“Ingat tidak ...!” ujar keduanya bersamaan. Mereka tergelak dengan gembira.
“Kita coba aja, gimana?” tanya Miranda. Dia langsung menutup buku menu. Menatap wajah sahabatnya dengan tatapan serius.
“Kenapa engga?” sahut Mama Dania cepat. Keduanya kembali tertawa gembira.
“Wah, seru banget keliatannya!” ujar Galang tiba-tiba.
Miranda menoleh.
Galang mencium tangan Miranda. "Hai, Ma."
“Halo, sayang,” ujar mamanya. “Cepat sekali, sudah sampai! Lancar jalanannya?”
"Alhamdulillah lancar, Ma." Galang mencium tangan Mama Dania. “Tante,” Galang tersenyum.
“Wah, Galang ... Tambah cakep ya, kamu sekarang! Gimana kabarnya, sekarang?”
“Alhamdulillah, baik sekali, Tante.”
“Dania baru pergi .... Sayang sekali, kalian tidak sempat ketemu hari ini!” Mama Dania mengamati Galang dengan seksama.
“Hebat, kamu sukses ya sekarang! Namamu sering sekali ada di media massa. Tante engga nyangka, ternyata Galangnya Miranda!”
“Yah, siapa dulu dong mamanya, hehehe... “ ujar Miranda dengan senyum lebar.
“Kok belum pesan makan?” tanya Galang sambil tersenyum. Dia menarik kursi di sebelah mamanya.
“Kita mau napak tilas ... Mau makan, di tempat-tempat nongkrong waktu dulu. Mau nonton film,” ujar Miranda sembari menggeser kursi. Galang duduk di sebelah Miranda.
“Ya sudah, kebetulan lagi tidak ada kerjaan, aku yang jadi sopir, gimana?”
“Klop banget sama Dania. Tadi Dania yang nawarin!” tukas Mama Dania.
“Kalian kayaknya berjodoh nih! Serasi sekali,” ujar Miranda sambil mengedipkan sebelah matanya ke sahabatnya.
Tubuh Galang menegang. Hatinya berdebar kencang. Namun sesaat kemudian, dia sudah mampu mengendalikan diri lagi. Dia tersenyum menanggapi gurauan mamanya.
Luar biasa sekali, kalau berjodoh.
Seharian, Galang menemani keduanya bernostalgia. Mereka berdua keliatannya sangat senang bisa bertemu lagi. Menjelang malam, Galang dan Miranda mengantar Mama Dania pulang. Setelah mampir sebentar, mereka pamit pulang
“Dania ...” Mama Dania menatap putrinya, sambil meremas tangan. Dia mondar mandir dalam kamar Dania.
Bandung Barat, Kamis 18 Oktober 2018
Salam
Cici SW
Posted from my blog with SteemPress : https://cicisw.com/2018/10/18/janji-masa-lalu-11/