Minggu 19 Mei 2024 Eksotisnya Tampilan Tegu dan Taman Riyadah Kota Lhokseumawe Usai Dipoles

in WORLD OF XPILAR3 months ago

Selamat malam sobat ku semuanya dimana beranda yang beraktivitas di steemit tercinta ini, Malam hari ini saya perkenalkan keindahan kota Lhokseumawe yaitu simpang Kuta blang dengan tegu bundalan sangat indah. Berdasarkan sejarah atau riwayat yang penyusun peroleh secara lisan dari beberapa orang tua dan tokoh masyarakat Gampong (Kampung/Desa) Kuta blang yang saat ini mereka telah banyak yang meninggal dunia, oleh merekapun riwayat tentang Gampong Kutablang diperoleh secara turun menurun, hal ini dikarenakan tidak adanya bukti tertulis mengenai sejarah Gampong Kutablang pada masa itu. Namun demikian cerita turun temurun itu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya karena didukung oleh bukti-bukti sejarah yang saat ini masih terjaga.

Hingga saat ini tidak diketahui persisnya siapa orang pertama yang memberikan nama Gampong ini dengan nama Kutablang dan tahun berapa secara resmi menjadi sebuah Gampong. Menurut riwayatnya Gampong Kutablang telah ada kira-kira pada abad ke 18 atau sekitar tahun 1824 disaat Sultan Muhammadsyah berkuasa sebagai Sultan Aceh. Pada masa itu Gampong Kutablang belum berbentuk sebuah Gampong yang definitive tetapi tergabung dengan Gampong tetangga yang di pimpin langsung oleh seorang Hulu Blang yang ditunjuk oleh Sultan Aceh yang berkedudukan di Lhokseumawe. Sejarah peninggalan turun menurun harus kita bangkitkan kembali supaya generasi anak-anak dan para pemuda harapan Bangsa dapat mengenal sejarah peninggalan turun menurun yang tidak boleh terlupakan.

DSC_1165-01.jpeg

Suasana yang menyenangkan dengan pembangunan yang menakjubkan harus kita kenang masa dahulu kala. Gampong Kutablang merupakan salah satu Gampong tertua di Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara bahkan sebagian orang tua Gampong meyakini bahwa Gampong Kutablang telah ada pada masa kerajaan Samudera Pasai. Pada tahun 1816 oleh Sultan Aceh disaat itu mengutuskan seorang Hulu Balang dari Banda Aceh (masa itu bernama Kutaraja) namanya Tuanku Karoot untuk menjadi Maharaja pertama Lhokseumawe dan beliau sebagai Maharaja/ Hulu Balang menetap tinggal di Gampong Mon Geudong (tetangga Kutablang sekarang) untuk memimpin wilayah Lhokseumawe yang terdiri dari beberapa Gampong yang penduduknya saat itu masih sedikit dan disatukan di bawah satu Hulubalang.

Setelah menelusuri menurut riwayat dari orang tua yang penyusun peroleh secara lisan bahwa Gampong Kutablang sebelum berdiri sendiri menjadi Gampong, sekitar tahun 1826 masih bergabung dengan Gampong Mon Geudong di bawah satu Hulubalang karena disaat itu belum ada Petua-petua yang ditunjuk secara resmi begitu pula dengan Gampong-gampong lainnya pada umumnya di Aceh, juga karena faktor jumlah penduduk yang belum mencukupi untuk di bentuknya sebuah Gampong yang berdiri sendiri. Beberapa tahun kemudian setelah perkembangan penduduk mulai bertambah maka oleh beberapa orang cerdik pandai mulai timbul ide dan keinginan untuk membentuk sebuah Gampong yang definitif dan di pimpin oleh seorang Petua atau Keuchik.

Setelah bermusyawarah bersama Cerdik pandai yang ada dalam Gampong kemudian diteruskan kepada Hulu Balang di Lhokseumawe supaya wilayah Kutablang dapat disetujui menjadi sebuah Gampong terpisah dengan Gampong Mon Geudong dan mempunyai Petua tersendiri sebagai Kepala Pemerintahan karena faktor pendukung untuk persyaratan menjadi Gampong telah memenuhi syarat, terutama faktor penduduk dan mempunyai wilayah serta sumberdaya manusia yang handal untuk calon-calon Pemimpin/Petua di Gampong.

DSC_1163-01.jpeg

DSC_1169-01.jpeg

Juga semakin banyaknya masyarakat luar yang mulai berdatangan ke Lhokseumawe khususnya ke Gampong Kutablang secara migrasi dari berbagai latar belakang profesi sehingga Lhokseumawe saat itu sudah mulai ramai kerena perdagangan melalui laut telah meningkat terutama dengan Malaya, Cina dan India. Dan keberadaan Krueng (sungai) Cunda yang sebagiannya berada di wilayah Kutablang merupakan tempat singgahan kapal tongkang dari luar yang membawa barang-barang dagangan ke Lhokseumawe.

Atas pertimbangan itulah kemudian oleh Hulubalang sebagai Kepala Pemerintahan wilayah timur menerima usulan tersebut dan sejak itu terpisahlah Gampong Kutablang dengan Mon Geudong dan menjadi satu Gampong yang berdiri sendiri namun tetap dalam Wilayah Hulubalang Lhokseumawe.

Setelah adanya persetujuan menjadi Gampong maka oleh beberapa orang cerdik pandai yang ada disaat itu mulai memikirkan untuk memilih sebuah nama yang baik dan bermakna untuk di tabalkan pada Gampong pemekaran yang baru lahir.

Setelah beberapa lama bermusyawarah/mufakat timbullah gagasan dan ide-ide yang positif untuk diajukan dan diusulkan kepada Hulubalang agar nama tersebut disetujui oleh Sultan Aceh yang berkedudukan di Banda Aceh, kemudian oleh beberapa orang yang bertindak sebagai pemrakarsa pemekaran Gampong mengajukan sebuah nama yang indah dan bermakna jika diartikan dan di kaitkan dengan factor lingkungan dan sejarahnya Gampong tersebut dan nama apakah Gerangan yang akan di tabalkan oleh pemrakarsa yang mempunyai idealis yang up to date di zamanya sesuai dengan ilmu dan pendidikannya di saat itu. Maka oleh pemakarsa dengan persetujuan bersama beberapa cerdik pandai memberi nama KUTABLANG untuk menjadi nama Gampong yang baru di mekarkan tersebut dengan alasan pertimbangan dan mempunyai artinya secara Historis sebagai berikut:

Kata-kata Kuta Blang mempunyai dua suku kata, diantaranya Kuta dan Blang, yang menurut bahasa Aceh adalah: Kuta artinya benteng pertahanan atau Meuligo sebagai rumah tempat tinggal Hulubalang atau Raja karena tempo dulu di Kutablang memiliki Sawah-sawah (Blang) penduduk yang letaknya berdekatan dengan Meligo/Kuta tempat tinggalnya Hulubalang bersama keluarganya, maka nama KUTABLANG di tetapkan untuk digunakan sampai sekarang, dan nama tersebut tetap abadi sepanjang masa sebagai nama yang indah dan mempunyai arti dan makna yang mendalam jika di tafsirkannya sesuai dengan kondisi Geografis dan histoeisnya karena setelah Maharaja pertama Tuanku Karoot mangkat digantikan oleh Hulubalang atau Maharaja kedua yang bernama T. Muhammad Said merupakan utusan Sultan Aceh. Tidak berapa lama beliau berkuasa sebagai Hulubalang atau Mangkubumi yang berkedudukan di Gampong Kutablang sebagai Hulubalang Lhokseumawe telah banyak berbuat untuk kemajuan Lhokseumawe dalam segala bidang, kemudian disaat Belanda masuk ke Aceh khususnya Lhokseumawe terjadi agresi rakyat Aceh terhadap Pemerintah Belanda maka T. Muhammad Said bersama salah seorang putranya T. Abdul Hamid beserta beberapa orang pengikut setianya memilih bergerilya kehutan gunung Geuredong Pasee karena beliau tidak mau bergabung untuk bekerja sama dengan Pemerintah Belanda untuk memimpin Pemerintahan sebagai Hulu balang di Lhokseumawe, karena beliau tetap berjiwa besar sebagai pejuang tetap membuat perlawanan terhadap Pemerintah Belanda yang berada di Lhokseumawe dan Aceh. Mereka tetap mennyusun strategi perang gerilya bersama pengikutnya di pedalaman hutan Gunung Geurudong Pasee Aceh Utara. Sampai akhir hayatnya beliau tetap mempertahankan dirinya di hutan Gunung Geurudong Pasee.

DSC_1172-01.jpeg

Saat baru sampai di Aceh, maka nama Banda Aceh yang pertama kali saya tapaki, namun kota ini sudah diceritain tiap sudut sejarahnya, sedangkan Sabang tempat nol titik kilometer berada banyak orang juga sudah menelusuri tiap titik objek wisatanya, apalagi kota-kota lain di Aceh banyak orang denger tentang ceritanya. Akan tetapi kota ini beda. Kota yang akan selalu saya jumpai selama satu tahun tatkala akhir pekan untuk berkumpul bersama teman PM lainnya dalam rangka tugas di kabupaten. Kota apakah yang di maksud. Jawabannya Lhokseumawe. Lhokseumawe, Kota yang kalo diliat di peta, berbentuk seperti palung laut, seperti teluk dan cocok banget bagi pelabuhan. Sepanjang kota Lhokseumawe dikeliling air, mulai dari Banda Sakti, sampai Ujong Blang, Pusong dan Cunda, hanya jembatan cunda aja yang menghubungkan kota Lhokseumawe dengan daratan Sumatera, makanya ada yang mengatakan nama Lhokseumawe pun diambil dari keadaan geografis ini, Lhok yang artinya teluk, dan Seumawe menggambarkan banyaknya mata air di sepanjang garis pantai yang mengelilingi kota. Kampung yang paling tua di kota ini adalah Uteun Bayi, dan yang terluas adalah Teumpok Teungoh.

DSC_1166-01.jpeg

DSC_1168-01.jpeg

Beginilah Eksotisnya Tampilan Taman Riyadah Kota Lhokseumawe Usai Dipoles Terbaru tahun 2024

DSC_1227.JPG

Keindahan Taman Riyadah merupakan taman yang memiliki nilai keunikan karena berada di antara dua jalan utama masuk dan keluar Kota Lhokseumawe, yaitu Jalan Merdeka Barat dan Merdeka Timur. Kemudian Taman Riyadah juga salah satu ikon dalam Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe, di mana tamannya terletak di antara gedung-gedung dan bangunan pertokoan sebagai tempat aktivitas ekonomi masyarakat setempat. Beda seperti Lapangan Hiraq yang merupakan lapangan terbuka sebagai sarana pemerintah daerah dan militer untuk acara rutin semisal upacara dan tempat berolahraga kecil bagi masyarakat setempat.

DSC_1228.JPG

DSC_1174-01.jpeg

DSC_1173-01.jpeg

Ini dia taman indah untuk Taman Riyadah ini biasa digunakan oleh pengunjung sebagai lokasi bersantai dan berswafoto, dan juga tempat berjalan kaki refleksi. Karena lokasi ini sangat rindang lantaran banyak pohon sehingga warga bisa bernaung di bawahnya. Kini tampilan Taman Riyadah tambah kian asri dan cantik usai mendapat pemolesan dan penataan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Lhokseumawe.

DSC_1176-01.jpeg

Sebelah Utara terdapat gedung-gedung BSI

DSC_1224.JPG

Sebelah timur taman Riyadah simpang empat dengan tegu jam dinding terlihat sangat mengagumkan. Terimakasi atas kunjungan dan dukungan kerjasama berjalan dengan baik.

Follow me @albanna Photography

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.13
JST 0.027
BTC 61020.40
ETH 2603.09
USDT 1.00
SBD 2.65