Godaan Integritas Penyelenggara Pemilu | The Temptation of Integrity of Election Organizer

in #opinion7 years ago (edited)

Pilkada_2017.jpg
Suasana pemungutan suara di sebuah Tempat Pemungutan Suara (TPS) dalam pemilihan kepala daerah di Aceh Utara pada pilkada gubernur dan wakil gubernur Aceh serta bupati dan wakil bupati Aceh Utara, Februari 2017 lalu).

The Temptation of Integrity of The Election Organizer

By @ayijufridar

MEMBER Last year's General Election Commission (KPU), Ida Budhiarti, admitted to receiving information about a foul deal between the organizers and the legislative candidates in the 2014 election. He reminded all commissioners in Indonesia, so as not to sell integrity with candies that can lead to moral diabetes.

This message became more meaningful when Ida Budhiarti out of the mouth because the concerned at that time and is currently still a member of the General Election Organizing Committee (DKPP). The message is a warning to the organizers not to mess with integrity and must adhere to the rules of the rules and the code of conduct of the organizers.

To establish an integrated election organizer, Indonesia does have a very complete institution compared to other countries. Besides there is an Election Supervisory Board which in other countries does not exist, we also have DKPP which among the regional commissioners is insinuated as an institution of "lifting". A commissioner subject to DKPP sanctions, not only threatened dismissal, but difficult career as an election organizer in the future.

On June 12, 2014, DKPP has been 2 (two) years old. Processed 1379 Complaints with 497 Rehabilitation, 13 Temporary Halt and 207 Dismissed.

(Source: http://dkpp.go.id/index.php?a=hasilpolling)

Until March 2014, DKPP fired no 126 local commissioners and more than 100 others received strong warnings for violating rules and codes of ethics. The threat does not seem to be a deterrent effect so there are still many organizers who are tempted to commit a foul deal with election participants. However, is the practice true?

All parties

Proving a conspiracy between the organizers - electoral participants is as difficult as breaking bribery cases. It is hard to see, but the smell is. In order to disclose the case, a number of proofs are needed, so not only the origin of the allegations, either by the underestimate to the organizers, especially by the election participants who lost the election.

What is meant by the organizers is not just at the commissioner level, but also very vulnerable is the sub-district level (PPK). Gap in PPK is considered very large because it follows the number of sub-districts. There is an assumption, if you want to play the results, the greatest opportunity is in the kecamatan (districts) because of the lack of supervision at that level. In fact, there are also Panwascam (district supervisor) in the kecamatan and they make sure all the stages are implemented according to the rules. The question arises, what if the haram deal also involves all layers of the organizer including the supervisor?

Institutionally, it is certainly impossible because of the number of organizers, especially at the level of polling stations (TPS). It's rather difficult to keep rotten fish in the hands of many people, one or two people will certainly dismantle it to the public. Personally, candidates may appeal to one or two people even if it does not mean cheating will be easy to practice in the eyes of various parties. Such cases also apply to the next level up to the KPU-RI.

For that reason, the concern of all parties, especially political parties, is a necessity to create electors who are honest, fair, and trustworthy.

This temptation of integrity comes not only from the participants of the election, but also in the internal environment. Implementation of elections requires large funds so that there are commissioners who are tempted to participate in managing it even though it is indeed the authority of the secretariat. Cases of commissioners participate in project management in institutions, even receiving gratuities, have often happened and this undermines integrity.

Integrity vs violence

Particularly in Aceh, linking the integrity of members of the Independent Election Commission (KIP) to the various violations that have occurred so far, has also overstated the issue. KIP's duty is to carry out all phases in accordance with the schedule set forth in the KPU's decision. Do not then KIP blame if in the implementation of these stages of violence occurred. As far as obeying the rules, there is no KIP contribution in encouraging the intensity of violence.

Thus, it is impossible to expect KIP assertiveness in reducing violence because it is the domain of law enforcement officers. In several stages, such as the elimination of unqualified candidates, both in districts and provinces, the KIP has done so firmly. Also in the dissolution of campaign rallies conducted outside the schedule as happened in Lhokseumawe, some time ago.

In the most crucial stage of voting and vote counting, it is here that the integrity of the organizers is at stake for a fair election.

Fraud committed, the collapse of public confidence in the organizers, became the axis for the occurrence of vigilante action itself. Given that the risks are so great, which not only disrupts the consolidation of democracy in Aceh but also the fate of peace at stake, it is necessary that all layers of the organizers carry out all stages according to oath and promise.[]

Godaan Integritas Penyelenggara Pemilu

Oleh @ayijufridar

ANGGOTA Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode lalu, Ida Budhiarti, mengaku menerima informasi mengenai kesepakatan busuk antara penyelenggara dengan calon anggota legislatif pada pemilu 2014 lalu. Dia mengingatkan seluruh komisioner di Indonesia, agar tidak menjual integritas dengan gula-gula yang bisa menimbulkan diabetes moral.

Pesan ini menjadi lebih bermakna ketika keluar dari mulut Ida Budhiarti sebab yang bersangkutan waktu itu dan saat ini masih menjabat anggota Badan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pesannya menjadi peringatan kepada penyelenggara agar tidak main-main dengan integritas dan harus patuh pada aturan perundang-undangan serta kode etik penyelenggara.

Untuk membentuk lembaga penyelenggara pemilu berintegritas, Indonesia memang memiliki lembaga yang sangat lengkap dibandingkan dengan negara lain. Selain ada Badan Pengawas Pemilu yang di negara lain justru tidak ada, kita juga memiliki DKPP yang di kalangan komisioner daerah disindir sebagai lembaga “pencabut nyawa”. Seorang komisioner kena sanksi DKPP, bukan saja terancam pemecatan, tetapi sulit berkarier sebagai penyelenggara pemilu di kemudian hari.

Pada 12 Juni 2014, DKPP telah berusia 2 (dua) tahun. Memproses sebanyak 1379 Pengaduan perkara dengan Putusan 497 Rehabilitasi, 13 Diberhentikan Sementara dan 207 orang Dipecat.

(Sumber: http://dkpp.go.id/index.php?a=hasilpolling)

Sampai Maret 2014, DKPP memecat tak kurang 126 komisioner daerah dan lebih dari 100 lainnya mendapatkan peringatan keras akibat melanggar aturan dan kode etik. Ancaman itu sepertinya tidak menjadi efek jera sehingga masih banyak penyelenggara yang tergoda untuk melakukan kesepakatan busuk dengan peserta pemilu. Namun, benarkah praktik itu ada?

Seluruh lapisan

Membuktikan adanya persekongkolan antara penyelenggara – peserta pemilu memang sama sulitnya dengan membongkar kasus penyuapan. Sulit terlihat, tetapi aromanya tercium. Untuk mengungkapkan kasus tersebut tentunya dibutuhkan sejumlah bukti sehingga tidak hanya asal tuduh, baik oleh pihak yang underestimate kepada penyelenggara, lebih-lebih oleh peserta pemilu yang kalah dalam pemilihan.

Yang dimaksud dengan penyelenggara di sini bukan hanya di tingkat komisioner, tetapi yang juga sangat rentan adalah tingkat kecamatan (PPK). Celah di PPK dinilai sangat besar karena mengikuti jumlah kecamatan. Ada anggapan, jika ingin memainkan hasil, peluang terbesar ada di kecamatan karena minimnya pengawasan di tingkat tersebut. Padahal, di kecamatan juga terdapat Panwascam dan mereka memastikan seluruh tahapan dilaksanakan sesuai aturan. Muncul pertanyaan, bagaimana kalau kesepakatan haram itu juga melibatkan seluruh lapisan penyelenggara termasuk pengawas?

Secara kelembagaan, hal itu tentu mustahil karena banyaknya penyelenggara terutama di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS). Agak sulit menyimpan ikan busuk di tangan banyak orang, satu atau dua orang pasti akan membongkarnya ke publik. Secara personal, bisa saja caleg menarik satu atau dua orang meski bukan berarti kecurangan akan mudah dipraktekkan di tengah pandangan mata berbagai pihak. Kasus demikian juga berlaku untuk jenjang berikutnya sampai ke KPU-RI.

Untuk itulah, kepedulian semua pihak, terutama partai politik, merupakan keniscayaan untuk menciptakan elektoral yang jujur, adil, dan dapat dipercaya.

Godaaan integritas ini bukan hanya datang dari peserta pemilu, tetapi juga dalam lingkungan internal. Penyelenggaraan pemilu membutuhkan dana besar sehingga ada komisioner yang tergoda untuk ikut mengelolanya kendati sesungguh itu kewenangan sekretariat. Kasus komisioner turut kelola proyek di lembaga, bahkan menerima gratifikasi, sudah sering terjadi dan ini menggerus integritas.

Integritas vs kekerasan

Khusus di Aceh, mengaitkan integritas anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan berbagai kekerasan yang terjadi selama ini, juga terlalu menggampangkan persoalan. Tugas KIP adalah melaksanakan seluruh tahapan sesuai dengan jadwal yang sudah diatur dalam keputusan KPU. Janganlah kemudian KIP disalahkan bila dalam pelaksanaan tahapan tersebut terjadi kekerasan. Sejauh patuh pada aturan, tidak ada kontribusi KIP dalam mendorong intensitas kekerasan.

Jadi, tidak mungkin mengharapkan ketegasan KIP dalam meredam kekerasan karena itu ranahnya aparat penegak hukum. Dalam beberapa tahapan, seperti pencoretan caleg yang tidak memenuhi syarat, baik di kabupaten/kota maupun provinsi, KIP sudah melakukannya dengan tegas. Juga dalam pembubaran kampanye rapat umum yang dilakukan di luar jadwal seperti yng terjadi di Lhokseumawe, beberapa waktu lalu.

Dalam tahapan paling krusial, yakni pemungutan dan penghitungan suara, di sinilahnya integritas penyelenggara menjadi taruhan bagi terlaksananya pemilu yang jurdil. Kecurangan penyelenggaran, runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara, menjadi sumbu bagi terjadinya tindakan main hakim tersendiri. Mengingat risikonya demikian besar, yang bukan saja mengganggu konsolidasi demokrasi di Aceh tetapi juga nasib perdamaian dipertaruhkan, maka perlu kiranya seluruh lapisan penyelenggara melaksanakan seluruh tahapan sesuai sumpah dan janji.[]


Badge_@ayi.png

Sort:  

Memang bg @ayijufridar hebat. Pagi-pagi udah ada post. :) sukses terus bg.

Pagi-pagi posting, tapi menulisnya sejak kemarin, ehhehehehee. Terima kasih @harismunandar.

Vini vidi vici....

Mantap, @saifoel77 sudah kembali ke pangkuan Ibu Steemit. Ditunggu oleh-oleh dari tengah laut.

Ketika berbicara sudah menjadi dilema, namun integrity harus dipertahankan

Bahkan bila langit akan runtuh, integritas tetap tegak (meniru "hukum runtuh").

tulisannya bagus sekali

Tidak mengentak...

Integritas vs Loyalitas bang Ayi heheh

Kadang, integritas justru tergadaikan karena loyalitas yang buta...

Banyak kecurangan dalam hal penyelenggara pemilu..
Kecurangan biasa terjadi dari tingkat KPPS, PPS dan tingkat PPK.

Makanya @amryksr yang tidak curang harus menjadi bagian dari penyelenggara dan harus mengawasi dengan benar. Kecurangan ini harus dicegah, bukan hanya ditindak. Peugah lage nyan bak @yahqan.

Peu tapeugah bak @yahqan.
Caroeng gobnyan.

Nyoe peukara caroeng, hana bantah @amryksr. @yahqan nomor sa...

Koen le no 1 @yahqan bg @ayijufridar, tapi number one

Dia memang di tahu oleh kafir @amryksr

Luar biasa memang @yahqan bg @ayijufridar.
Tidak ek koh.

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.16
JST 0.030
BTC 66804.20
ETH 2581.61
USDT 1.00
SBD 2.66