Etika Bahasa dalam Menulis | Language Ethics in Writing [bilingual]

in #steemit7 years ago

Ada pepatah bahwa “Bahasa menunjukkan Bangsa”, yang berarti semakin cerdas seseorang berbahasa maupun menulis, semakin tinggi peradaban suatu bangsa. Etika bahasa menjadi penting bagi #steemians untuk menulis, dimanapun.

adiwe.jpg
source: Ucok Parta

Saya mengawali dengan sebuah kebijakan yang dikeluarkan di Kota Lhokseumawe, Aceh, #Indonesia. Pada 2013 lalu, kata “Ngangkang” menjadi kata popular menghiasi media-media lokal dan nasional bahkan internasional. Kata itu dituliskan dalam pemberitaan tentang aturan tak lazim yang dikeluarkan oleh Wali Kota Lhokseumawe kala itu, Suadi Yahya.

7 Januari 2013, aturan “Ngangkang” dikeluarkan dengan mengimbau perempuan dewasa yang dibonceng dengan sepeda motor oleh laki-laki muhrim, bukan muhrim, suami, maupun sesama perempuan, agar tidak duduk secara mengangkang (duek phang – bahasa Aceh), kecuali dalam kondisi terpaksa atau darurat.

Tulisan ini tak sedang membahas soal aturan larangan itu, tapi lebih kepada soal kata dan bahasa yang digunakan media. ‘Ngangkang’ kendati terdengar seksi dan jarang dipakai media sebelumnya, tapi sudah sesuai kaidah bahasa Indonesia.

Kata ‘ngangkang’ adalah penyederhanaan dari ‘mengangkang’ yang berarti cara berdiri atau duduk dengan kaki terbuka. Asal katanya adalah ‘kangkang’ yang berarti celah antara dua kaki. Media berbahasa Inggris menulisnya “straddle”.

“Ngangkang” dalam tingkah laku kerap dianggap tak sopan. Misalnya dalam cara duduk, seperti kalimat berikut; “duduklah yang sopan, jangan mengangkang seperti itu.” Karena seringnya kata dipakai pada kebiasaan tak baik, maka ikut mempengaruhi pemikiran pembaca ketika kata itu ditulis dalam laporan berita. Dianggap tak sopan, padahal benar.

Akibatnya walau jarang ditemui dalam berita media, banyak orang yang melisankan ‘ngangkang’ dengan penghalusan kata (eufemisme). Misalnya; “duduk lurus saja, jangan menyamping.”

Tak ada yang salah ketika media menulis kalimat; “Dilarang ngangkang di Kota Lhokseumawe.” Tapi, keliru ketika terlalu memaksakan eufemisme untuk mengganti sebuah kata dengan kata dan ungkapan lain yang dapat menjurus ke penyimpangan makna dan ambigu.

bahasa.jpg
source: https://hub.united.com/6-travel-language-tips-2088041070.html

Eufemisme atau eufemismus diturunkan dari kata Yunani euphamizein yang berarti mempergunakan kata-kata yang berarti baik atau dengan tujuan yang baik [1]. Sebagai gaya bahasa, eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus. Misalnya, memakai eufemisme untuk mengganti kata ‘gila’ kepada seseorang dengan ungkapan ‘pikirannya kurang sehat’ atau ‘kurang waras’.

Kekeliruan dapat menimbulkan makna ganda, misalnya dilakukan media atau penulis dalam mengganti ‘alat kelamin pria’ dengan kata seperti; “mat akob”, “otong”, “junior”, “Mr P” dan lainnya tergantung daerah, tempat kasus terjadi.

Juga pada kata ‘berzina’ yang kerap berganti; “eh..oh”, “main kuda lumping”, “menggarap lahan” dan lainnya. Banyak contoh kata lainnya tak sesuai kaidah, tapi kerap dipakai penulis dan media massa.

‘... Mat Akob terpotong...’ pada sebuah judul berita dan kalimat akan memunculkan makna lain. Tak semua orang paham bahwa yang dimaksud adalah alat kelamin pria, karena ‘Mat Akob’ secara umum adalah nama orang, Akob atau Yakob. Pelecehan muncul atas orang bernama itu, menjadi olokan.

Tiada debat kalau setiap kata yang ditulis, kendati bermakna ganda, punya acuan. Sama seperti pandangan Meinong, seorang Filsuf Jerman akhir abad 19 yang menilai bahwa setiap tutur (kata) yang bermakna di dalam kalimat tentulah mempunyai referent (acuan) [2]. Kalau tidak, maka tutur itu tidak akan bermakna, sehingga tentulah istilah itu ada benda acuannya. Tapi acuan mana yang menyebut ‘mat akob, otong dan junior’ sebagai alat kelamin? Kalau ‘eh ... oh’ bahkan tak punya makna bahasa, sama seperti ‘ehmm...’.

Maka sebaiknya, gunakan saja kata lazim yang dipahami semua orang. Jangan karena ingin menggunakan eufemisme malah terjebak pada merusak kaidah bahasa. Bukankah ada kata ‘zakar’ kalau tak ingin menulis ‘penis’, untuk menggantikan kata alat kelamin pria.

Tokoh filsuf, Bertrand Russel yang terkenal dengan filsafat logica atomism menyampaikan pemikirannya bahwa dalam simbolisme yang benar dan logis, antara fakta dan simbol yang melambangi fakta itu, terdapat struktur yang beridentitas jelas [3]. Kekompleksitasan simbol tentu menyerupai kekompleksitasan fakta yang dilambanginya. Dia mengisyaratkan sebaiknya bahasa yang benar dan logis dapat melambangi secara jelas sebuah objek.

Menulis tak sesuai kaidah bahasa, akan menjurus kepada penilaian kebudayaan dan martabat itu sendiri. Karena selain gaya bahasa dan penyampaian yang baik dan benar, penulis juga dituntut punya platform etika berbahasa. Ingat pepatah, “Bahasa menunjukkan Bangsa”, mungkin juga martabat penulisnya. Bahasa tidak saja mencerminkan pikiran, tapi juga etika.

Bukan tak mungkin, penulis dengan kekeliruannya dapat mengubah bahasa suatu masa, bagus kalau ke arah baik. Bukankah penulis juga guru untuk memberikan edukasi berbahasa yang baik kepada anak bangsa?


English
Language Ethics in Writing

There is a saying that "Language denotes the Nation", which means that the more intelligent a person speaks and writes, the higher the civilization of a nation. The language ethics is important for #steemians to write, anywhere.

I started with a policy issued in Kota Lhokseumawe, Aceh, #Indonesia. In 2013, the word "Ngangkang" became popular word adorn local and national media and even international. The word was written in the preaching of an unusual rule issued by the then Mayor of Lhokseumawe, Suadi Yahya.

kaskus.jpg
source: https://m.kaskus.co.id/thread/50ead5917e12436141000001/wali-kota-lhokseumawe-larangan-ngangkang-tetap-diterapkan/12

On January 7, 2013, the "Ngangkang" rule is issued by appealing to adult women who are riding on motorbikes by muhrim men, nonmuhrim, husbands, or fellow women, so as not to sit cross-legged (duek phang - the Acehnese language), except under conditions forced or emergency.

This paper is not discussing the rules of the ban, but more on the matter of words and language used by the media. 'Ngangkang' although sounds sexy and rarely used media before, but it is in accordance with the rules of the Indonesian language.

The word 'ngangkang' is a simplification of 'astride' which means standing or sitting with open legs. The origin of the word is 'kangkang' which means a gap between two legs. English-language media write it "straddle".

"Ngangkang" in the behavior is often considered rude. For example in the way of sitting, like the following sentence; "Sit be polite, do not straddle like that." Because often the word is used on bad habits, it also influences the reader's thinking when the word is written in news reports. It is considered rude, but true.

As a result, although rarely encountered in the media news, many people are spreading 'ngangkang' with the smoothing of the word (euphemism). For example; "Just sit straight, do not sideways."

Nothing is wrong when the media writes a sentence; "It is forbidden to lie in the city of Lhokseumawe." But, it is wrong to overemphasize euphemism to replace a word with other words and phrases that can lead to meaningless and ambiguous aberrations.

Euphemism or euphemismus is derived from the Greek word euphamizein which means using words that mean good or with good purpose [1]. As a style of language, euphemism is a reference to expressions that do not offend people, or subtle phrases. For example, using euphemism to replace the word 'mad' to someone with the phrase 'his mind is less healthy' or 'less sane'.

Errors can lead to multiple meanings, such as by media or authors in replacing 'male genitals' with words such as; "Mat akob", "otong", "junior", "Mr. P" and other dependent areas, where the case occurred.

Also on the word 'adultery' which often change; "Eh ..oh", "playing horse lumping", "tilling the land" and others. Many other examples of words do not fit the rules, but are often used writers and mass media.

'... Akob Mat is cut off ...' on a news headline and sentence will bring up another meaning. Not everyone understands that what is meant is male genitals, because 'Mat Akob' in general is the name of the person, Akob or Yakob. Harassment arises over that named person, becomes a joke.

There is no debate that every word that is written, despite its double meaning, has a reference. Just like Meinong's view, a late 19th century German philosopher who considered that every meaningful word in the sentence would have a referent [2]. If not, then the speech will not be meaningful, so surely the term is no reference object. But which reference calls 'mat akob, otong and junior' as genitals? If 'uh ... oh' does not even have a language meaning, just like 'ehmm ...'.

So it's best to just use a common word that everyone understands. Do not want to use euphemism instead stuck on destroying the rules of language. Is not there a word 'cock' if you do not want to write 'penis', to replace the male genital word.

bahasa-bangsa.jpg
source: https://www.shutterstock.com/

The philosopher, Bertrand Russell, who is famous for the philosophy of logica atomism, conveys his idea that in the true and logical symbolism, between the facts and symbols that are in fact, there is a structure with a clear identity. The complexity of symbols certainly resembles the complexity of the facts it engages in. He suggests that the correct and logical language should clearly represent an object.

Writing inappropriate language rules will lead to an assessment of culture and dignity itself. Because in addition to the style of language and delivery is good and true, the authors are also required to have ethical language platform. Remember the saying, "Language shows the Nation", perhaps also the dignity of the author. Language not only reflects thoughts, but also ethics.

It is not impossible, the writer with his mistake can change the language of a time, nice if in the good direction. Is not the author also a teacher to provide good language education to the children of the nation? []

Thanks #steemians
@abuarkan
Adi Warsidi

Sources

  1. https://id.wikipedia.org/wiki/Eufemisme
  2. Kaelan. 2002. Filsafat Bahasa, Realitas Bahasa, Logika Bahasa Hermeneutika dan Postmodernisme. Cetakan ketiga. Yogyakarta : Paradigma
  3. https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_bahasa
Sort:  

Aneuk teuh. Meu asoe aju meunan nah.

beurayek bacut neu vote hai guree @zainalbakri, hehehe

Tulisan ini menjadi pencerahan yang baik bagi penulis seperti saya, juga bagi teman2 yang menulis di steemit dan media lainnya. Trims kawan!

Hadir abuarkan meutamah mameh steemit ya

Thanks bos kunjungannya

Semoga kita bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya dan cara menulis yang baik pula. terimakasih atas sarannya

Terima kasih atas saran dan pencerahannya gure @abuarkan. Saleum.

Terimakasih juga sudah berkunjung @msyawal dan @zamzamiali. Sukses selalu

Mantap, semoga suatu saat kelak ada penulis yang menjadi guru bangsa. Saleum, Bang Adi ✋

Menulis adalah mencerahkan, sama seperti tulisan ini. Pencerahan bagi yang membaca.

Jika bahasa menunjukkan bangsa, maka tak ada yang salah dengan penyebutan, "Bangsa Aceh", Boss...
Sebab tiap orang yang berbahasa Aceh akan dipandang sebagai orang yang berbangsa Aceh.
Hehehehehehehe...

Tulisan ini sangat bermanfaat bagi steemians pemula seperti saya. Terimakasih

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.16
JST 0.030
BTC 67328.17
ETH 2602.99
USDT 1.00
SBD 2.67